KOMUNIS ITU BAGIKU LEBIH ASYIK, SESEDERHANA ITU

Uskup 'kaum kumuh' Dom Helder Camara (Brasil masa kediktatoran
1964 - 1985). "Memberi makan orang miskin disebut dermawan,
mengusut penyebab kemiskinan disebut komunis."
Suatu hari sebab merasa tak kunjung cukup cerdas aku pun lelah menjadi orang berpisau analisa berbuku-buku tebal dalam negri dan luar negri dan mahal. Suatu hari kuakui bahwa kita perlu negeri dan seandainya politisi cukup berbudi dan seandainya pemerintahan cukup berkemampuan. Suatu hari lantas kuakui seseorang dengan sejumlah bintang dan merupakan bagian dari kaum tersendiri bersenjata itu menjadi presiden terpilih-ku. Suatu hari kami duduk-duduk menghibur diri dengan hikmah kesulitan ekonomi di depan televisi, membicarakan pemimpin kami dengan nada simpati dan mengakui betapa wajahnya penuh beban keprihatinan terhadap persoalan 200 juta lebih orang saat mempidatokan sesuatu perihal 200 juta lebih orang; rakyatnya. Betapa kami menaruh pengharapan di pundaknya.

Namun kenyataannya ini tak cuma soal perasaan kemanusiaan. Pada gilirannya ini soal bahasa dan tindakan yang dilembagakan. Dan lembaganya kenyataannya adalah kekuasaan. Demikian adanya. Power tends to corrupt dalam buku tebal mahal, tetap saja kutemukan tanpa buku tebal mahal. Orang di jalan menyebutnya kesewenang-wenangan. Dan kesewenang-wenangan butuh banyak uang. Dan banyak uang butuh keserakahan. Dak keserakahan adalah kesewenang-wenangan.


Ada teman datang, kita membicarakan tentang perkembangan politik desanya. Berhasil juga dibikin semacam posko merdeka lintas dusun. Aku diminta membagi materi apalah seputar organisasi non-hirarki swakelola dan aksi langsung dan metode pelaksanaan forum demokrasi langsung untuk menyidang petinggi desa yang korup, sementara sistim-struktur-mekanisme demokrasi Pancasila tak kunjung menyelesaikan ke-tidak-pancasilais-an. Bulan ini mau meledak, begitu.

Lantas topik beralih ke bisnis kayu mangga dan durian. "Untungnya gedhe." Cukong penampungnya teman kita sendiri, tentu terpercaya sebab aktifis elesem. Mau dieksport. Modal? "Sedang kutimbang-timbang untuk meng-oper-kredit-kan motor. Tapi yang jelas mau kujual kambing mertua, satu."

Topik meloncat lagi ke adiknya; Sri, yang sekarang diterima kerja di pabrik rokok lereng gunung itu yang merupakan pabrik cabang dari perusahaan rokok ternama yang katanya dirutnya berkantor di amerika. Baru training, jadi belum ditarget mesti bisa melinting berapa linting. Tiap pulang mesti digeledah sampai celana dalam, sebatang saja tentu bakal ketahuan. Delapan jam hanya melinting dan melinting dan melinting saja, bisa jadi sampai tua. Bisa jadi menimbun kanker tanpa terasa.

Kudengar informasi tentang hotel baru kota ini yang sedang membuka lowongan resmi. Bagaimana? "SMP saja aku tak lulus, mana bakal diterima." Adikku tingginya kurang. Istriku tingginya kurang, penglihatannya tak bagus. Dua-duanya tak cukup menarik pula potongannya. Bodoh lagi.

Hari itu aku lelah untuk menohok perihal sistim dominasi klas, tekanan struktural dan hegemoni kultural yang membikin warga sesuatu negri yang bercita-cita mencerdaskan bangsa pun SMP saja tak selesai. Yang membikin generasi dusun pelosok-kering tumbuh kecil-kecil, jasmani dan otaknya kurang gizi. Yang membikin ideologi tampilan-tampilan. Yang membikin lingkaran-lingkaran koneksi. Yang membikin pelampung marjin survival seadanya bernama pabrik. Yang membikin 1000 orang budak upah jauh lebih tak berharga ketimbang seorang pengupah budak. Yang membikin konsep pembangunan-pertumbuhan dan trickle down effect. Yang membikin sistim kompetisi dari titik-tolak ketidakadilan ini. Yang melembagakannya sebagai negri.

Hari itu kupergi ke kota - pulang dari kota; dengan mengamini kota, mengurangi kelelahan. Kami duduk di depan televisi, membicarakan hotel baru, anak perusahaan baru dari group perusahaan itu, milik konglomerat kota ini. "Tanpa ditambah prospek laba dari hotel barunya, ia sudah tak kurang-kurang labanya, bertumpuk-tumpuk kapitalnya. Buktinya di situasi spekulasi resiko tinggi ini berani investasi. Kenapa tak terpikir, ketimbang membikin hotel lebih baik memodali sekian unit usaha kecil? Akan menggeliatkan sektor ekonomi riil dus menguatkan ekonomi makro. Dan itu amal-ibadah; pahala. Dan masyarakat akan menyanjungnya; public relation. Ujungnya makmur dunia-akherat. Ber-besan-an pula dengan walikota, betapa ..."

Namun kenyataan yang mendominasi tak macam ini, juga tak hanya di kota ini. Demikian adanya. Imperialisme kapital dalam buku tebal mahal, tetap saja kutemukan tanpa buku tebal mahal. Orang di jalan menyebutnya keserakahan. Dan itu perlu kekuasaan. Dan kekuasaan menimbulkan keserakahan. Dan keserakahan memberi kekuasaan. Bukan telor-ayam-telor ayam, tapi sekeping mata uang. Demikian adanya.

Langsung hari itu juga aku berkesimpulan bahwa lelah atau tak lelah menjadi orang berpisau analisa, adalah tak terlalu ada bedanya. Kecuali kian mengempal saja. Bahwa persoalannya di kaum berlebih harta-benda. Sesederhana itu.

Comments

Popular posts from this blog

Keping Emas, Kemenyan dan Mer

KEEP DANCING WIE ... (kenangan terindah)

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)