DAN MATAHARI MENGGELINCIR

Namanya Yem. Sebenarnya tidak Yem saja titik, tapi cukup asal diketahui Yem-nya saja, selebihnya tak penting untuk pemanggil-pemanggil. Yem nampak sedang duduk loyo di atas sebuah batu besar yang sekilas seakan menyerupai sosok anak kecil jongos di foto-foto ningrat Jawa tempo dulu. Berkulit legam, kepala kuncung, namun tak berpose menyembah-nyembah atau kegirangan dipotret melainkan sedang menungging secara kurangajar seakan pada majikan orangtuanya, barangkali, persis di bawah pohon kelengkeng yang hampir mati sekitar 3 meteran dari bibir tebing tepi kuburan Wates yang meluncur ke bawah secara landai dan langsung mencuram di kali kecil dangkal – Kali Candi – yang mengalir ke Utara.

Meski bernama Yem
(yang sangat boleh jadi barang siapa yang mendengarnya dan belum melihatnya akan lantas mengkonstruksi sesuatu sosok tak semenarik nama-nama atraktif artis-artis atau nama-nama agung bertrah atau nama-nama bonafid kaya), tapi matanya indah, dan mata indah Yem itu sesungguhnyalah malah tambah indah oleh rona sembab berkaca-kaca yang menatap lepas jauh sekali ke arah Barat, melewati sawah-sawah milik penguasa sawah, melewati perkebunan luas milik perkumpulan biarawan, melewati bebukitan, terus jauh sana dimana matahari sedang menggelincir cuek. Dan dari arah matahari yang cuek itu sekawanan burung entah jenis apa terbang ke arah Timur sambil mencericit ramai bukan main tapi tiada pesan apapun kecuali jumlahnya yang tak sebanyak dulu.

Menjelang petang, mestinya Yem pulang untuk memasang api, bahkan mestinya sejak tadi-tadi. Tetapi ia tak mau mendapati sekitar sejam lagi nanti, nDoro Bn dan anaknya Tuan Muda Bg akan datang meminangnya., demikian yang tadi disampaikan bapa Yem secara menelan ludah yang membuat Yem pun menghambur lari dan lari dan terduduk loyo dengan perasaan tak karuan di atas batu yang menyerupai anak kecil menungging kurangajar itu sekarang.

Terbayang bapanya sebagai kuli penggilingan gabah, milik siapa lagi kalau bukan nDoro Bn. Lelaki kecil dan mulai renta dengan mata yang menyipit, jika memandang seakan menyampaikan semacam campuran antara keramahan bagi orang lain dan kegetiran bagi dirinya sendiri; khas jelata Jawa desa turun-temurun merana.

Ya … Kemiskinan adalah kegetiran. Bisa apa dengan kemiskinan, selain bisa terbiasa dan terbiasa bersiap untuk makin miskin lagi dari saat ke saat? Bagi bapa Yem, pinangan nDoro Bn adalah lebih sebagai jawaban bukan bagi dirinya yang sudah bosan bertanya dan tak percaya jawaban, namun bagi anaknya semata wayang; Yem. Prospek itu buat penerus. Jika ia tak bisa menyejahterakan anaknya, derita hidupnya belumlah apa-apa. Bagi istrinya? Biyung Yem sudah lama sekali mati disentri, dulu sebelum lantas ada mas dan mbak KKN yang membikin kakus umum. Terlambat.

Yem perlahan berdiri dan berjalan ke bibir tebing. Satu-satunya hasrat Yem adalah tak lain ingin terbang, tapi perasaannya adalah semacam ulu hati yang tak bisa dan tak ingin menghindar dari hunjaman intim tatapan bapanya yang menyipit, kecil dan mulai renta. Lagi pula tujuan penerbangan Yem tak lain Jakarta. Di sana Yat sedang termenung berbelati di terminal, ingin terbang meninggalkan kebusukan. Didengarnya sayup umpatan dan ancaman dari Direktur kota, komentar-komentar omongkosong dari politisi kota, cemoohan dari penduduk asli kota, bising keserakahan bisnis kota yang mematikan dan kalangan showbiz yang terpingkal-pingkal inosens.

Katanya Yat itu pacar Yem. Dan matahari tambah menggelincir cuek.


selesai

Comments

Popular posts from this blog

Keping Emas, Kemenyan dan Mer

KEEP DANCING WIE ... (kenangan terindah)

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)