SAJAKSAJAK ORANGTUA
I
Orang tua menyeberang jalan
Aspal membelah kompleks perumahan bersedan
Menuntun sepeda lama hitam buram
Tujuhpuluhan batuk lemah dan kering
Baju murah
Celana banyak tisiknya
Sandal jepit swalo ijo
Dari mana mau ke mana
Sudah sarapankah ia
Klakson berat, sukses, kaya, sombong dan kota … tak menjawabnya
II
Peyot tirus misterius
Berkerut duduk di pojok perempatan
Depan rumah besar kosong itu
Milik Cukong bangkrut krismon dulu
Dijual tak laku-laku
Membawa balon warna-warni dengan tali
Di pagi itu di negri ini
Di harga sembako meninggi
Di ini kampung banyak anak sepi pembeli
Mendung di perut
Mendung di hati
III
Sepasang penuh uban di lincak bambu tua
Duduk-duduk beranda rumah papan tua
Pohon sirsat tua
Tanah berlumut tua
Hari-hari tua
Tanpa kata-kata
Perbincangan abadi tanpa angin
Cinta tua
Sosial politik ekonomi kebudayaan kejiwaan
Kejahatan maksiat dusta
Omong kosong
Pergaulan bebas
Kuasa angkara
Perut babi pakai jas rakus
Mulut besar memakan mic-mic instan besar
Persetubuhan sia-sia
Perasaan tersesat dalam kecanggihan
Pabrik penindasan sunyi
Kantor korup tutup awal
Sejuta saluran televisi
Berubah-ubah
Perbincangan abadi tanpa angin
Cinta tua tak mati-mati
IV
Tukang gandhos rangin ngantuk
Bungkuk si pencari uang tua
Kaki lima digusur
Pasar menjadi penjajahan
Dia tak sedang bermimpi
Janda tua mampir beli sekian biji
Dia sudah lama ditinggal istri
Transaksi
Tangan bersentuhan samar dan pelan
Bersama bungkus koran dan receh kembalian
Adakah perasaan-perasaan tua
Terima kasih
V
Pejuang kemerdekaan tua
Membuka lipatan bendera kemerdekaan tua
Kencing kecoa tai tikus jamur waktu
Pada buku catatan tua
Tertulis pudar tinta biru tua
Sekali belum merdeka
Tetap belum merdeka
VI
Tuan Malaikat Jibril
Kasih aku seratus tahun lagi
Anak-anakku belum kutinggali apa-apa
Kecuali penderitaan orangtuanya
Kasih aku hidup
Beratusratusratus tahun lagi
Ketika mungkin tak menderita lagi
VII
Si Tua …
Belum mau menghembuskan napasnya …
Yang terakhir
VIII
Si Tua …
Diam
Orang tua menyeberang jalan
Aspal membelah kompleks perumahan bersedan
Menuntun sepeda lama hitam buram
Tujuhpuluhan batuk lemah dan kering
Baju murah
Celana banyak tisiknya
Sandal jepit swalo ijo
Dari mana mau ke mana
Sudah sarapankah ia
Klakson berat, sukses, kaya, sombong dan kota … tak menjawabnya
II
Peyot tirus misterius
Berkerut duduk di pojok perempatan
Depan rumah besar kosong itu
Milik Cukong bangkrut krismon dulu
Dijual tak laku-laku
Membawa balon warna-warni dengan tali
Di pagi itu di negri ini
Di harga sembako meninggi
Di ini kampung banyak anak sepi pembeli
Mendung di perut
Mendung di hati
III
Sepasang penuh uban di lincak bambu tua
Duduk-duduk beranda rumah papan tua
Pohon sirsat tua
Tanah berlumut tua
Hari-hari tua
Tanpa kata-kata
Perbincangan abadi tanpa angin
Cinta tua
Sosial politik ekonomi kebudayaan kejiwaan
Kejahatan maksiat dusta
Omong kosong
Pergaulan bebas
Kuasa angkara
Perut babi pakai jas rakus
Mulut besar memakan mic-mic instan besar
Persetubuhan sia-sia
Perasaan tersesat dalam kecanggihan
Pabrik penindasan sunyi
Kantor korup tutup awal
Sejuta saluran televisi
Berubah-ubah
Perbincangan abadi tanpa angin
Cinta tua tak mati-mati
IV
Tukang gandhos rangin ngantuk
Bungkuk si pencari uang tua
Kaki lima digusur
Pasar menjadi penjajahan
Dia tak sedang bermimpi
Janda tua mampir beli sekian biji
Dia sudah lama ditinggal istri
Transaksi
Tangan bersentuhan samar dan pelan
Bersama bungkus koran dan receh kembalian
Adakah perasaan-perasaan tua
Terima kasih
V
Pejuang kemerdekaan tua
Membuka lipatan bendera kemerdekaan tua
Kencing kecoa tai tikus jamur waktu
Pada buku catatan tua
Tertulis pudar tinta biru tua
Sekali belum merdeka
Tetap belum merdeka
VI
Tuan Malaikat Jibril
Kasih aku seratus tahun lagi
Anak-anakku belum kutinggali apa-apa
Kecuali penderitaan orangtuanya
Kasih aku hidup
Beratusratusratus tahun lagi
Ketika mungkin tak menderita lagi
VII
Si Tua …
Belum mau menghembuskan napasnya …
Yang terakhir
VIII
Si Tua …
Diam
Comments