KESEHATAN KOMUNITAS BERBASIS KOMUNITAS (?) (artikel)
Artikel ini adalah kontribusi saya untuk salah satu edisi Koran Komunitas yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Kesetaraan, Aksi dan Refleksi (LSKaR) Salatiga.
Sekarang sampai orang-orang di pinggir jalan, di pasar, di warung kopi, kasak-kusuk tentang tatanan baru yang bisa menopang kehidupan yang lebih baik bagi semua. Tahukah saudara ? Ada kenyataan mengkhawatirkan dimana potensi dan kekuatan nyata masyarakat (baca : komunitas) untuk menghadapi tantangan, memecahkan persoalan, memenuhi kebutuhan, meraih cita-cita dan mewujudkan harapannya telah dipisahkan ataupun diambilalih dari dirinya sendiri oleh berbagai pihak atau otoritas untuk kepentingan-kepentingan yang sejatinya bukan kepentingan komunitas. Pihak atau otoritas ini karena kekuatan pemaksa atau kuasanya menempatkan dirinya pada kedudukan lebih tinggi, istimewa dan tak tersentuh, yaitu kuasa modal dan kuasa politik.
Ketika anggapan mapan-kolot bahwa negara dibuat oleh masyarakat sebagai cara mengorganisasikan kehidupan bersama beserta fungsi penjaminan kesejahteraan baik bagi masing-masing maupun bersama semakin sangat diragukan (dengan segudang alasan nalar-fakta yang bahkan untuk sebagian besar alasan ini orang awam-lugu-jelata pun paham dan tentu mengamini), maka menjadi penting untuk melihat di dalam masyarakat itu sendiri; segala kemampuan dan sumber daya (dan juga peluangnya) untuk melangsungkan kehidupannya sendiri dengan wajar, serta kemudian menggagas kemungkinan-kemungkinan sistim dan lembaga yang bisa dibangun oleh masyarakat sendiri untuk mengorganisasikan kemampuan dan sumber daya ini, dengan pengelolaan oleh masyarakat sendiri, yang kesemuanya di titik cukup radikal artinya adalah ‘mempretheli’ fungsi (baca : kontrol) negara, lebih radikal lagi adalah ‘mengabaikan’ kenyataan negara, dan boleh jadi paling radikal adalah : menghilangkan negara baik secara material-konkret maupun segala filosofi, mitos kesakralan tentangnya.
Sekarang sampai orang-orang di pinggir jalan, di pasar, di warung kopi, kasak-kusuk tentang tatanan baru yang bisa menopang kehidupan yang lebih baik bagi semua. Tahukah saudara ? Ada kenyataan mengkhawatirkan dimana potensi dan kekuatan nyata masyarakat (baca : komunitas) untuk menghadapi tantangan, memecahkan persoalan, memenuhi kebutuhan, meraih cita-cita dan mewujudkan harapannya telah dipisahkan ataupun diambilalih dari dirinya sendiri oleh berbagai pihak atau otoritas untuk kepentingan-kepentingan yang sejatinya bukan kepentingan komunitas. Pihak atau otoritas ini karena kekuatan pemaksa atau kuasanya menempatkan dirinya pada kedudukan lebih tinggi, istimewa dan tak tersentuh, yaitu kuasa modal dan kuasa politik.
Misalnya saja, kemampuan
komunitas untuk mengelola kebutuhan airnya sendiri diambilalih oleh sebuah
otoritas bernama PDAM.
Atau kemampuan komunitas untuk mengelola pengairannya sendiri diambilalih oleh dinas pengairan. Kemampuan komunitas untuk mengelola pendidikannya sendiri diambilalih oleh institusi (komersialisasi) pendidikan. Kemampuan komunitas untuk mengelola aset wisatanya sendiri diambilalih oleh investor pariwisata. Kemampuan untuk mengelola tanahnya sendiri diambilalih oleh developer. Kemampuan untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri diambilalih oleh perusahan tambang. Untuk mengelola fungsi kesehatannya sendiri diambilalih oleh dinas kesehatan dan bisnis rumah sakit. Untuk menentukan hidupnya sendiri diambilalih oleh dewan perwakilan. Untuk mengatur hidupnya sendiri diambilalih oleh pemerintah. Atau kemampuan masyarakat untuk mengorganisir hidup bersamanya sendiri diambilalih oleh negara. Gila !
Atau kemampuan komunitas untuk mengelola pengairannya sendiri diambilalih oleh dinas pengairan. Kemampuan komunitas untuk mengelola pendidikannya sendiri diambilalih oleh institusi (komersialisasi) pendidikan. Kemampuan komunitas untuk mengelola aset wisatanya sendiri diambilalih oleh investor pariwisata. Kemampuan untuk mengelola tanahnya sendiri diambilalih oleh developer. Kemampuan untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri diambilalih oleh perusahan tambang. Untuk mengelola fungsi kesehatannya sendiri diambilalih oleh dinas kesehatan dan bisnis rumah sakit. Untuk menentukan hidupnya sendiri diambilalih oleh dewan perwakilan. Untuk mengatur hidupnya sendiri diambilalih oleh pemerintah. Atau kemampuan masyarakat untuk mengorganisir hidup bersamanya sendiri diambilalih oleh negara. Gila !
Banyak lagi contoh lain di
berbagai bidang kehidupan masyarakat dimana intinya masyarakat tak lagi punya
hak apapun atas apapun yang sejatinya menjadi haknya. Jika punya tak lain itu
remah-remah pemberian dari kekuasaan. Dan kemudian yang terjadi adalah :
ketidakpastian hidup sebab hidupnya sudah ditangan kekuasaan dan untuk
hidup-hidup kita sendiri kita harus bayar mahal. Opo tumon sedulur ? Iki
jan-jane uripe sopo, urip kaya opo ? Edan tenan …
Ketika anggapan mapan-kolot bahwa negara dibuat oleh masyarakat sebagai cara mengorganisasikan kehidupan bersama beserta fungsi penjaminan kesejahteraan baik bagi masing-masing maupun bersama semakin sangat diragukan (dengan segudang alasan nalar-fakta yang bahkan untuk sebagian besar alasan ini orang awam-lugu-jelata pun paham dan tentu mengamini), maka menjadi penting untuk melihat di dalam masyarakat itu sendiri; segala kemampuan dan sumber daya (dan juga peluangnya) untuk melangsungkan kehidupannya sendiri dengan wajar, serta kemudian menggagas kemungkinan-kemungkinan sistim dan lembaga yang bisa dibangun oleh masyarakat sendiri untuk mengorganisasikan kemampuan dan sumber daya ini, dengan pengelolaan oleh masyarakat sendiri, yang kesemuanya di titik cukup radikal artinya adalah ‘mempretheli’ fungsi (baca : kontrol) negara, lebih radikal lagi adalah ‘mengabaikan’ kenyataan negara, dan boleh jadi paling radikal adalah : menghilangkan negara baik secara material-konkret maupun segala filosofi, mitos kesakralan tentangnya.
Dan maka yang tinggal adalah
kehidupan bumi dengan segenap warga bumi tanpa kecuali sebagai pengelola dan
pengontrol bersama untuk kesejahteraan bagi semua. Mungkin sekali keadaan ini
adalah apa yang kita angankan sejak jaman Adam-Hawa sebagai kehidupan yang
lebih baik. Amin. Amin. Amiiin.
Salah sebuah issu tentang
‘pengelolaan sendiri’ (swa-kelola komunitas) adalah soal kesehatan. Kesehatan adalah
salah satu dari banyak bidang pokok penopang hidup. Tiap-tiap individu punya
kebutuhan untuk sehat secara pribadi. Kumpulan individu-individu dalam sebuah
masyarakat punya kebutuhan untuk sehat secara bersama. Jika tidak sehat atau
sakit fungsi-fungsi aktifitas hidup akan (sangat) terganggu. Bahkan jika mati
maka kehidupan juga berhenti !
Sebagai individu saudara sudah
menjalankan langkah-langkah yang perlu dalam hidup saudara sendiri agar
terhindar dari wabah DB, misalnya membikin sanitasi yang baik untuk rumah
saudara. Namun kondisi sanitasi pada umumnya di kampung saudara adalah buruk.
Ketika kampung saudara kena wabah DB saudara pun akan terancam, demikian dan
sebaliknya. Jadi kesehatan adalah perkara individu, domestik (keluarga-rumah
tangga) juga perkara bersama dalam komunitas, bahkan perkara masyarakat lebih
luas lagi, masyarakat dunia.
Jika kita kembali dipernyataan
awal bahwa masyarakat (baca : komunitas) ‘pasti’ punya kemampuan untuk
menghadapi tantangannya, untuk memenuhi kebutuhannya maka untuk
kebutuhan-kebutuhan seputar bidang kesehatan komunitas pun tentu mampu
mengatasinya.
Bagaimana dengan perawat, mantri
kesehatan, dokter, dokter spesialis, rumah sakit, apotik, pabrik obat, fakultas
kedokteran, akademi perawat dlsb ? Apakah komunitas bisa memenuhi itu semua ?
Jawabannya bisa ! Bisa disini tak lantas artinya bahwa di pedukuhan Kedungmiri
misalnya, dari sekitar 700 warganya ada yang jadi perawat, mantri kesehatan,
dokter, atau ada rumah sakit, apotik, fakultas kedokteran yang semuanya dikelola
sendiri oleh warga pedukuhan Kedungmiri.
Yang penting dari jawaban bisa di
atas adalah hal ‘pengoptimalan sumber daya komunitas dan pengelolaan sistim dan
lembaga oleh komunitas itu sendiri’ sebagai model awal untuk menuju sesuatu
jauh di depan yang mari kita sebut ‘Kesehatan Komunitas Berbasis Komunitas’
(wuih …) yang merupakan salah satu bidang dari banyak bidang perubahan sosial
untuk mengembalikan hidup masyarakat di tangan masyarakat tanpa dikangkangi
kekuasaan.
Mari kita lihat potensi dan kekuatan
apa yang ada di dalam komunitas kita dalam hal ini adalah daya dukung komunitas
untuk menyelenggarakan fungsi kesehatan. Fungsi-fungsi yang sederhana saja
dulu.
Kesehatan paling erat urusannya
dengan penyakit. Soal penyakit ada dua segi pokok, yaitu pencegahan dan
penanganan. Untuk pencegahan intinya sederhana saja, yaitu pola hidup sehat.
Pola hidup sehat intinya ya pola hidup sehat secara individu, unit keluarga dan
lingkungan. Tak ada yang susah. Makan bergizi dan variatif, gerak badan,
berpikir positip, buang sampah pada tempatnya, kualitas air-sanitasi, hidup
seorganik mungkin, dlsb. Oya, rekreasi Bung. Hal-hal biasa dan bukan
kecanggihan, sebab jaman dulu nenek-moyang telah mengawalinya, dengan baik.
Untuk penanganan problem
kesehatan atau penyakit ? Tentu saja kalau pola hidup sehat individu, keluarga
dan komunitas telah terbangun, relatif tak akan ada problem kesehatan. Dan
tentu saja melembagakan dan mengelola pola hidup sehat seperti digambarkan di
atas sangat bisa dilakukan komunitas.
Tetapi bagaimana jika muncul
problem kesehatan luar biasa yang penanganannya menuntut tingkat kemampuan di
luar kemampuan komunitas ? Virus global misalnya. Atau lebih sederhana,
penyakit tertentu yang lebih disebabkan oleh bawaan fisiologis. Tentu komunitas
termaksud mesti perlu (mengakses) fungsi-fungsi di luarnya. Namun yang penting
adalah, apakah komunitas juga punya peran (akses) dalam penentuan, pengelolaan
dan kontrol terhadap jalannya fungsi-fungsi antara komunitas dengan lembaga
kesehatan khusus atau antar komunitas satu dan lainnya.
Namun di luar kebutuhan kesehatan
yang demikian rumit dan canggih (dan terkadang juga mengada-ada, tak lebih dari
bisnis) yang masih diluar jangkauan daya komunitas dan masih menuntut adanya
lembaga-lembaga kesehatan resmi, profesi ahli medis resmi, peraturan resmi,
sangat penting untuk mengujicobakan sebuah model lembaga lokal paling sederhana
sebagai langkah awal (prototip) menuju otonomi kesehatan komunitas bertolak
dari kemampuan dan sumberdaya lokal komunitas masing-masing. Yang jelas (untuk
sementara dengan mengesampingkan kasus-kasus kesehatan ‘luar biasa’) secara
prinsip, komunitas nyata mampu mengelola ‘hidup sehatnya’ sendiri.
Posyandu adalah sebuah contoh
model kelembagaan yang cukup bagus dan mendekati apa yang disebut ‘Kesehatan
Komunitas Berbasis Komunitas’, tentu dengan sejumlah kritik dan saran untuk
perbaikan. Pertama, lingkupnya mesti diluaskan menjadi kesehatan umum (tak
hanya seputar perawatan kehamilan dan balita). Kedua, kemandirian, sehingga tak
lagi bergantung dan diatur-atur oleh instansi induknya (hanya perpanjangan
politik top-down pemerintah – dinas kesehatan). Ketiga, pembangunan kemampuan
kader hingga mampu melakukan fungsi-fungsi penanganan kesehatan lebih luas dan
tekhnis serta menjadi motor-motivator dan mediator peningkatan kemampuan
kesehatan komunitas bagi segenap anggota komunitas (sehingga akhirnya semua
anggota komunitas adalah kader). Kelima, perlu adanya jaringan kerjasama dan
saling bantu antar posyandu di berbagai komunitas yang swakelola dan
independen. Keenam, namanya apa mungkin diganti saja ya ? Sebab posyandu itu
kan nama program bikinan pemerintah, sedang yang ini kan program bikinan
komunitas kita sendiri saudara … Ya tho Kang ?! Ya tho Yu ?! Tho yaaaaa ha ha
ha !!!
DidotKlasta Harimurti
Sawijining deso, agustus 2007
Sawijining deso, agustus 2007
Comments