CERITA SAMAR DARI DUSUN KAMI (cerpen, kenangan terindah)
Cerita ini berbahan-baku kisah nyata dimasa kecilku saat keluargaku tinggal di desa B (kec. Tengaran kab. Semarang) mengontrak rumah tepi jalan Tingkir - Suruh bersebelahan dengan sawah. Dan satu-satunya tivi yang kutahu adalah milik gereja Isa Al Masih yang dipasang di teras menghadap pekarangan depan sehingga siapa saja bisa nonton. Gereja ini berdiri di pinggir jalan kira-kira berseberangan dengan pasar desa B.
Aku ingat akan suatu sore yang dekat dengan hari kemerdekaan, dulu sekali, ketika kota belum semenarik sekarang dan tinggal di desa cukup punya martabat yang terjaga dari superioritas kota.
Orang-orang kampung Barokan dan juga kampung-kampung lain di sepanjang jalan besar yang menghubungkan dengan kecamatan S di Timur dan kota S di Barat Laut itu berkerumun memenuhi jalan aspal baru yang membelahnya. Semua mata memandang ke arah langit di Tenggara dengan ekspresi takjub, takut dan bingung, menunjuk-nunjuk dan berkata-kata riuh-rendah satu sama lain. Tetapi waktu itu kebanyakan orang kemana-mana masih jalan kaki, atau naik pedati, atau kuda, paling banter bersepeda, jadi dapat dikatakan lalulintas tak terlalu terganggu. Malah banyak yang sedang dalam perjalanan pun berhenti dan seperti yang lain, menatap ke arah langit Tenggara.
Aku dipondong bapak di punggung, berdiri di depan rumah Bu Carik yang posisi tempatnya paling enak bersama orang-orang. Kakak bersama teman-temannya pindah-pindah kesana-kemari. Ibu tadi juga keluar tapi paling-paling hanya di depan rumah saja. Ya, kami semua; warga dusun Barokan di sore yang amat langka itu sedang menyaksikan pemandangan luar biasa di langit;
segumpalan awan putih berbentuk mirip sekali dengan kambing dan segumpalan lagi yang lebih besar berbentuk seperti raja raksasa dalam pewayangan. Kambing itu seperti mengembik-embik ketakutan, berusaha bergerak tapi keempat kakinya kaku. Raksasa itu tangannya sekitar lima atau enam dan menjuntai seperti ular. Ia membungkuk dan tangan-tangan itu mencengkeram kambing yang hanya bisa menggerak-gerakkan kepalanya. Raksasa itu membuka mulutnya akan melahap kambing itu. Pemandangan itu semua jadi menakjubkan karena kejelasannya, tak seperti kalau anak-anak sedang bermain menerka-nerka bentuk tertentu dari gumpalan awan, yang satu dengan yang lain suka berbeda-beda terkaannya. Dan gerak-gerak itu sangat lambat namun justru kelambatannya yang membuat mata kami terus terbeliak lekat.
Pemandangan raksasa mau melahap kambing ini berlangsung tak sampai sejam namun lebih dari setengah jam, sampai kambing itu benar-benar dilahap. Ketika kambing itu tinggal kelihatan pantat, ekor dan kaki belakangnya, raksasa itu berdiri tegak, kepalanya tengadah, mulutnya makin membuka lebar dan kambing itu lenyap seluruhnya seiring dengan tangan-tangannya yang terkembang dan memanjang, memanjang, memanjang … Kami semua sontak terkesiap sebab tangan-tangan itu seakan menjangkau ke arah kami, tapi kami semua seperti kambing itu, terpaku saja di tempat masing-masing dengan berdebar-debar dan di antara kami saling berkata-kata riuh-rendah tak jelas, lebih seperti dengungan serombongan lebah … TARRR!!! Tiba-tiba petir menggelegar sekali saja, demikian keras, kami berteriak serempak dan belum lagi kaget kami hilang langsung disusul turunnya hujan mencurah tak kepalang derasnya. Langit pun sontak mengelam. Kami semua berhamburan pulang ke rumah masing-masing seperti anak-anak ayam. Bahkan kanak-kanak banyak yang menangis hingga menjerit-jerit, sedang aku hanya kalut saja, tapi lekas reda begitu melihat Ibu menyongsong dengan satu pelepah pisang dan satu payung. Kakak duluan sudah berbelok masuk pekarangan rumah.
Sampai malam hujan tak kunjung reda. Bahkan sejak senja daerah kampung Barokan dan sekitarnya kena pemadaman listrik. Dari kaca-kaca jendela atau kisi-kisi dinding papan atau celah-celah dinding bambu rumah-rumah nampak keremangan-keremangan yang memberkas. Di rumah kami hanya ada satu teplok berukuran lumayan besar menerangi ruang tengah. Di depan lampu minyak kecil dari botol minyak rambut. Dua kamar tidur dibiarkan gelap. Di dapur Mbah Nem membikin api di tungku. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. BLARRR!!! Katanya trafo di atas tiang di dekat pasar meledak. Memang sudah beberapa kali begitu kalau hujan turun deras berlebihan, apalagi jika ditambah angin kencang. Dan angin sejak beberapa saat lalu memang menjadi kencang.
Aku mendengarkan dongeng Bapak tentang Aswatama yang membantai orang Pandawa di malam penghabisan perang saudara wangsa Barata. Itu cerita yang sudah kudengar sebelumnya dari mulut yang sama, tetapi kali berikutnya dimalam listrik padam itu membuatnya jadi lebih mencekam; misterius, ngelangut. Dan suara Bapak terkesan lebih berat.
Ibu menembang lirih dari lagu satu ke lagu berikutnya; mocopatan. Jelas jauh lebih merdu sinden kampung sekalipun, tapi suara Ibu bagiku lebih menyentuh hati. Kakak sudah di dapur bersama Mbok Nem, membakar biji melinjo yang dikumpulkannya sore tadi dari pekarangan belakang rumah Pak Dhe Rus. Radio menyala, berita kecelakaan yang sangat mengerikan. Tapi kami tak terlalu peduli. Sudah sekian waktu radio hanya berisi berita-berita kecelakaan yang sangat mengerikan. Atau bisa jadi sebab pikiran kami tak ke situ.
Tiba-tiba ada gedoran pada pintu depan. Ya, gedoran, bukan ketokan. Kami terperanjat. Gedoran lagi, lebih keras, lebih berulang-kali. Bapak berdiri, Ibu berdiri, aku mendepis di kursi. Bapak berjalan ke ruang tamu.
“Siapa?”
“Keluar kau Mun!”
“Siapa itu?!”
“Bangsat! Keluar kau biar kucincang!”
“Kasbul?!”
“Ya!”
“Ada apa ini?!”
“Bangsat! Kenapa Jiyo tak naik kelas ha?!”
“Jiyo itu anak Demange … Apa urusannya denganmu?!”
“Aku suruhan Demange!”
“Ini perkara Jiyo atau perkara politik?!”
“Ini perkara kau kudu mati! Buka! Atau aku masuk paksa!”
“Bul Kasbul … Dibayar berapa kau oleh Demange?”
Suara gedoran terdengar lagi. Tambah keras. Lantas kaca pecah. Lantas BYAR! Lampu menyala. Bapak berteriak-teriak memanggil-manggil Lik Parjo si tukang sepatu yang juga guru silat ternama. Kasbul secepat kilat lenyap dalam kegelapan rumpun-rumpun pisang. Kakak dari dapur membawa beberapa potong kayu bakar untuk dijadikan pentungan.
Setelah beberapa saat Lik Parjo datang dan Bapak membuka pintu. Aku memegangi kain Ibu, turut ke depan diikuti Kakak. Setelah beberapa saat Lik Parjo pulang. Bapak masuk. Kami kembali ke ruang tengah. Mbok Nem meletakkan secawan kecil melinjo bakar. Kami diam dalam ketakutan. Bapak masuk kamar dan sebentar kemudian keluar dengan sebilah keris terhunus yang berkarat. Dan Bapak berceritalah dengan suara makin berat tentang riwayat keris itu yang pernah membuat Buyut dan Kakekku ternama di sekitar perbukitan Menoreh sebagai penunduk harimau, pembekuk begal-kecu dan penggentar Belanda serta Jepang. Asyik sekali aku mendengarkan.
Radio beralih pada acara penyuluhan pertanian yang banyak kata-kata kampanye politiknya. Aku tidurlah. Esoknya orang-orang heboh dengan mayat Kasbul yang terburai ususnya dan siangnya Demange mati sebab penyakit yang aneh.
didotklasta
medio 2000an
Aku ingat akan suatu sore yang dekat dengan hari kemerdekaan, dulu sekali, ketika kota belum semenarik sekarang dan tinggal di desa cukup punya martabat yang terjaga dari superioritas kota.
Orang-orang kampung Barokan dan juga kampung-kampung lain di sepanjang jalan besar yang menghubungkan dengan kecamatan S di Timur dan kota S di Barat Laut itu berkerumun memenuhi jalan aspal baru yang membelahnya. Semua mata memandang ke arah langit di Tenggara dengan ekspresi takjub, takut dan bingung, menunjuk-nunjuk dan berkata-kata riuh-rendah satu sama lain. Tetapi waktu itu kebanyakan orang kemana-mana masih jalan kaki, atau naik pedati, atau kuda, paling banter bersepeda, jadi dapat dikatakan lalulintas tak terlalu terganggu. Malah banyak yang sedang dalam perjalanan pun berhenti dan seperti yang lain, menatap ke arah langit Tenggara.
Aku dipondong bapak di punggung, berdiri di depan rumah Bu Carik yang posisi tempatnya paling enak bersama orang-orang. Kakak bersama teman-temannya pindah-pindah kesana-kemari. Ibu tadi juga keluar tapi paling-paling hanya di depan rumah saja. Ya, kami semua; warga dusun Barokan di sore yang amat langka itu sedang menyaksikan pemandangan luar biasa di langit;
segumpalan awan putih berbentuk mirip sekali dengan kambing dan segumpalan lagi yang lebih besar berbentuk seperti raja raksasa dalam pewayangan. Kambing itu seperti mengembik-embik ketakutan, berusaha bergerak tapi keempat kakinya kaku. Raksasa itu tangannya sekitar lima atau enam dan menjuntai seperti ular. Ia membungkuk dan tangan-tangan itu mencengkeram kambing yang hanya bisa menggerak-gerakkan kepalanya. Raksasa itu membuka mulutnya akan melahap kambing itu. Pemandangan itu semua jadi menakjubkan karena kejelasannya, tak seperti kalau anak-anak sedang bermain menerka-nerka bentuk tertentu dari gumpalan awan, yang satu dengan yang lain suka berbeda-beda terkaannya. Dan gerak-gerak itu sangat lambat namun justru kelambatannya yang membuat mata kami terus terbeliak lekat.
Pemandangan raksasa mau melahap kambing ini berlangsung tak sampai sejam namun lebih dari setengah jam, sampai kambing itu benar-benar dilahap. Ketika kambing itu tinggal kelihatan pantat, ekor dan kaki belakangnya, raksasa itu berdiri tegak, kepalanya tengadah, mulutnya makin membuka lebar dan kambing itu lenyap seluruhnya seiring dengan tangan-tangannya yang terkembang dan memanjang, memanjang, memanjang … Kami semua sontak terkesiap sebab tangan-tangan itu seakan menjangkau ke arah kami, tapi kami semua seperti kambing itu, terpaku saja di tempat masing-masing dengan berdebar-debar dan di antara kami saling berkata-kata riuh-rendah tak jelas, lebih seperti dengungan serombongan lebah … TARRR!!! Tiba-tiba petir menggelegar sekali saja, demikian keras, kami berteriak serempak dan belum lagi kaget kami hilang langsung disusul turunnya hujan mencurah tak kepalang derasnya. Langit pun sontak mengelam. Kami semua berhamburan pulang ke rumah masing-masing seperti anak-anak ayam. Bahkan kanak-kanak banyak yang menangis hingga menjerit-jerit, sedang aku hanya kalut saja, tapi lekas reda begitu melihat Ibu menyongsong dengan satu pelepah pisang dan satu payung. Kakak duluan sudah berbelok masuk pekarangan rumah.
Sampai malam hujan tak kunjung reda. Bahkan sejak senja daerah kampung Barokan dan sekitarnya kena pemadaman listrik. Dari kaca-kaca jendela atau kisi-kisi dinding papan atau celah-celah dinding bambu rumah-rumah nampak keremangan-keremangan yang memberkas. Di rumah kami hanya ada satu teplok berukuran lumayan besar menerangi ruang tengah. Di depan lampu minyak kecil dari botol minyak rambut. Dua kamar tidur dibiarkan gelap. Di dapur Mbah Nem membikin api di tungku. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah. BLARRR!!! Katanya trafo di atas tiang di dekat pasar meledak. Memang sudah beberapa kali begitu kalau hujan turun deras berlebihan, apalagi jika ditambah angin kencang. Dan angin sejak beberapa saat lalu memang menjadi kencang.
Aku mendengarkan dongeng Bapak tentang Aswatama yang membantai orang Pandawa di malam penghabisan perang saudara wangsa Barata. Itu cerita yang sudah kudengar sebelumnya dari mulut yang sama, tetapi kali berikutnya dimalam listrik padam itu membuatnya jadi lebih mencekam; misterius, ngelangut. Dan suara Bapak terkesan lebih berat.
Ibu menembang lirih dari lagu satu ke lagu berikutnya; mocopatan. Jelas jauh lebih merdu sinden kampung sekalipun, tapi suara Ibu bagiku lebih menyentuh hati. Kakak sudah di dapur bersama Mbok Nem, membakar biji melinjo yang dikumpulkannya sore tadi dari pekarangan belakang rumah Pak Dhe Rus. Radio menyala, berita kecelakaan yang sangat mengerikan. Tapi kami tak terlalu peduli. Sudah sekian waktu radio hanya berisi berita-berita kecelakaan yang sangat mengerikan. Atau bisa jadi sebab pikiran kami tak ke situ.
Tiba-tiba ada gedoran pada pintu depan. Ya, gedoran, bukan ketokan. Kami terperanjat. Gedoran lagi, lebih keras, lebih berulang-kali. Bapak berdiri, Ibu berdiri, aku mendepis di kursi. Bapak berjalan ke ruang tamu.
“Siapa?”
“Keluar kau Mun!”
“Siapa itu?!”
“Bangsat! Keluar kau biar kucincang!”
“Kasbul?!”
“Ya!”
“Ada apa ini?!”
“Bangsat! Kenapa Jiyo tak naik kelas ha?!”
“Jiyo itu anak Demange … Apa urusannya denganmu?!”
“Aku suruhan Demange!”
“Ini perkara Jiyo atau perkara politik?!”
“Ini perkara kau kudu mati! Buka! Atau aku masuk paksa!”
“Bul Kasbul … Dibayar berapa kau oleh Demange?”
Suara gedoran terdengar lagi. Tambah keras. Lantas kaca pecah. Lantas BYAR! Lampu menyala. Bapak berteriak-teriak memanggil-manggil Lik Parjo si tukang sepatu yang juga guru silat ternama. Kasbul secepat kilat lenyap dalam kegelapan rumpun-rumpun pisang. Kakak dari dapur membawa beberapa potong kayu bakar untuk dijadikan pentungan.
Setelah beberapa saat Lik Parjo datang dan Bapak membuka pintu. Aku memegangi kain Ibu, turut ke depan diikuti Kakak. Setelah beberapa saat Lik Parjo pulang. Bapak masuk. Kami kembali ke ruang tengah. Mbok Nem meletakkan secawan kecil melinjo bakar. Kami diam dalam ketakutan. Bapak masuk kamar dan sebentar kemudian keluar dengan sebilah keris terhunus yang berkarat. Dan Bapak berceritalah dengan suara makin berat tentang riwayat keris itu yang pernah membuat Buyut dan Kakekku ternama di sekitar perbukitan Menoreh sebagai penunduk harimau, pembekuk begal-kecu dan penggentar Belanda serta Jepang. Asyik sekali aku mendengarkan.
Radio beralih pada acara penyuluhan pertanian yang banyak kata-kata kampanye politiknya. Aku tidurlah. Esoknya orang-orang heboh dengan mayat Kasbul yang terburai ususnya dan siangnya Demange mati sebab penyakit yang aneh.
didotklasta
medio 2000an
Comments