Lucia Sri Sulastri; dari ‘muslim KTP’ ke pengikut Yesus. Sebuah perjalanan pribadi dan perubahan masyarakat.

Pembaptisan Sri Sulastri
di Gereja Santo Paulus Miki,
Salatiga, pertengahan '70an.
Ibuku tumbuh sebagai 'muslim KTP', dibesarkan oleh keluarga 'muslim KTP'. Tetangga depan rumah, belakang rumah, samping rumah juga 'muslim KTP'. Juga tetangga di belakang rumah dari tetangga depan rumah dan seterusnya. Begitulah ... Itu jaman tahun '40an sampai sebelum Geger Gestok / pembantaian massal oleh tentara, nasionalis kanan dan kaum agamis terhadap rakyat komunis Indonesia ditahun-tahun 1965/66.

Jaman itu mayoritas penduduk desa, sebutlah Ketan Srundeng, adalah 'muslim KTP'; muslim tapi tidak menjalankan ibadah seperti yang diperintahkan agamanya. Apa yang dijalankan? Ya hidup biasa saja sebagai rakyat jelata desa dengan 'daily routine' umum mereka. Tidak juga berkubang dalam lembah kemaksiatan, atau menjadi budak setan. Kalau berkubang dalam lembah kemiskinan sih iya.

Ada sejumlah kecil penduduk yang muslim sungguhan. Mereka ini disebut 'santri' dan bergelar 'haji' atau 'kiai'. Dan memiliki status ekonomi (jauh) lebih tinggi dibanding kebanyakan penduduk yang 'muslim KTP'. Tetapi mereka tak punya status sosial lebih tinggi, tak dianggap tokoh masyarakat, ya dianggap 'santri' saja.

Bapak dari Ibuku adalah guru desa dari jaman Belanda. Priayi lokal dengan ekonomi menengah. Tentu saja beliau juga 'muslim KTP'. Tetapi beliau tak hanya menjalani hidup sehari-hari sebagai rakyat yang tak beribadah. Beliau adalah praktisi kebatinan Jawa yang memiliki banyak jimat, suka meditasi, berpuasa, tirakat, dan sering menerima tamu orang-orang yang sedang bermasalah baik kesehatan maupun keruwetan untuk meminta pengobatan. Semacam dukunlah. Dukun Jawa sebenarnya, tidak seperti penggambaran dukun Jawa berpakaian serba hitam versi sinetron gombal yang telah didemonisasi sebagai representasi kekuatan jahat dikontraskan dengan pemuka agama berjubah putih suci yang merepresentasikan kebaikan.

Demikianlah, sampai meletusnya pemberontakan PRRI / Permesta, menjadi guru di Kebumen, mengenal Wagimun, pulang ke Ketan Srundeng dan mengajar di SD setempat, kawin, melarikan diri dari ancaman bandit lokal Kasbulah, pindah ke Kalitaman di kota S awal '70an ... Ibu masih seorang 'muslim KTP', dan tak berkubang dalam lembah kemaksiatan sebagai pengabdi setan. Biasa saja. Pagi berangkat mengajar, pulang kerja mampir pasar belanja, membantu memasak untuk kenduri tetangga, memarahi anak-anaknya kalau berkelakuan tidak baik ...

Bapakku lain lagi ceritanya. Kecamatan B sudah dari dulu sekali menjadi basis dari misi gereja Katolik di daerah Yogyakarta. Mereka membangun gereja, kompleks susteran, sekolah dasar dan rumah sakit.

Bapak dari Bapakku adalah pemimpin lokal; semacam 'bekel'. Rambutnya panjang, disegani, tak takut menghadapi harimau, diadili oleh kolonial sebab tak taat dengan aturan tanam, dan tidak beragama. Agama KTP pun tidak. Sementara Ibu dari Bapakku belakangan setelah suaminya meninggal, dibaptis secara Katolik, seperti cukup banyak orang di desa-desa sekitar Kecamatan B.

Bapakku sendiri, seperti kebanyakan anak lainnya, tak memusingkan hal agama-agama. Mereka memakai pakaian dari serat nanas yang menyakitkan, atau dari karung penuh kutu. Belum tentu seminggu sekali bisa menikmati protein alakadarnya. Dan kemana-mana berkalung sabut kelapa untuk digigit sambil lari masuk lobang perlindungan bawah tanah jika terjadi pengeboman.

Setelah menyelesaikan Sekolah Desa (empat tahun), Bapak melanjutkan ke Sekolah Dasar (dua tahun) di sekolahan yang diselenggarakan oleh misi Katolik di B. Setelah lulus, oleh gurunya yaitu Bruder Servasius (yang kelak menjadi terkenal dengan aktifitas-aktifitas kemanusiaannya dan menjadi inspirasi untuk berdirinya Yayasan Sosial Soegiopranoto), Bapak diantar ke SMP Pangudi Luhur Salatiga. Hal ini tanpa berdiskusi dengan Bapak, dan orang tua Bapak hanya mengikuti saja, karena dimasa itu ‘guru’ tak cuma profesi, tapi sebuah kedudukan sosial yang sangat dihormati dan dipercaya.

SMP Pangudi Luhur Salatiga dimasa itu (awal ‘50an) adalah sekolah katholik berasrama khusus bagi laki-laki. (Kalau tak keliru waktu itu SMP Stella Matutina adalah sekolah katholik berasrama khusus perempuan). Masih kecil sudah jauh dari orang tua, berada di tempat yang sama sekali asing, akhirnya Bapak tidak kuat dan hanya bertahan beberapa Minggu.

Kemudian Bruder Servasius mendaftarkan Bapak ke sekolah guru Van Lith yang diselenggarakan oleh misi Katholik di Muntilan. Rupanya Bapak kerasan. Walau juga berasrama, tiap akhir pekan Bapak bisa pulang ke desanya, dengan cara berlari dengan modal gula jawa, kelapa dan air sawah – yang menurut Google Map sejarak 4 jam jalan kaki.
Meskipun demikian, Bapak juga tak kemudian menjadi seorang Katholik. Aku lupa kapan beliau dibaptis, namun setelah lulus dari Van Lith, masuk ke Sekolah Guru Atas, menjadi guru di Kebumen, bertemu Sulastri, pacaran, pulang ke Ketan Srundeng dan mengajar di SD desa sebelah, kawin, melarikan diri dari ancaman bandit lokal Kasbulah, pindah ke Kalitaman di kota S awal '70an … Bapak masih belum benar-benar menjadi Katholik. Dan tak tahu banyak seluk-beluk kekatholikan. Itulah kenapa setelah Geger Gestok dimana rakyat komunis baik yang atheis maupun ‘abangan’ dibantai oleh tentara, nasionalis kanan dan kaum agamis dan mereka menjadi ketakutan dan beragama kemudian menjadi strategi bertahan hidup, maka beberapa orang dari desa Ketan Srundeng, mewakili banyak penduduk menemui Bapak untuk meminta diajar agama Katholik. Bapak menolaknya, karena dia merasa tak tahu harus mengajarkan apa. Jika yang terjadi sebaliknya, bisa jadi hari ini desa Ketan Srundeng menjadi desa kristiani, dengan sebuah gereja sederhana yang dinamai Wagimun. Siapa tahu?

Sejak kami pindah ke kota di awal ‘70an itulah, aku ingat Bapak mulai rutin pergi ke gereja di Jalan Diponegoro sebelah markas Korem Makutharama itu. Aku juga ingat, buku yang selalu dia bawa adalah buku tua berwarna kemerahan, entah Kitab Suci entah panduan liturgi, yang jelas berbahasa Jawa.

Walau akhirnya mati secara tragis dieksekusi ‘Petrus’, bandit lokal Kasbulah dapat dikatakan berjasa besar bagi gereja Katholik dunia, karena terornyalah yang memaksa keluargaku pindah ke kota. Dan sejak pindah ke kota Bapak jadi rutin ke gereja. Dan perlahan-lahan, dari seorang ‘muslim KTP’ Ibu jadi tergerak untuk menghayati iman Katholik. Dan akhirnya Ibu mantap untuk menerima pembaptisan dengan nama Lucia.

Baptisan itu terjadi pada pertengah ‘70an. Wali baptisnya almarhum L. Koeswandi (berkacamata dan memakai jas); seorang pegiat Katholik awam yang sangat terkenal di komunitas Katholik Salatiga waktu itu. Pembaptisnya adalah Romo Sell (dari Marsel mungin?), seorang pastor dari Belanda, yang menjadi pastor paroki gereja Santo Paulus Miki Salatiga. Aku sempat mengalami era Romo Sell. Jika berkotbah beliau akan jalan hilir-mudik dari altar sampai ke belakang, dalam Bahasa Jawa. Jadi hingga pertengahan ‘70an pengaruh kolonial dalam keklerikan gereja Katholik di Indonesia masih sekuat itu, Tetapi memang secara sejarah Salatiga juga merupakan salah satu pusat misi gereja Katholik, selain Kristen. Di sisi lain lokalitas, termasuk homogenitas umat juga masih kuat. Misalnya lewat pemakaian Bahasa Jawa, juga lewat rasa kekomunitasan yang saling mengenal dengan cukup baik.


DidotKlasta, Beaconsfield 2021

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN