GILA JADI PRESIDEN (cerpen, kenangan terindah)

Yang akan kuceritakan ini sebetulnya istilahnya sekarang; basi, sudah sering kita dengar ceritanya, maksudku temanya. Aku sendiri sudah sering mendengar atau membaca. Sedang mengenai pengalamanku sendiri paling sedikit ada dua cerita. Satu cerita adalah di waktu aku masih kecil, satu cerita lagi adalah baru-baru ini saja, namun belum kunjung kubikin.

Bagaimanapun tetap ingin kuceritakan, meskipun orang-orang mungkin punya yang lebih hebat lagi. Apakah sebab ceritaku unik ? Apa ada hikmah penting untuk disampaikan ? Apa ada kebutuhan mendesaknya ? Kepentingan terselubung … ? Tidak, tidaklah. Aku hanya ingin bercerita saja. Dan maka silahkan juga sekalian orang cukup sekedar mendengar saja, secara sambil lalu juga tak apa-apa. Pokoknya aku hanya bercerita.
Begini; kalau dimasa lampau, tepatnya kulupa, mungkin sewaktu aku kelas 2 SD, ada orang terkenal di antero sekian kampung dekat-dekat kampungku; Krajan, Turusan, Kalitaman, Setenan, Gladakan … Namanya Pak Jonet.
Si Pak Jonet ini orangnya necis, seperti seorang pengamat ekonomi perbankan yang pernah amat menjadi sorotan media massa karena kekritisannya dalam memblejeti kebobrokan korporasi dan perbankan.
Selalu mencangking tas – kami dulu menyebutnya ‘koper’ – hitam, bersabuk dinas tentara, pakaiannya a la presiden legendaris sesuatu negeri yang telah lama runtuh, tapi tanpa kacamata hitam dan peci.

Sepatunya kencling, kumis tipis, muka licin. Kalau lewat, langsung aroma minyak rambut yang ekstra wangi masuk ke jendela-jendela rumah orang kampung.
Nah, terutama jika berbicara sangat mengingatkan pada pengamat korporasi dan perbankan kritis tadi, dan kata-katanya yang sangat dihapal terutama oleh kami, anak-anak;
“Ingat ! Pak Jonet Presiden Indonesia !”
Dari dekat kami takut, dari kejauhan kami mentertawakan Presiden Indonesia ini.
"Pak Jonet datang! Pak Jonet dataaaang!!!"

Ia gila, demikian orang-orang, terutama kami – kanak-kanak – menganggapnya. Tapi Pak Jonet hanya gila dalam hal menganggap dirinya sebagai presiden.
Ia tidak tersenyum-senyum sendiri, bicara sendiri, lalu terbahak-bahak, lalu menangis, lalu mencak-mencak. Tidak juga telanjang dan lari-lari keliling kampung atau makan ayam hidup atau mengejar-ngejar anak-anak dengan parang.


selesai

Comments

Popular posts from this blog

Keping Emas, Kemenyan dan Mer

CERITA SAMAR DARI DUSUN KAMI (cerpen, kenangan terindah)

MERDIKOMU KUWI ...