Beragama; praktek perbudakan atau pembebasan?


Lokakarya teater rakyat, desa J, kab. K
Jawa Tengah awal '90an.
Kemarin Uskup Desmond Tutu; pemuka gereja Katolik Afrika Selatan wafat. Beliau sangat dihormati secara nasional dan internasional karena dedikasi perjuangannya melawan sistim diskriminasi rasial yang kejam di negara Afrika Selatan, di mana minoritas kulit putih mendominasi mayoritas kulit hitam.

Setelah sistim apartheid dihapuskan (walau jurang kaya-miskin dan ketidakadilan sosial berbasis ras masih kuat di Afrika Selatan), sampai akhir hayatnya Uskup Desmond terus berjuang mengkampanyekan keadilan sosial, hak asasi dan perdamaian di tingkat global.

Kadang aku berpikir, jika Uskup Desmond Tutu berkulit putih apakah beliau akan melakukan hal yang sama? Jika Desmond Tutu berkulit putih dan bukan katolik apakah akan melakukan hal yang sama? Jika Desmond Tutu berkulit hitam, bukan klerik dan bukan rakyat jelata apakah akan melakukan hal yang sama? Apakah sumber inspirasi perjuangannya adalah kekatolikannya? Atau kekulit-hitamannya? Atau kemanusiaannya? Dan juga ... Memang aku ini siapa? Kok (sok) mempertanyakan hal-hal semacam itu?

Aku selalu ingat ... Dulu sekali di jaman Suharto - Orde Baru masih perkasa, aku mengikuti sebuah lokakarya kepekaan - keterlibatan sosial yang diselenggarakan oleh Wisma Mahasiswa Katolik kota S. Aku mewakili mahasiswa Katolik Fisipol UGM. Dari berbagai kota kami datang ke kota S dengan titik kumpul di gereja P di pusat kota.

Saat itu aku melihat seorang tua yang kesan pertamaku agak menjengkelkan, karena raut mukanya seperti orang jengkel dan seakan hidupnya dilalui dengan terus-menerus menggerutu. Pendek, botak, gemuk, monyong, memakai celana loreng, dia adalah Romo A; pastor mahasiswa kota S. Dan kaosnya bertulis : GUSURMU, GUSARKU!

Di sebuah desa pelosok kabupaten K kami menjalani sebuah pelatihan agak ‘rahasia’ yang belakangan kutahu adalah metode pengorganisiran rakyat melalui teater dengan inspirasi utama dari metode Teater Kaum Tertindas yang dikembangkan oleh Augusto Boal; teatrawan pro rakyat aktifis anti kediktatoran militeris di Brasilia. Dalam perkemahan ini kami belajar tentang analisa sosial kritis, pengorganisiran akar rumput, tekhnik-tekhnik teatrikal untuk pembangkitan kesadaran kritis rakyat, sekaligus mempraktekkannya bersama rakyat desa setempat. Asyik sekali, dan romantik.

Sejak itu aku banyak berhubungan dengan Wisma Mahasisa Katolik kota S, juga tentu dengan Romo A yang sibuk dengan advokasi rakyat di berbagai daerah, juga bekerja dengan Romo Mangun. Aku ingat bagaimana Romo A ‘memback-up’ aktifitas bawah tanahku dan teman-teman di kelompok teater rakyat X kota Z yang sedang belajar melakukan advokasi terkait penggusuran lahan rakyat untuk pengembangan obyek wisata purbakala kompleks candi Ratu Boko di wilayah Piyungan, Sleman. Beberapa pertemuan koordinasi kami lakukan di Wisma Mahasiswa Katolik kota S.

Lantas sekian lama aku putus kontak dengan beliau – Romo A. Aku mengalami gangguan jiwa sebagai bagian dari proses yang dialami oleh tidak sedikit dari penentang-penentang Suharto – Orde Baru, dan mengundurkan diri masuk ke gua pertapaan psikiatrik penuh dengan electric shock therapy. Kudengar kabar bahwa Romo A ditarik ke Jakarta untuk menduduki jabatan administrasi. Kudengar pula bahwa penarikan ini sebenarnya adalah usaha menetralisir beliau dari kegiatan subversif. Kemudia kudengar; Romo A yang dulu memboncengkanku naik RX S menderu-deru seakan penuh dengan misi revolusioner ini, wafat.

Apa maksudku? Yah mungkin aku sekedar ingin berbagi pemikiran; bahwa hidup di negeri relijiyes seperti Indonesia dimana agama adalah ‘segalanya’, organisasi keagamaan adalah ‘segalanya’ dan pemuka agama adalah ‘lebih dari segala itu semua’, kita perlu sadar kritis tentang posisi pemuka agama secara umum; siapa dari mereka para yang mulia ini yang berjuang untuk umat, untuk rakyat agama, untuk kita, untuk kehidupan? Dan siapa yang sesungguhnya hanyalah parasit tak berguna yang berdiri di atas jemaat, umat ataupun ormas agama, mengeksploitasi kehidupan untuk meraih kepentingan elitisnya sendiri?

Kembali ke almarhum Uskup Desmond Tutu; kelebihan, keistimewaan, kekuatan yang beliau miliki sebagai pemuka agama Katolik setingkat uskup, beliau mobilisir, maksimalkan, dedikasikan untuk perjuangan kemanusiaan pro kaum lemah, sampai akhir hayat beliau. Lha bagaimana dengan pemuka agama yang kau kenal? Yang kau ciumi tangannya? Yang air kobokan habis dia makan kau percayai penuh tuah rohani? Yang kau cuplik kotbah-kotbahnya jadi setatus media sosial full of WOW?

Ambilah kalkulator - ini cara paling sederhana. Coba kau kalkulasi; apakah kau lebih melayani dia, atau dia melayanimu? Apakah hidupmu makin sejahtera, atau hidupnya yang tambah mulia jaya berkuasa? Apakah praktek keagamaanmu adalah praktek perbudakan, hubungan ‘bendara – kawula’? Atau pembebasan?

Keterangan poto : Desa J, kab. K, Jawa Tengah awal '90an.


Beaconsfield, Desember 2021

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN