ORANG LUAR KOTA

Musim hujan, bulan ini, derai-derai air gencar. Ini kota tua kecil di kaki gunung misterius yang telah mati beribu tahun lalu dan terkadang orang mempercakapkannya jika tiba-tiba si misterius itu aktif lagi; Pompei kedua. Mendung selalu menggantung dari pagi hingga pagi lagi. Matahari tak pernah nampak dengan gairahnya yang membara, panasnya tak terasa. Hawa dingin membikin kulit tubuh seperti berkerut, mengkisut. Tanpa kerja apa-apa sekalipun, pastilah sebongkah kalori dari tiga piring nasi pun lekas habis untuk metabolisme penghangatan dalam. Dan aku adalah pengangguran. Dan apa hubungannya? Tentu saja ada.
Ini kota berjuluk kota pensiunan. Orang-orang uzur dimana-mana, sanatorium bergaya tahun 20an – banyak yang bilang angker sebab arwah-arwah gentayangan dari mereka yang binasa dirajam TBC, produksi tradisional nyaris tak pernah berubah, surat kabar nyaris tak laku, tembok-tembok tua penuh lumut dan seakan bergoyang jika angin menghempas, percakapan cina-cina tua duduk-duduk di sepanjang jalan utama pembelah kota yang merintis nyaris semua toko-toko yang berderet di situ. Walikotanya pensiunan tentara yang hanya memberi satu-satunya kebaruan;
berupa tiga patung dari tiga orang pahlawan tentara kelahiran setempat yang sebab kekonservatifan bentuknya justru membuat seakan patung-patung itu berdiri merana saban hari di tengah alun-alun yang apatis. Para pembesar sesungguhnya orang-orang tak punya cukup apresiasi terhadap intelektual namun punya sumber kuasa feudal-agama warisan. Tak ada seorangpun yang tahu rahasia sejarah dari PID dan 'jaman normal'.
Lihatlah sembari jalan-jalan sore, jika cuaca sedikit lumayan. Betapa jarangnya menampak anak muda. Bukannya sebab jumlahnya amat sedikit. Sebenarnya sama saja dengan kota-kota lain dimanapun. Hanya di sini separo lebih dari anak-anak mudanya telah menua sebelum waktunya. Dan aku adalah segelintir yang lain sama sekali. Dan orang-orang tua menatapku tak mengerti. Tepatnya agaknya percampuran antara tak mengerti, meremehkan, curiga, penasaran dan segan. Sebaliknya aku sama sekali tak menatap mereka, tak berguna, membosankan. Dengar? Membosankan. Itulah sebabnya maka aku pun jadilah pengangguran di kota tua kecil ini. Aku tak mau bosan. Itu amat mengerikan. Lebih mengerikan dari mati, sebab itu artinya mati berkali-kali. Dan terlebih lagi, sesungguhnyalah aku sangat mencintai kota ini.
Kau tak melihat hubungannya? Sudah kuduga. Hal ini bagaikan menyoal ‘tuhan’. Melihat atau tak melihat, kalau kau mau ada bagimu, ya ada. Melihat atau tak melihat, kalau kau mau tak ada bagimu, ya tak ada. Jadi ini bukan tentang yang paling sebenar-benarnya bagi siapa saja. Ini cuma seputar menidakkan atau mengiyakan secara sepihak. Dan kau bukannya berada di luar kota, melainkan lain kota.

Comments

Popular posts from this blog

Keping Emas, Kemenyan dan Mer

CERITA SAMAR DARI DUSUN KAMI (cerpen, kenangan terindah)

MERDIKOMU KUWI ...