Posts

Showing posts with the label Puisi 2000 - 2005

SAAT ORANG BESAR LEWAT (puisi)

Image
Suppression #69, didot klasta Lasiyem masuk dengan belanjaan paket pengiritan Tergopoh-gopoh lugu langsung spontan Saya nonton Buke ! Saya nonton ! Jalanan dikosongkan Mas ! Cuma sedan-sedan yang liwat ! Banyak nguing-nguing ! Banyak pulisi ! Ada apa ? Ada apa ? Bencana dimana ya ? Sambil menguap Bapak menyahut dari kamar tidur. Itu Es Be Ye ... Mau ke Boyolali dia ... Lasiyem manggut-manggut sambil berlalu ke dapur Ooo … Pak Presiden tho … Lantas kami sekeluarga pun agak bersungut-sungut Pemimpin kok bisanya ngrepoti … Salah sendiri … Kenapa nyoblos ? Siapa nyoblos !? Siapa nyoblos !? Ha ha ha ... Baru ingat jebul kami tak ada yang nyoblos Ha ha ha ... Bapak ngorok lagi Ibu ikut ngorok Adik juga ikut Aku berak sajalah Lasiyem memetik kangkung Sambil memandangi tinja-tinja yang keras aku merenung : Hmmm ... Kami punya sikap bermartabat terhadap kekuasaan

PARA BINATANG (puisi)

KUTU ROMANTIK REVOLUSIONER Kepala adalah pusat kekuasaan. Rambut kancah politiknya. Pejuang bawah tanah itu kutu. Satu minggu kumpul denganmu; pergumulan liar. Sel revolusi membelah diri. Beranak-pinak. Gatal sekali. Tapi tak peduli. BEKICOT OTONOM HORE ! Aku punya dua kelamin. Segalanya jadi lebih mudah. Tidak ditindas ... Tidak menindas ... Tidak ditipu; politik persetubuhan.

TEMBANG GUNUNG KAPUR (puisi)

Pakne thole Makne thole Ora duwe duwit njuk kepiye Nyang kutho wae Mburuh-mburuh sak kecekele Kana Le ndang gage-gage Bareng karo kanca-kancane Ning nggugu karo mandore Lautan gubuk beratap jemuran gaplek. Jalan kaki naik ke gunung. Bapa-Biyung menggempur batu. Matahari kapur jarak sejengkal dari bahu. Manusia tembaga bekerja. Kerja bukan lagi untuk amal-ibadah. Di gunung kapur setan jauh. Di sini saja hantu kemiskinan berkeliaran. Tak menawarkan neraka nanti. Tapi busung lapar hari ini. Bekerja adalah bertahan. Sekarang sudah menghitam. Kapan mereka jadi arang ?

BILIK-BILIK MENARA BABEL

Duka satu mendukai yang lain. Tikam satu menikami yang lain. Tak kunjung usai siksa ini. Karena kebencian terkutuk terus bertarung. Tak bisa mati-mati. Ada apa dengan kita ? Sepanjang jalan kecam-mengecam kemanusiaan. Bisu sebentar sebab terengah kesepian : dalam perpisahan sombong. Lalu bertemu lagi untuk kian terengah lagi. Tetap dalam debat kemanusiaan. Membungkus racuan sepi : tak lebih. Ada apa di antara kita ? Jika jumpa, bebal menyombongkan kemanusiaan bebal. Padahal sepi di ulu hati, memagut-magut udara komunikasi : hampa.

KLARIFIKASI

Buat pejalan-pejalan sunyi Jika ku berulang kali Meracau-racau hal sepi Bukan pretensi Ingin ditemani Hanya lolong saja Srigala berluka Itu naluri Psikologi sendiri Dan mekanisme Pertahanan diri Biasa Seperti salak, dengking dan geram Tak berkelanjutan kok Tergantung keadaan Yang penting berkarya Tahan berkelanjutan Dalam segala cuaca Bagi sesama Sebab persoalan kemanusiaan Pun bukan musiman

AS TIME GOES BY (puisi)

Image
Kayu getas Besi berkarat Batu menyerpih Angin datang-pergi-datang Kita mati Mereka mengganti Ada yang semestinya berlalu musnah Misalnya penindasan haram jadah Ada yang semoga tetap mengada Barangkali cinta dan semacamnya Didot Klasta Salatiga, pertengahan 2000an

WAKTU BERHENTI DI DUSUN INI

Perjalanan kecepatan cahaya mesin waktu. Zwinnnggg ... Aku Melesat ! Tinggalkan kota-kota yang meninggalkan parut-parut riwayatku dan meninggalkanku sebab orang-orang yang kusangka kukenal ternyata tiada kukenal tapi mereka saling mengenal : Ini pedih ... Sebab ku bersalam dengan puisi nyeri sedang ini kota adalah puisi tuli tanpa hati : Ini parau ... Sebab ada perempuan manis teralienasi dan aku seperempat mabok coba bergaya berbagi tapi sesungguhnya cuma sedang menyaman-nyamankan diri sendiri : Ini hambar ... Sebab ada seorang kawan menengok dari dalam rumah bilyar dengan wajah gairah lampu, hingar-bingar dan slowdown kota tegang ketika ku mengajak; Ayo ke desa ! : Ini sunyi ... Perjalananan kecepatan cahaya mesin waktu. Zwinnnggg ... Aku berpacu menjauh. Mau lebih cepat lagi dari semuanya ini yang menjauhiku. Dewa mabok kutunggangi sekaligus menunggangiku. Atrium, Ujung-Ujung, Dadapayam, Dusun Lembu ... Smoga takkan pernah ada kota gila di situ

INTROSPEKSI INI HARI (puisi)

Image
Antonius Yosef Harimurti Adi alias Didik Kabe alias Didot Klasta bersama tembakau shag Countryman, kertas sigaret Melawan dan anggur kolesom cap Orang Tua, 2004. Sebab ku masih ingin terkadang ... Jadi orang kaya bertumpuk uang ... Puisi jadi tak menarik terkadang ... Semua yang kulakukan ... Jadi skema strategi penghasilan ... Uang ... Tak menarik diceritakan ... Bagaimana menjual projek pendidikan ... Bagaimana mengkomersilkan perubahan ... Bagaimana mengkomoditikan kesenian ... Bagaimana hidupku jadi modus pemasaran ... Bagaimana merayakan era dagang ... Kemanusiaan ... Itu semua puisi juga ... Cuma tiada menariknya Belum lagi ku juga ingin terpandang ... terkadang ... Mengeklaim nama atas kerja bersama ... Rekayasa media ... Tekhnik membesarkan kepala ... Elit bintang - massa pemuja ... Manusia luar biasa ... Beda ... Itu semua puisi juga ... Cuma busuk isinya Ya, terkadang ku masih ingin jadi orang ... Penuh bahan cerita kesuksesan ... Andalan di berbagai pertemuan ...

ANTARA ANAK, IBU DAN 24 JAM BLUES

Seorang anak memandang jauh Kaki langit terhalang benda-benda Asing bertumbuh, bukan tumbuhan Jika rimbun daun, diterobos bulan matahari Batu-bata ? Bahkan mencegat udara Seorang anak mencari-cari cakrawala Mungkin untuk bertukar cerita Tentang peristiwa sehari-hari Dan bagaimana nanti Ada air terjun kecil, telaga kecil, rumah kayu kecil, api hangat Rembang petang, cuaca yang bagus Kebahagiaan simpel sehari tadi Keluarga sahaja bersyukur Apapun yang terjadi Dan ooo ... jebul itu wallpaper desktop komputer Dan di luar kabut tebal Orang-orang muram Merutuki, mengasihani diri sendiri Batuk dan cakap bergema berat Tak ada yang bermain Tak ada canda Selain sandiwara Cahaya dari jendela rumah telaga Makan malam apa mereka ? Obrolan apa di sekeliling meja ? Begitu ringan dan merdeka Hingga menebar di permukaan air Bagai seribu sampan Berkilau tiada khawatir Antar tetangga melempar salam Ahoooi ! Angin nyaman Siapa mereka ? Si anak tak berkedip Di belakangnya

SAJAKSAJAK ORANGTUA

I Orang tua menyeberang jalan Aspal membelah kompleks perumahan bersedan Menuntun sepeda lama hitam buram Tujuhpuluhan batuk lemah dan kering Baju murah Celana banyak tisiknya Sandal jepit swalo ijo Dari mana mau ke mana Sudah sarapankah ia Klakson berat, sukses, kaya, sombong dan kota … tak menjawabnya

INTERLUDE REPETISI 2

Jam 4 pagi akhir pebruari bertanda mati. Gelegar petir ternyata bukan mimpi. Terbangun dengan hujan mengelilingi. Mencari-cari ... Mencari-cari ... Sebab dingin memakai baju jeans kebesaran - sebab lungsuran. Aku merasa aneh dan gamang. Merasa dibungkus hangatnya kesepian yang agak menyakitkan. Bersama kopi sore tadi yang tandas - cap cangkir. Tak yakin ... Apa ada orang lain ? Tak yakin ... Apa sebab perasaan akan orang lain ? Tak yakin ... Apa dipikirkan orang lain ? Tak yakin ... Menyulut kompor, memasak air. Titik-titik susu kaleng terakhir - beberapa semut. Cumi-cumi di wajan warnanya kusam. Jiwaku lapar, napsuku muram. Mejik Jer mengelilingi. Di dalamnya orang-orang miskin - kepanasan. Aku merasa aneh dan gamang. Dalam gelap hanya api pembakaran tak sempurna. Desis air berbisik lewat mulut ceret tua. Saat mendidih terdengar menyayat. Tak yakin ... Ini hujan atau tekanan ? Tak yakin ... Buat apa terbangun kepagian ? Tak yakin ... Ada apa dengan kesendirian ? Tak yakin ... Ja

BELAJAR NYEKET MASYARAKAT BERAWAL DARI GARIS CINTA

Jika sehabis muntah sebab pemimpin busuk Ku jadi ereksi dan ingin jalan bebas Dengan tumit melonjak-lonjak Seperti manusia harian Just for fun Aspal mati Karnaval bisnis berlalu Kapital dan senjata verboden Kota tanpa developer Ruang publik tiada tragedi, selain total cinta yang no vested interest Dengan lontar ujung kerdip mataku Padanya pas kutuju Berdiri dalam 'slow motion' Menyibak rambut bikin cerai-berai KAU ! (sebuah nama rahasia) Pirangmu ... Indah taburan bougenville Bumiputra masa kini mbayangin musim gugur subtropis penjajah Lalu ingat lukisan gaya Sokaraja Tanah tuan tanah Ternak Cukong Jakarta kaya Pendopo raja kecil Kota tak bernama Kemajuan nan kejam Dan becak bergambar panorama a la lukisan Sokaraja Lalu diterbangkan angin Tinggal aku, sore serta sejenak netral Semuanya ... Kawinlah saja ! Sebelum kota ini, disaput kelabu buram Warna pelukis fatalis Ingin mati gagal menggambar ; pembangunan