PERCAKAPAN KERING (racauan)
Ahooi kepada
tuhan, iblis, dewa api, komputer, japamantra, uang, cinta, demokrasi, komunisme,
iklan, nuklir, filsafat, seks, holiwut, amerika serikat, superman, pencerahan, penulis
terbesar buku sejarah, teori dan kritik sastra ... tergantung, mana yang paling
hebat dan selain itu juga nyata serta tentu saja tak kalah pentingnya; gratis ...
Beri aku kekuatan ajaib untuk menulis satu lagi saja puisi menyebalkan,
penambah panjang litani sok dramatis akan muramnya komedi dunia dewasa ini ... Dan
sialannya Saodara, tak ada maha-maha yang menggubris. Tapi pada jam tiga lebih
tiga belas dini hari aku memanaskan ’sambel tumpang’ (kalian harus mencicipi
masakan khas ini) yang di dalamnya ada sesiung bawang putih tanda bahwa sebelumnya
sudah sekian kali dipanaskan dan sesungguhnya sudah mulai basi
maka sebab sayang kalau dibuang, perempuan jawa biasa memberi penawar bawang putih tadi, jadi demikian pula kebiasaan ibuku, dan bagaimanapun aku menikmatinya sebab tiada yang lain.
maka sebab sayang kalau dibuang, perempuan jawa biasa memberi penawar bawang putih tadi, jadi demikian pula kebiasaan ibuku, dan bagaimanapun aku menikmatinya sebab tiada yang lain.
Kopi gelas kedua,
puntung kesekian, televisi membual tak peduli ditonton atau tidak dan manusia
televisi juga terus menyalakannya tak peduli mereka menonton atau tidak. Sekian
hari tak hujan di tengah musim hujan di kota hujan dan kabar-kabar tentang
banjir serta kapal ditelan ombak menghujani hidup sehari-hari full problema.
”Kalau seminggu berturut-turut tak hujan, bakal kemarau lagi dan lebih panjang dan
mengerikan ...” kata temanku sambil (lagi-lagi) menyedu jamu tolak angin
andalannya. ”Gunung itu tahun ini bakal meletus, peramal A yang bilang ...”
kata temanku yang lain tadi sore yang jalan-jalan membawa dua putrinya dara
kecil manis-manis, suka berkicau-kicau merdu sambil membuat mainan kapal,
cetakan kue bolu, topi dari kertas atau menyapu ruang tamu rumah temanku yang
lain lagi yang tak terurus dan kenyataannya ibu mereka sedang teriris oleh
perselingkuhan suaminya, aku melihat itu pada senyumnya.
Ya, dini hari ini
tak gerah tapi juga tak butuh baju hangat. Di kuping kanan ada suara mendenging
sebab aneka kotoran menyumbatnya. Jam sebelas malam tadi terbangun dari tidur
sejak jam setengah tujuh malam. Hari minggu yang pekat ... Ini lebih tepat dari
kata melelahkan. Tiga setengah jam yang pekat, yaitu dari jam dua siang hingga
setengah enam sore, sebab pada hari minggu ini aku bangun jam setengah satu
siang, dua potong rolade daun ketela, adik pergi kondangan, bapak menjenguk
sahabat yang sakit, ibu menonton laporan pesawat terbang hilang, tiga perempat
jam kemudian aku turun ke kota dengan bersih, datar dan surealis, ke kampung di
bawah jalan B yang dari situ bisa memandang tingkat tertinggi dari hotel megah
yang berdiri berkacak-pinggang secara berlebihan dikelilingi
kecompang-campingan unsur tersisihkan dari kota yang membangun tak untuk
kampung-kampung.
Di kampung
sebelah ada orang menyunatkan anaknya. Nenek-nenek beli lauk tahu goreng tepung
isi taoge. Tiga pramuniaga R Mall break makan siang dan mencari warung murah di
pinggir sungai, tak tertawa. Kernet angkota berteriak seenaknya menyapa
kenalannya sebab ini kota kecil. Aku nangkring di pagar menulis, mengirim,
menerima sms ditemani seorang teman yang punya tatto macan bagus di lengannya
dan dia segera berlalu. Rasanya ingin menghapus semua nomer dalam daftar
sekaligus ingin tak ada dalam semua daftar, dan ini semua adalah tak lain
tentang menunggu. Sekedar menunggu.
Percakapan
kering. Ibu yang luka telah pergi bersama beras beberapa liter dan dua dara
kecilnya manis-manis kelak jadi apa. Kami berdua kali ini tanpa sebotol dua
anggur. Rokok ada. Mengenang masa lalu, secara rindu, dari masa kini yang
memangsa masa lalu, aneh ... Kita bagian dari keduanya.
Sekarang tinggal individualisme,
persaingan, dingin, tapi juga begitu cengeng. Dan kemanapun orang menuju,
selalu menuju etalase. Termasuk saat menuju dirinya sendiri. Tujuan lain tak
ada. Memang kita bisa menciptakannya, tapi paling untung ditertawakan
lingkungan sebagai gila, dan paling apes masuk penjara sebagai si kontra.
Percakapan
kering. Teringat berbagai jenis permainan kanak ketika mukaku belum
tercarut-marut. Kami ke hutan untuk mencari bambu sumpit, kami bikin cincin
dari biji salak yang diraut, daun kelapa menjadi terompet, kulit jeruk bali
jadi kereta. Jika kami ingin sesuatu – dan yang kami inginkan hanya permainan –
kami mencari bahan, mengolahnya, tentu dengan imajinasi tapi juga tentu dengan
keringat dan nyaris cuma-cuma. Inilah bermain dan bekerja, nyaris tanpa kalkulasi
ekonomi yang memusingkan orang dewasa. Bahkan tanah dan batu. Bahkan sekedar
suasana terang bulan. Seingatku yang terpenting dalam bermain adalah asal ada
teman dan ruang. Seingatku pula norma yang dipegang adalah satu; tidak curang.
Yah ... dengan pecahan genting, daun kembang sepatu, pelepah daun pisang, kami
sudah merasa nyaman. Sekarang ...
Sesungguhnya
percakapan menjadi semakin kering. Aku tak punya kata-kata untuk perubahan yang
dalam suasana kering macam ini tiba-tiba demikian mengejutkan seakan selama ini
aku tidak tinggal di dunia. Sunatan sudah bubar. Beberapa orang mengusung kursi
plastik. Gereja sebelah menyanyi gospel ngepop mempertahankan kabar gembira
untuk tetap aktual secara tak dapat menyembunyikan keterpaksaannya. Aku sudah
lama bukan lagi gereja atau apapun. Dulu kami jalan kaki di Minggu sore
melewati dua kampung, jalan besar daerah pecinan, satu kampung lagi, keluar di
jalan raya sepanjang markas komando rayon militer dan sampailah di bangunan
Barok dengan bangku-bangku coklat tua dan pastor negri asing yang membaptis ibu
dan sekarang telah menjadi bagai istana kerajaan surga yang mengisap mariyuana
untuk relevan di tengah keruwetan sekuler yang memaksa gelandangan jongkok di
bawah spanduk cinta kasih sembari membangun outlet ayam goreng dunia tepat di
seberangnya, orang kaya punya.
Percakapan
kering. Pada akhirnya aku pun pulang, membawa sesuatu yang sangat kering. Tidak
kutenteng atau kumasukkan saku, sebab ini ada di dalam hatiku. Dan dini hari
pun menjadi jam enam lebih empat puluh tiga pagi. Hari baru, dengan segala
sesuatunya yang dengan gampang kuperkirakan semakin tidak baru tapi juga tak
seperti dulu. Tiba-tiba ada yang berkelebat; apakah orang begadang sebab suntuk
dengan sia-sianya perubahan? Apakah orang ogah tidur sebab enggan menemu esok ?
Percakapan kering ...
didotklasta
Salatiga, 2007
Comments