CERITA NGELANGUT DI PEKARANGAN SAMPING YANG TERKELUPAS WAKTU (racauan)
Adalah suatu siang yang jauh lebih sepi dari biasanya
yang memang juga sudah biasa sepi, sebab kali itu sebagian besar penduduk
kampung Bruk sedang pergi ke rumah ibadah satu-satunya yang ada di pinggir
Timur lapangan depan balai desa, yang dengan demikian menjadi tempat beribadah
semua orang dari sejumlah kampung di sekitar situ tanpa peduli agamanya apa.
Seorang anak perempuan sekitar 5 tahunan sedang tekun bermain
tanah dalam diam di samping rumah yang teduh dipayungi kerindangan pohon sirsat
bersama kembang sepatu, kupu gajah, sarang laba-laba, dan seorang anak lain
yang sesungguhnya tak benar-benar ada; laki-laki 7 tahunan, keriting, berkulit
hitam dan tanpa nama.
Ibunya sejak tadi di kamar saja, tanpa suara, entah apa yang dia lakukan, aneh. Bapak dan satu-satunya saudaranya, yaitu kakak laki-laki yang agak punya persoalan kejiwaan, juga pergi ke rumah ibadah seperti yang lain.
Ada seorang tokoh ibadah dari kota besar jauh yang
datang dan ia memang sudah dinanti-nanti sejak lama oleh penduduk, sebab akan
menyampaikan kabar tentang hari kiamat, tentang siapa yang selamat, siapa yang
tidak dan tentang bagaimana sesudahnya.
Ibunya sendiri tidak datang, takut dengan kiamat dan harus ada yang menjaga si kecil, demikian alasannya, padahal bukan itu alasan sebenarnya.
Ibunya sendiri tidak datang, takut dengan kiamat dan harus ada yang menjaga si kecil, demikian alasannya, padahal bukan itu alasan sebenarnya.
Ketika sayup mulai terdengar alunan mantra-mantra dari
pengeras suara terbawa angin, ada seseorang dengan muka yang asing agak
tertutup caping hitam menyelinap diam-diam dari kebun kopi di belakang,
mengendap-endap, jongkok di dekat sumur, mengendap-endap lagi, jongkok lagi
dekat kandang ayam yang tak ada ayamnya, lantas berkelebat masuk lewat pintu
belakang yang tak dikunci.
Ia sejenak bertanya-tanya, tapi ia belum tahu yang
namanya curiga, dan sebab tak timbul semacam rasa takut dalam dirinya, lantas
meneruskan keasyikannya lagi, bermain dengan kembang sepatu, kupu gajah, sarang
laba-laba dan seorang anak lain yang sesungguhnya tak ada.
Sekitar setengah sampai tiga perempat jam kemudian,
ada yang berkelebat keluar lewat pintu belakang, tergesa-gesa, Si Caping Hitam
misterius tadi. Sampai di dekat sumur orang itu berhenti, termanggu, melempar
pandang ke samping rumah di bawah pohon sirsat, lalu berjalan pelan
menghampiri.
Sampai dekat benar orang itu berhenti, termangu.
Tangannya merogoh saku celana kanan, mengeluarkan kalung manik-manik
warna-warni, lalu jongkok dan disodorkannya. Setelah membelai rambut dan
mengusap pipi serta mengatakan; “anak manis”, orang itu berbalik dan cepat
melintas masuk ke kebun kopi.
Beberapa saat kemudian ibunya muncul berdiri di ambang
pintu samping, memanggilnya untuk mandi dengan suara yang nyaring, halus dan
merdu; suara yang paling disukainya. Ia berlari menghambur ke songsongan dua
tangan yang lantas mengangkatnya setinggi dada, menciumi hidungnya. Ia melihat
wajah ibunya lain; wajah yang kemerahan, lebih hangat dari biasanya dan
pelipisnya berkilat oleh keringat. Ia melihat ibunya lebih manis. Dan ibunya
tak tahu tentang kalung manik-manik itu yang sudah disembunyikannya di bawah batu
sela-sela akar pohon sirsat, karena ia merasa itu adalah rahasia.
Tokoh ibadah dari kota besar jauh itu tinggal cukup
lama di desa. Kadang tidur di salah satu keluarga di kampung sini, lalu kampung
sana, demikian tokoh itu terus berpindah-pindah hingga satu bulan lamanya. Dalam
seminggu ibadah dilaksanakan dua kali, awal dan akhir minggu. Dan memang kabar
tentang hari kiamat, keselamatan dan sesudahnya itu harus sekian kali
disampaikan untuk kelengkapan dan kejelasannya. Tetapi Ibunya tak pernah
sekalipun ikut datang ke rumah ibadah, dengan alasan yang selalu sama. Bapak
dan kakaknya selalu berangkat. Bapaknya agak penasaran dengan alasan ibunya
tapi menahan diri. Kakaknya tak memusingkan alasan ibunya. Dan orang yang sama
pun selalu menyelinap dari kebun kopi saat sayup mulai terdengar alunan
mantra-mantra dari pengeras suara terbawa angin, demikian hingga waktunya tiba tokoh
ibadah itu meninggalkan desa.
Tak lama berselang, antara bapak dan ibunya mulai
sering bertengkar, tambah hari tambah menghebat dan merembet pada barang-barang
pecah-belah. Namun ia tentu tak mengerti sebab-sebab perkara orang dewasa. Yang
jelas bapaknya jadi berubah sikap terhadapnya, tidak hangat-dekat seperti
sebelumnya, bahkan lama-lama tak memperhatikannya sama sekali.
Sedang sebaliknya, ibunya semakin tambah
memperhatikannya. Makin sering menemaninya bermain di samping rumah di bawah
pohon sirsat itu, dan acap kali ia melihat ibunya tersenyum padanya namun
dengan mata yang berkaca-kaca. Kakaknya sendiri lebih seperti anak bingung,
tidak sekolah, dan suka bermain sendiri di kali.
Akhirnya, semenjak suatu pertengkaran yang amat hebat
sampai ibunya mau dicekik, tapi justru ibunya berteriak minta dicekik lebih
keras lagi dan bapaknya melepaskan cekikan untuk lantas membentur-benturkan
kepalanya sendiri ke kaca almari di ruang makan, dan ia dipeluk kakaknya,
jongkok di bawah meja makan sambil menangis, bapaknya pun meninggalkan rumah
dengan kepala penuh darah, tak pulang-pulang hingga bertahun kemudian, yaitu
ketika kakaknya meninggal dipatuk ular. Tetapi segera pergi lagi seusai
penguburan, sampai kini.
didotklasta
medio 2000an
Comments