Keping Emas, Kemenyan dan Mer

Masacre of Innosences, Peter Paul Rubens,
1611 - 1612

Bulan Desember tak hanya bulan hujan. Bagiku yang dibesarkan secara Katulik dalam keluarga Katulik saleh, Desember secara tradisional juga bulan Natal. Sebuah bulan yang sempurna, seperti bulan Agustus dan Sura. Sebuah bulan yang dingin di luar, hangat di dalam. Keluarga berkumpul menunda acara-acara bepergian sebab hujan, bakso panas Lik Suta atau ubi goreng tepung, pohon natal di pojok ruang tamu, latihan drama untuk natalan sekolah, sukacita menyongsong kelahiran bayi Yesus, kapal-kapal kertas mengambang di pekarangan yang tergenang, bermain mata dengan cewek idaman di aula sekolah sambil menunggu hujan reda, lagu ‘I Saw Mommy Kissing Santa Clause’ mengalun dari Sharp radio tape, bahkan ketika kehujanan paling hujan sekalipun selalu ada yang terasa nikmat, yaitu sesuatu hangat di dalam hati, kehangat bulan Desember. Dan puncaknya tentu saja misa Natal di gereja Paulus Miki Salatiga. Ini kenangan-kenangan masa kecilku yang menjadi pondasi bagaimana aku memaknai bulan Desember, sampai suatu ketika Desember hanya tinggal hujannya belaka. Natal sudah tak ada. Apa maksudku?

Sesuatu bersinar terang nampak menyolok di langit. 3 orang brahmana dari aliran kepercayaan Tuhan Api melihatnya, dan kewaskitaan mereka menetapkan sinar terang itu sebagai penuntun perjalanan ke arah Barat. Tak berapa lama mereka mendapati beberapa penggembala sedang membikin api di depan goa kandang domba-domba yang pada saatnya nanti akan dikorbankan pada perayaan paskah atau menurut tradisi pagan adalah festival musim semi. Ada suara tangisan dari dalam goa yang bercahaya remang, seorang bayi baru saja lahir. Dengan takzim tiga brahmana ini bersalam, kemudian masuk untuk menyampaikan penghormatan dan menyerahkan bingkisan terdiri dari tiga hal yang kelak menjadi sangat terkenal itu; uang emas, kemenyan dan mer.

Meskipun memiliki acuan alkitabiah, cerita natal adalah sebuah rekonstruksi manusiawi atas fakta sejarah, seperti halnya cerita dalam alkitab itu sendiri yang juga merupakan rekonstruksi. Dalam rekonstruksi atau penyusunan ulang fakta sejarah, tak hanya melibatkan fakta-fakta saja, namun juga fiksi, interpretasi dan misi / maksud / pesan.  Misi / maksud / pesan adalah inti dari rekonstruksi, karena menjadi konsep dasar bagaimana kita melakukan rekonstruksi.

Sebagai rekonstruksi, cerita Natal setidaknya memiliki dua aspek penting. Pertama, sebagai latar belakang, perayaan Natal merupakan penerusan tradisi yang sudah ada, yaitu festival Titik Balik Matahari Musim Dingin (winter solstice) yang paganistis. Dalam konteks tradisi pagan, maka Natal adalah perayaan komunal, perayaan kebersamaan dalam semangat penyatuan antar manusia dan alam semesta. Kedua, dengan meneruskan tradisi sebelumnya, termasuk tradisi Yahudi, oleh komunitas kristiani perayaan Natal kemudian dimaknai ulang dan didedikasikan untuk mempromosikan esensi mesianistik dari kekristenan kuno yang semangatnya sangat berbeda, bahkan kontras, dengan semangat Natal masa kini.

Semangat mesianistik Natal pada awalnya adalah keprihatinan, perjuangan, kekhawatiran dan pengharapan. Sejumlah referensi menyatakan bahwa apa yang dilihat 3 brahmana dari Timur itu bukanlah bintang biasa, melainkan komet – bintang bergerak. Pilihan untuk memasukkan elemen bintang dalam rekonstruksi cerita Natal tentu mengandung tujuan tertentu. Jika bintang yang dimaksudkan adalah bintang biasa, itu merupakan lambang datangnya kemegahan, kemuliaan. Sebaliknya jika itu adalah bintang bergerak, maka Natal adalah cerita tentang kesengsaraan, ketakutan, kematian. Persembahan 3 brahmana itu dan peristiwa mengerikan yang menyusul kelahiran bayi Yesus menegaskan hal ini.

Uang emas melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi raja kaum Yahudi. Sementara kita tahu, dimasa itu kaum Yahudi adalah kaum tundukan dari kekaisaran Romawi. Apa yang akan terjadi ketika kaum terjajah mendeklarasikan pemimpinnya sendiri – yang artinya adalah pesan penentangan terhadap penjajahnya? Kemenyan melambangkan hal-hal adikodrati / ketuhanan dari bayi Yesus. Apa yang akan terjadi ketika kita menantang kekuasaan agama dominan? Dan mer dihubungkan dengan hal-hal kematian. Bayi Yesus yang baru lahir dikonfirmasi lakon hidupnya yang akan berujung pada kematian. Kemudian, alih-alih kegembiraan suka-cita pesta-pora, menyusul kelahiran Yesus tersiar kabar bahwa telah lahir seorang Raja Yahudi sekaligus Tuhan yang akan membebaskan kaum Yahudi, seorang penentang besar. Raja Herodes mendengarnya dan memerintahkan pembantaian massal bayi-bayi dan perempuan mengandung, untuk memunahkan ancaman terhadap kekuasaannya. Demikianlah, kelahiran bayi Yesus diiringi oleh ramalan masa depannya yang penuh kesukaran dan pembantaian massal – yang merupakan fakta sejarah.

Pada awal abad pertengahan, diciptakanlah penggambaran situasi kelahiran bayi Yesus bersama orangtuanya, didampingi malaekat, dikelilingi penggembala, di sebuah tempat yang sangat sederhana. Penggambaran ini bertujuan untuk membersihkan unsur-unsur festival pagan dalam perayaan Natal dan memfokuskan pada penyembahan Tuhan yang bersemangatkan uang emas, kemenyan dan mer seperti tersebut di atas. Selama berabad-abad kaum kristiani merayakan Natal berupa penghayatan pada suatu prolog menuju kesengsaraan yang berujung pada kematian dan maka pembebasan, yang merupakan saripati iman kristiani. Prolog menuju Paskah. Oleh karena itu berabad-abad Paskah adalah perayaan utama bagi kaum kristiani, tak hanya secara pengertian teologis, namun juga secara praktek.

Masyarakat terus berubah, berkembang sesuai dengan dinamika ekonominya. Sifat ekonomi menentukan sifat politik / kekuasaan dalam masyarakat, dan menentukan siapa-siapa dalam masyarakat yang diuntungkan dan dihisap oleh sistim. Posisi kita dalam sistim ini menentukan bagaimana kita memahami dan menjalani hidup. Seiring dengan tumbuhnya suatu golongan masyarakat menengah secara ekonomi, secara sosial unit keluarga yang semula adalah bagian dari suatu komunalitas lebih besar pun melepaskan diri menjadi unit-unit tersendiri dimana segala hal terpusat pada keluarga. Sebagai keluarga-keluarga golongan menengah mereka mengembangkan aspirasi-aspirasi hidup baru sesuai dengan situasi sosial-ekonominya; ‘kebahagiaan’ keluarga adalah segala-galanya.

Keluarga-keluarga menengah (borjuis) yang muncul pada abad 19 di Eropa dan Amerika yang ‘kristiani’, pun membawa aspirasi-aspirasi borju mereka dalam cara mereka memahami dan merayakan Natal. Semangat Natal berubah dari  penghayatan akan kesukaran hidup dunia dan kemenangan spiritual lewat kematian dalam kerangka komunal, menjadi kegembiraan, kehangatan, harapan duniawi dalam kerangka keluarga. Makna dan perayaan Natal pun berubah. Kelahiran Yesus disterilkan dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang menyertainya, dari pelarian untuk bertahan hidup, dari penolakan kaum kaya – mapan – berkuasa, dari perjuangan – kematian dan kebangkitan mistisnya … Menjadi sekedar sukacita karena kelahiran; sesuatu yang cocok dengan aspirasi keluarga-keluarga borju. Tak hanya keluarga borju titik, tapi keluarga borju kulit putih. Dan kapitalisme menyempurnakannya dengan : konsumerisme.

Catatan :
Ilustrasi lukisan berjudul Masacre of Innosence karya Peter Paul Rubens (1661 - 1662) menggambarkan keadaan yang mengerikan ketika raja Herodes memerintahkan prajurit Romawi untuk melakukan pembantaian semua bayi lelaki dan perempuan yang lahir disekitar waktu kelahiran Yesus. Herodes bertindak demikian karena dia merasa tahtanya terancam setelah mendengar kabar-kabar bahwa telah lahir Raja Yahudi, Sang Juru Selamat.   

Beaconsfield, Desember 2021

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN