THE POWER OF LOVE

Suppression #74, didot klasta
Ia menatapku dengan sepasang bola mata yang berubah jadi belati Hugo Nick Carter ; menghunjam-hunjam secara begitu ekspresif diperbuatnya atas ulu hatiku. Maksud hati seiring-sejalan, apa daya bersimpang paham … Demikian itu ucapku bergaya penuh tegar yang hakul yakin. Namun terasa olehku bahwa ia tahu ; kalau aku menyusun kata-kata hanya untuk membangun Taj Mahal private property keangkuhan bebal, yang tegak di atas tanah yang tak ada. Dan aku tahu pula ; kalau ia tahu bahwa aku pura-pura tak tahu kalau ia tahu.
Dingin di luar
Dingin di dalam
Tak sedingin di tempat yang paling luar
Tak sedingin di tempat yang paling dalam
Ketika ruang kosong
Ditinggalkan yang ditendang;
dengan sayang
Go away but don’t … …
#
Ciko menjadi sangat kedinginan.
Cangkir yang tadi dihangatkan oleh kopi susu ful krim yang tadi panas, sekarang telah dingin, seperti juga kopi susu ful krim itu sendiri. Atau bisa kita katakan ; menurut perasaan Ciko bahkan begitu dinginnya, di bawah nol derajat.
Panas api pendiangan juga tak berfaedah sama sekali untuk meremangkan bulu-bulu lembut beku serta pori-pori Ciko yang mengkisut. Juga baju hangat yang dikenakannya ... Switer biru laut berleher tinggi dengan gambar Popeye sedang mancing di atas sampan kayu, tanpa Olive. Tulisannya setengah lingkaran berbunyi : OLD SAILORS NEVER DIE, they just fade away …

Dido menghadiahkan switer itu saat ulang tahun Ciko yang ke tiga puluh. Tepat setahun mereka berpacaran. Tapi bukanlah switer baru. Lungsuran dari Dido sendiri, yang telah memakainya selama sekitar tujuh tahun. Lehernya sudah mulur-mulur, tak bisa ketat lagi membungkus. Bulukan pula di beberapa tempat. Lalu bekas tersundut rokok di beberapa tempat. Dan baunya itu … amoniak khas Dido.
Nampaknya aroma khas Dido itu sudah selamanya menetap biar dicuci dan diwangikan seperti macam apapun, karena selama hampir tujuh tahun itu, memang hampir tak pernah tidak melekat di tubuh Dido. Segerah apapun cuaca. Selekat apapun keringatnya.
Mengenai tulisan setengah lingkaran itu, katanya Dido memang ingin sekali jadi pelaut tua di suatu saat nanti. Maunya demikian … Padahal orangtuanya dan sekaligus lima saudaranya telah mati keracunan tempe bongkrek, waktu paceklik hebat melanda desa kelahirannya di pelosok daerah berkapur-kapur itu ; mengkremus sekian banyak keluarga buruh-tani miskin. Dido sendiri yang selamat. Dan ia tak pernah cerita ; kenapa bisa lolos dari elmaut kelaparan desanya tahun tujuh sembilan (baca: SWAGY BONGKREK, cerpen, 1998). Rahasia.
Mungkin bukan pelaut itu benar, melainkan palsapahnya. Ah, Dido itu seperempatnya hebat, tapi seperempatnya memang sok. Dan yang setengah lagi adalah campur-aduk antara pesona dan meremangkan kuduk.
Ciko mendekapkan kedua tangannya. Sungguh perasaannya, ini makin dingin saja, di bawah nol derajat. Dan … Si Popeye … agaknya apa benar-benar sudah fade away ? Sudah menurunlah keampuhannya untuk menahan terpaan hawa dingin.
Namun sama sekali tak ada gagasan dalam benak Ciko untuk ganti pakaian hangat yang lain, meski segemetar itu. Entah kenapa ia hanya berhasrat untuk terpaku-paku saja di kursi, mematung-membalok es, sebeku lidahnya.
Maka ditariklah napas banyak-banyak dan lalu menghembuskannya panjang-panjang, sambil secara spontan meremas-remasi lengan switer. Hal yang membuatnya ragu ; apa meremasi switernya, apa meremasi Dido ?
Waktu itu … Dido, seperti selalu, sedang begitu kere-kerenya. Tak pernah ada duit, sebab pengangguran, dalam sudut pandang masyarakat umum. Maksudnya tanpa 'pencarian uang' yang tetap (Sedang Dido sendiri selalu bilang dirinya adalah gelandangan politik). Jadi, mana bisa ia beli kado spesial untuk ulang tahun Ciko.
Malah ; sebotol bir, segelas soda gembira, tiga porsi tongseng kambing (Dido nambah), sebungkus djie sam soe … total jendral Ciko yang bayar.
Tapi meski selalu bokek, Dido mencintai Ciko secara luar biasa. Ciko telah mengerti maknanya itu, uniknya justru terutama lewat bau switer Popeye. Dan sebaliknya Ciko tak sedikitpun ragu untuk mencintai Dido tanpa reserve. Apalagi saat didengarkan cakap-cakapnya tentang pelaut tua (sambil ada juga sedikit mabuknya).
Memang … Memanglah Dido …Namun kenapa … Senyum tertekan-tekan yang perlahan menyimpul secara tak kentara jauh dalam hati, coba ditahannya - entah untuk apa, tapi tak bisa. Sejujurnya Ciko justru sedang mengenangkan salah satu saat paling manis dan mengesankan dan … Menyayat.
Memang tiga bulan kemudian mereka baru menikah, itu resminya. Namun, yang semalaman itu … Malam Kamis Paing. Sepulang dari nonton 'Lautan Cinta' ; filem tentang cinta yang berlatar belakang pergolakan politik, atau tentang politik yang berlatar belakang pergolakan cinta, atau pergolakan-pergolakannya politik cinta …
Dido sangat suka dan menonton sampai tiga kali. Sedang menurut Ciko biasa saja. Yang hebat dan dramatis bagi Ciko adalah ciuman Dido, pas adegan jagoan pemimpin pemberontak itu mencium kekasihnya.
Lalu Ciko menginap di pondokan Dido. Mereka begadang sampai pagi. Dan Dido tak henti-hentinya menjadi juri piala oscar, di balik selimut bulukan satu untuk berdua. Itulah sesungguh-sungguhnya pernikahan mereka.
Dan mengenangnya, malah tak henti sekarang mengiang-ngiang pula alunan 'Samba Pa Ti', yang waktu itu sampai puluhan kali diulang-ulang.
Sekarang, di sini, tak ada atmosper dari 'latin-rock' Santana. Tivi acaranya lagu-lagu anak-anak yang murahan temanya, dengan penyanyi anak-anak yang menyebalkan genitnya. Tapi nada-nada kitch itu ditelan oleh gemuruh-gemeludug dari mesin pompa minyak tanah serta liak-liuk slowrock Malaysia yang ditirukan kuli-kuli pabrik kripik paru secara ( bila sejujurnya Ciko ) parau-nestapa, dekat saja di belakang rumah. Ya. Di brak belakang rumah Ciko, karena memang Ciko juragannya.
Tapi kali ini ia tak sedang menghadapi kuitansi, nota, kalkulator dan buku neraca. Karena berdua-dua mereka sedang sama terdiamnya. Ya, mereka ; Ciko dan mantan suaminya ; Dido.
Mantan ? Ya, benar, mantan. Usia pernikahan mereka ternyata tak sampai setahun. Kok … ? Begitulah … C'est La Vie … Tapi apakah Ciko harus bercerita pula tentang kepedihan lampau itu ? Di saat yang sama ketika ia sedang merasa harus mengenangkan nostalgia terindah … mereka ?
Tidak. Lebih baik tidak. Kenangan manis saja sudah menggetirkan hatinya. Apalagi jika ditambah dengan mengenangkan kepahitan itu.
Lalu, apakah sesungguhnya yang sedang terjadi pada dirinya ? Ketika dengan tak tersangka-sangka Dido muncul kembali. Seperti hantu. Benar-benar seperti hantu ! Karena dulu, tiga bulan setelah mereka bercerai, seiring dengan prahara politik di sini, Dido menghilang. Selentingan mengatakan ia dihabisi. Oleh yang sering disebut Dido sebagai penguasa.
Benar-benar seperti hantu ! Karena dihadapan Ciko duduk seorang yang nampak lebih tua dari umurnya. Gundul. Matanya kecil sebelah karena ada bekas luka di bawah alis yang menekan pelupuknya jadi menciut. Dan alis itu tak ada rambutnya lagi. Mulutnya mencong ke kiri. Dari sudutnya melingkar ke dagu ada guratan penuh jahitan. Dan posisi pundaknya tidak sejajar. Miring ke kiri. Tangannya yang kiri memegang rokok; tremor.
Hantu itu mengucapkan sepatah kata dengan agak terbata-bata, lalu sesudahnya lebih dari sejam mereka sama-sama membisu.
Wajah Dido tanpa ekspresi. Ia seperti tak sadar pula kalau sedang merokok. Rokok itu lima kali jatuh sendiri. Dan tak dipungutnya, melainkan menyulut lagi. Dalam tempo sejam itu sudah habis mungkin sepuluh batang.

PROGH !

Dalam keadaan langsung di ambang kelenger, Kapten Taro mencekal leher baju Dido dan merenggutnya berdiri, lalu entah berapa kali gamparan bertubi-tubi ke muka Dido.
Lalu tubuh Dido diangkat dengan tangan kiri sampai kakinya menjuntai-juntai. Dan sebuah upper cut deras mendongkrak dagu Dido, hingga terbang membentur langit-langit dan berputar-putar beberapa saat.
Begitu turun lagi ditangkap dengan dua lengan besi-beton Kapten Taro. Diangkat di atas kepala, lalu diputar-putar cepat sekali sampai seperti baling-baling, dan dihumbalangkan ke arah akuarium besar di sudut ruang.
PYIAAARRR !!!
Benar-benar kelenger sudah. Terkapai di antara ikan-ikan hias yang juga kelabakan. Jelas … si kerempeng setengah hantu ini bukan tandingan Kapten Parakomando yang baru pulang dari front operasi militer paling ganas, memerangi gerakan sparatis yang paling berlarut-larut. Dan lagi yang matanya masih selalu bersemu merah saga.
Mulut, hidung, dagu dan kening Dido sudah hanya darah saja. Matanya tinggal sayu-sayu nanap berwarna putih. Sungguh ia laksana kaos rombeng yang tersampir dan diobat-abitkan angin kencang. Ia seperti … mau mati … OH !
Tiba-tiba ramai-ribut sekali di luar rumah. Lalu ada suara kaca jendela pecah. Lalu genting dilempari, pecah. Lalu pot dibanting, pecah. Lalu pintu depan didobrak ! Beberapa orang meluruk masuk sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat penuh kemarahan. Menendangi dan menghantami benda-benda apa saja.
Ada yang membawa pentungan kayu, batangan besi, martil, kapak … Mereka kuli-kuli pabrik kripik paru ! Kuli-kulinya Ciko. Menuding-nuding ke arah Ciko dan Kapten Taro secara menyala-nyala.
Dan tanpa ba-bu mereka langsung menerjang Kapten Parakomando itu ! Seraya beberapa yang lain menyingkirkan Dido dari cengkeraman pembantaian.
Namun Sang Kapten memang sungguh-sungguh Taro, maksudnya jago. Dua orang kuli tahu-tahu terpelanting, entah bagaimana jurusnya. Seorang penyok hidungnya, seorang tak bisa bangun lagi.
Ayunan kapak meluncur deras ke arah punggung Kapten Taro, namun dengan menggaet kursi disapunya serangan itu, sembari kaki kirinya membidik rusuk seorang kuli yang memegang sebatang besi dan siap menumbuk. Tersungkurlah pula.
Lalu kursi itu diobat-abitkan dengan kekuatan seekor banteng ketaton. Cepat sekali, sampai Sang Kapten tak terlihat, menjadi pusaran puting-beliung seribu tornado. Apa saja porak-poranda. Demikian juga kepungan kuli-kuli.
Namun makin banyak lagi yang mengerubut. Tehniknya secara berlapis-lapis dan menggelombang. Maka, sehebatnya ilmu puting-beliung Kapten Parakomando Top Elit itu, demi menghadapi gempuran kuli-kuli yang sedemikian rupa, apalagi dilambari modal nekad, kalap serta otak amuk semata, lama-lama pun keteteran juga.
Setelah masih juga berhasil menonjok kening seorang lagi sambil menangkis ancaman pada dagunya sendiri, hantaman kayu dari belakang tak kuasa dihindari. Telak membentur tulang belakang. Kontan tak bisa melihat apa-apa. Kini Kapten Taro berada dalam situasi yang amat-amat buruk.
Dalam keadaan sempoyongan, kunci inggris berdentam melumat mulutnya dan merampalkan giginya. Disusul sodokan besi pada perut, disusul sabetan … disusul bantingan, injakan, ditendang ke kiri, ditendang ke kanan, umpan sana, umpan sini, digiring melewati beberapa pemain belakang, perangkap off side lolos, tembak ! … KO-lah Taro.
Namun tentu saja tak ada gemuruh sorak-sorai para tifosi maupun gemuruh tribun yang dirubuhkan para hooligan. Yang terdengar, kalau berandai-andai, lebih mendekati Senayan keos, saat massa tak punya karcis mendobrak pintu.
Senyap. Kuli-kuli itu memandangi Ciko. Tapi tak berkata apa-apa. Mereka hanya beringsut-ingsut mengelilinginya. Menelusuri Ciko dari ujung rambut sampai ujung kaki, sambil di sana-sini terdengar dengusan dan kerot-kerot rahang yang menurun tegangnya.
Ciko memandangi kuli-kulinya itu. Juga tak berkata apa-apa. Tapi lebih karena tak bisa sekaligus tak tahu mau bilang apa. Ia tercengkam. Yang mencengkamnya adalah ketakutan jika diperkosa ramai-ramai. (Huh ! Siapa nih yang kotor otak !)
Keadaan dan posisi itu berlangsung beberapa menit. Kemudian begitu saja para kuli berendengan meninggalkan arena. Keluar rumah secara diam.
Kuli yang paling belakangan menyerahkan sebuah amplop sambil mengerdipkan mata, yang konyolnya Ciko pun begitu saja ikut-ikutan mengerdip.
Langkah-langkah berat berlalu. Ciko masih terpaku di dalam. Tak bisa memandang kuli-kulinya yang menjauh. Menembus keremangan malam sambil menggotong Dido secara terbungkuk-bungkuk.
Tanpa disadarinya, Ciko jatuhlah terduduk di lantai. Dalam pusaran situasi dan perasaan yang meloncat-loncat dan melibat-libat secara kilat, dicobanya menyadari akan apa yang terjadi. Perhubungan-perhubungan apakah semuanya itu ? Tanda tanya.
Tanda tanyakah ? Tak benar-benar tanda tanya juga. Ada cercah-cercah kilapan dari ceceran mata-mata rantai yang saling lepas namun pada dasarnya merupakan satu untaian, yang kemudian diberantakkan oleh Ciko sendiri, karena membelit dirinya, mengekangnya, menyesakkannya untuk tak menutupi-nutupi dirinya sendiri serta membuka situasi.
Ciko …Dido …Taro …Kuli …Kripik Paru … Apa hubungan Dido dengan Kuli-Kuli ? Kenapa Dido omong seperti itu ? Apa yang terjadi dengan Dido ? Apa yang terjadi dengan Kuli-Kuli ? Kenapa dengan Ciko ? Kenapa dengan Taro ?
Ciko, Dido, Kapten Taro, Kuli-Kuli, Pabrik Kripik Paru … Bersilang-sengkarut, teraduk-aduk dan memuncak. Dan ternyata setelah puncaknya situasi persilang-sengkarutan itu, harus memilih ; penyingkapan yang menyesakkan, atau penyelubungan yang membikin … gila !
Sementara amplop itu masih tergenggam. Sementara Kapten Taro terkapar di antara meja-kursi bergulingan, merintih-rintih. Sementara Ciko mengikik-ngikik sendiri. Bahkan tak peduli orang-orang kampung meneriakinya, karena brak terbakar.
Dingin di luar … Dingin di dalam … Tak sedingin di tempat paling luar … Tak sedingin di tempat paling dalam … Ketika ruang kosong … Ditinggalkan yang ditendang; dengan sayang … Go away but don't.

selesai

didotklasta

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN