SATU BABAK RSJ PEDURUNGAN
Brain Mapping |
Nampaknya semua sudah pada tidur. Nampaknya tinggal aku seorang yang nyalang. Tapi kenyalanganku adalah semacam tiada pikiran. Cuma menatap-natap saja ke mana saja. Ooo … begini tho; tidak (bisa) berpikir itu … Tapi ! Perasaanku jalan. Memang tatapanku tak (bisa) lalu berproses di nalar; bahwa itu jendela, bahwa jendela itu ada teralinya, bahwa lima orang yang lain ini mengambil posisinya sendiri-sendiri yang aneka rupa, bahwa di atas meja kecil bed nomer tiga itu ada rambutannya, bahwa tembok-tembok ini pasti sudah lumayan tua … Kamera yang hambar, menelanjangi keperawanan realitas tanpa logika rangsangan – ereksi … Tapi perasaanku jalan. Aku kesepian.
Perlahan tapi pasti, napasku makin tersengal-sengal. Sesak benar di dada. Campur-aduk antara tekanan luar yang mau mendobrak dan menghambur ke dalam ronggaku, sekaligus tekanan dalam yang mau meledak, menjebol dan memuncratkan apa saja ke seantero kamar ini. Setidaknya maka terasa basah hangat meremang di ujung mata dan ada yang bergulir dari situ ke ujung bawah telinga. Dan hidungku kembang-kempis. Dan bibirku gemetar. Aku ingin menyebut barang sesuatu, tetapi sudah kukatakan tadi; pikiranku tak jalan. Yang keluar hanya lenguh yang sebisanya tetap keluar namun sebisanya tak terdengar siapapun. Ini menyiksa.
Tiba-tiba Ia yang tidur di bed nomer satu bangun. Langsung berteriak-teriak. Tak kupaham apa itu nama seorang ibu atau seorang gadis idaman atau sesuatu yang sama sekali lain ? Setelahnya Ia sontak berdiri di atas tempat tidur. Menari-nari, sambil terus disebut-sebutnya sesuatu nama tadi. Lantas ia diam. Kakinya mengangkang dan berkacak pinggang. Ia berpidato.
Semula kumau ketawa dengan gayanya yang cukup karikatural. Apalagi secara tanpa bergaya-gaya pun Ia memang lagi ngapain saja sudah karikatural. Dan kemudian aku memang tersenyum lebar. Namun ketika senyumku sudah akan berubah jadi tawa lepas, justru aku malah langsung tercenung. Sebab apa ? Sebab aku mendengar kata-kata demikian : cinta, kesetiaan dan khianat.
“Tapi aku tidak dendam … Sebab aku tidak benci …Jadi gila saja sudah cukup … Jadi gila saja sudah cukup … Sudah cukup … Ya, gila saja … Gila saja … Gila sajaaa … GILA SAJAAA … GILAAA … GILAAAAA !!!”
Ia melompat dari tempat tidurnya. Menari-nari lagi, berputar-putar sambil terus berteriak. Lantas berjalanlah menuju pintu. Tangannya memegang tuas, dan begitu dipahaminya bahwa pintu dikonci maka Ia pun menggebrak-gebrak. Teriakannya makin lantang melengking-lengking. Sudah kalap ini ! Lantas …
“Ceklek ! Ceklek ! GEDHUBRAK !”
Ia terbentur daun pintu di keningnya. Terhuyung sampai menjajar di dinding. Belum sempat memperbaiki posisi, kerah bajunya sudah dicengkeram. Tempelengan mendarat di pelipis kirinya. Sekali lagi, sekali lagi. Satu tangannya di pegang oleh seorang dan tangannya yang lain dipegang oleh yang menempelengnya tadi. Ia dihela ke tempat tidurnya. Dua tangannya di puntir, tubuhnya menelungkup, kepalanya membenam di kasur dan rambutnya dijambak.
“Kamu maunya apa HA ! Gila seenaknya aja ! Minta apa HA ! Ngajak duel ?! AYO ! AYOOO ! AYO SENGGEL !!!”
Ia diam, tidak meronta-ronta.
“ASU KOWE !!!”
Setelah dua penjaga itu lalu beranjak pergi dan mengonci pintu, baru lantas kudengar suara sesenggukan.
“A … a … ak … aku enggg … gak dendam … Seb … sebab … aku … enggg … gak … bbb … benci … Ggg … gil … gila aja … sss … sud … sudah … ccc … cuk … kup”
selesai
DidotKlasta
Salatiga, pertengahan 2000an
Comments