ANTARA DONO, DINI, CINTA DAN WAKTU

Unfinished, 90s
Kehidupan kawanku … Dari yang dulunya; jabang bayi merah begitu lemah, jadilah kanak-kanak mungil menggemaskan, lalu membesar-meremaja menjanjikan, terus tumbuh, makin besar makin dewasa …Orang dewasa telah kemana-mana. Ada yang mengatakan; itu hanyalah mencari-cari jalan untuk kembali.

Doni, demikian namanya. Adalah seorang mahasiswa yang akhirnya hampir merampungkan kuliahnya setelah sekian lama tak rampung-rampung dan setelah meski susah, berhasil juga meruntuhkan keyakinannya sendiri bahwa gelar sarjana adalah salah satu tai kucing dari banyak tai kucing mengenai masyarakat. Kini Doni sedang mengerjakan bab terahir skripsinya. Dua enam umurnya.
Sudah delapan tahun Doni menuntut ilmu di sebuah universitas yang cukup ternama itu. Kuliah, bukan sungguh-sungguh keinginannya. Orangtuanya meski dalam banyak sekali hal lain berpikir ‘simpel’, namun dalam hal pendidikan bagi anaknya punya prinsip; menyekolahkan anak setinggi mungkin - bagaimanapun caranya; harus.
Orangtua Doni menaruh harapan besar, anaknya nanti harus berhasil 'jadi orang'. Maksudnya bisa sukses, makmur, sejahtera, tak kurang suatu apa, jauh dari aneka persoalan beratnya kehidupan, bahagia lahir dan batin, syukur-syukur jadi tokoh masyarakat terpandang.

Dengan kata lain, dalam ungkapan aspirasi orangtua yang lebih umum; jangan sampai sang anak sengsara, itulah cita-cita semua orangtua. Apalagi Doni adalah anak semata wayang.
Demikianlah, maka sejak sekian tahun lalu Doni pun kuliah, jadi mahasiswa. Doni belajar di kota, orangtuanya pun makin lagi membanting tulang mereka. Sudah terkenal bahwa ilmu itu tak gratis, lebih lagi sama sekali tak murah.
Waktu berjalan. Kehidupan terus maju dan berkembang. Kenyataan bergulir, keadaan berubah. Sekarang orangtua Doni sudah mati semua. Bis yang mereka tumpangi dalam perjalanan pulang dari menengok anaknya semata wayang, masuk jurang, itu setahun lalu. Dan sembari mengingatnya, Doni merenung menekuri meja dalam kamar pondokannya, sendirian.
Angin datang pelan lewat jendela terbuka secelah, tapi tak cukup menimbulkan kesemiliran yang berarti, sebab kota ini adalah kompleks kegerahan sehari-harian dari peri penghidupan moderen yang tergantung pada sejuta knalpot, sementara udara kotor-pengapnya rebus-merebus dengan iklim pesisir. Dan kampung tempat Doni mondok adalah pemukiman yang lumayan sumpeg berdesak-desakan. Doni makin menekuri meja dalam kamarnya.
Setahun lalu ayah dan ibu Doni datang ke kota tempatnya kuliah. Dalam pertemuan yang tak berlama-lama itu, ayahnya berkata banyak, yang ketika itu Doni menyimaknya tak dengan perasaan bahwa itu adalah kata-kata terakhir, seperti halnya bagaimana Doni menikmati kue mendut bikinan ibunya.
“Kamu ini kapan mau rampung kuliahnya ?”
“Pasti rampung Pak …”
“Tak sampai setahun lagi kan ?”
“Yaaah …”
Dan sepulangnya, bis itu masuk jurang.

Teringat masa-masa sebelum tujuh tahunan lewat, sebelum ia pergi dari desanya untuk jadi mahasiswa. Teringat tentang pasangan dari yang sepasang; Dini. Dini adalah satu-satunya teman sedesa yang juga diterima di perguruan tinggi di kota yang sama. Universitas berbeda tapi ternama pula dan swasta. Kini apa kabarnya ?
Mereka berteman sejak kecil dan rumah mereka berhadap-hadapan. Dono suka membikinkan Dini wayang-wayangan dari daun ketela pohon. Dini suka membagi penganan kecil yang dibikin ibunya pada Dono. Jika rumah Dini sepi, mereka suka memanjat pohon nangka di belakang rumah Dini, berdua, dan dari situ melihat ke ngarai di Utara sambil berkhayal bersama tentang ‘suatu waktu nanti’.
Menginjak SMP, Dono mulai bergelagat ‘lain’ yang nampak dari caranya bicara dan memandang Dini secara lebih 'lain'. Seiring dengan benih-benih keremajaan yang bertumbuh, menandai tahap baru dari perkembangan diri, Dono merasa bahwa Dini tak lagi 'ditangkapnya' dalam semata hubungan antar pribadi yang polos-polos saja, sebagaimana suasana hati kanak bermain bersama temannya.
Demikian pula halnya dari pihak Dini. Keakraban yang terbina dalam kurun waktu lama, akhirnya memuara dan membangun secara sendiri, terjemahannya yang pelan tak terasa tapi pasti, tak lagi sekedar berkisar pada keriangan bersama main gaprakan atau sundah-mandah, melainkan telah pula ada melibat begitu saja, sesuatu sodokan-sodokan halus dari kejauhan-kedalaman inti hati, tak lain meski malu-malu, ketertarikan khusus yang lebih dari sekedar teman.
Sepanjang tiga tahun SMP, banyaklah kawan sedesa mengatakan Dono dan Dini, saling bertimbal-balik mengisyaratkan … cinta. Tapi masih monoton begitu-begitu saja. Dan sepanjang tiga tahun berikutnya, kawan sedesa menyebut mereka; berpacaran sudah.
Dan memang demikian, sebab suatu hari Jumat dalam perjalanan pulang dari sekolah dimana mereka adalah dua anak terakhir dijalan sebab ban sepeda Dini bocor, di warung es cendol sebelah kios tambal ban itu, Dono menyerahkan secarik kertas yang bertulisan : Aku cinta padamu. Dan begitulah, Dini balas menulis pula di kertas sama di bawah tulisan Dono : Aku juga cinta padamu.

Apa harus dipersalahkan, atau justru disyukuri ? Ketika langit yang melingkupi cakrawala pun berubah romannya … ?
Hampar sawah yang menjauh lepas seakan tak ada habisnya. Caping-caping merunduk naik-turun dari musim tanam sampai saat panen. Hujan menderai pupus sengon. Kemarau membengkahkan tanah. Bambu dan glagah melenggok atau rebah oleh angin gunung dan Cleret Tahun. Cleret Gombel melintas cepat dari pokok jati ke pokok mlandingan di rembang petang. Dulu teplok sekarang neon. Suasana menghijau. Aroma khas pedesaan beserta dinamikanya yang sederhana …
Lekuk-liku tanah kelahiran yang sekian umur menjadi seluruh dunia yang mencakrawalai sejauh-jauhnya gagasan, pikiran dan tindakan Dono mengembara, akhirnyalah menguak, semenjak ia kuliah di kota.
Belajar ilmu-ilmu baru. Buku-buku, teori-teori. Menyadari pengalaman, tambah paham kenyataan, tambah bisa membaca keadaan. Perubahan, bahkan lompatan pemikiran. Dono yang sekarang bahkan tak dibayangkan oleh Dono sendiri saat mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru tujuh tahun lalu.
Tepatnya diawal tahun kedua ia kuliah, sehubungan dengan penerapan otonomi perguruan tinggi, SPP dinaikkan dua kali lipat. Kritisisme. Eksistensi - Ekspresi - Aktualisasi - Identifikasi klas menengah intelektual … Jadilah Dono aktifis kampus; demonstran-anti kemapanan. Wah … Ngeri-keren-heibat deh …

Timpal-cakap para peronda kadang terdengar bertimpa-timpa dengan tik-tok penjual bakmi atau ecrek-ecrek sate ayam; menjadi seperti betel di genggaman kuli-kuli tambang emas terayun memecahi bebatuan, berdentam-dentam, memecah kebekuan dan kekakuan malam. Namun sama sekali tak mengusik kesenyapan hati Dono yang tak kuasa mengelakkan sesuatu yang mencekat.
Idealis bukanlah semacam pilihan yang mendatangkan rangkaian keenakan sebagai keniscayaan; demikian Dono menyimpulkan. Bahkan cuma membikin susah saja, setidaknya membikin suntuk pikiran saja.
Dan harapan yang bagai pepat, membuat angan makin menggelantung tak pasti; itu ketika kenyataan tak seperti cita. Selalu begitu. Idealis adalah sama dengan frustasi.
Merasa semacam terpanggil. Lantas dengan kebisaan-kebisaan sebagai mahasiswa, pun mencoba melakukan sesuatu. Tak cuma sok aksi, tapi bertindak dengan penuh komitmen, konsisten serta konsekuen. Selanjutnya … Adakah yang berubah ? Masyarakat runyam ini tetap saja runyam ternyata. Ketidakadilan. Kaum lemah disewenang-wenangi. Orang kecil terus terpinggir. Orang besar tambah berkibar. Demokrasi hanya dapat palsunya belaka. Reformasi jalan di tempat, bahkan malah mundur; hanya disibukkan oleh tetek-bengek urusan politik kekuasaan, yang ujungnya hanya sekitar kepentingan-kepentingan sesaat dari apalah elit-elit.
Akhirul kalam; orang awam jelata suka nyeletuk di warung kopi; “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin … Sederhana.”
Brengsek-brengsek itu semua telah dan makin mantap disadari serta dimengerti. Sekuatnya pula ditentang; bersama kelompoknya. Ya itu, golongan klas menengah intelektual demonstran-anti kemapanan itu. Wah …
Namun kemelencengan tetap dan terus berlangsung. Makin lama, disadari atau tidak, makin mewajar. Baik wajar bagi yang diuntungkan, maupun - ironisnya - bagi para korbannya. Malahan, mereka yang mengusik-usik 'kewajaran' ini, dianggaplah sebagai :
1. Kegiatan berthele-thele.
2. Orang spaneng.
3. Gila.
4. Masa depan suram (frustasi).
5. Generasi 'trouble maker' masyarakat atau 'waton suloyo'.
6. Sok.
Bolehlah dikata, bahwa celaka benar bagi Dono. Inginnya peduli dengan sosial, malah terjerambab megap-megap dalam ombang-ambingnya lubuk ketakpastian sosial yang berpusar melingkar setan.
Lalu sebuah celetuk iseng; yang namun diterima serius oleh Dono; bahwa dalam sikon deraan sosio-politik-psikologis macam itu, mesti cari perempuan untuk obatnya. Setidaknya 'stabilizer'. Tapi maksudnya bukanlah perihal mesra asmara tinggi-tinggi, melainkan sekedar bio-seksual belaka. Bukan apa-apa … Dono kan sudah dewasa … Ia tercenung. Ternyatalah ia tak punya pacar.

Dini ?! Entahlah. Ada kerinduan. Ataukah ini hanya bias ? Libido saja pokok soalnya ? Dono sungguh memikirkan gagasan kawan tersebut. Kenapa tak dicoba ? Barangkali dengan kebangkitan dan pelampiasan gairah pada perempuan bisa memacu adrenalin untuk meluapkan semangat perlawanan baru. Semacam rasa berapi-api yang akan membakar habis segala ketakberdayaan dibentur kenyataan brengsek.
Dalam rumah tangga, faktor seks juga amat menentukan demi mencipta hangat-harmoni dan hasrat kerja. Siapa tahu, kekukuhan idealisme pun mendamba itu sebagai penopangnya. Bukankah idealisme membikin hidup tak bermakna rendahan ? Dan bukankah pula, saripati kehidupan dilantarkan oleh seks ? Dono mengangguk-angguk mengiyai dirinya sendiri.
Tapi … bagaimana dengan kesucian, kerinduan dan cinta … ? Ah, Dini … sesungguhnyalah … atau, entahlah … Ini kali begitu sunyi. Dan tidak ereksi. Tapi apakah hal-hal seksuil mesti ujungnya adalah kemaluan ? Ah, Dini … Ah, entahlah.

Jasa baik seorang kamerad, tadi membawanya masuk ke sebuah rumah bordil. Lampu remang menyamarkan roman muka Dono yang bersemburat kikuk-grogi merona. Tante mucikari itu, Mbak Lis namanya, senyum manis menyambut. Oho … Germonya saja macam ini … Apalagi barangnya nanti ! Kata Mbak Lis yang kosong tinggal Lisa. Oho … Perasaan Dono tak menentu. Ia cuma diam ketolol-tololan dan begitu saja menganguk. (Ah … Tak apa … Demi aksi besok …)
Sambil menunggu Mbak Lis memanggil Lisa, Dono duduk mengisap rokok. Sedang kawannya keluar, ngebir. Dihembuskannya asap pendek-pendek. Hatinya berkecamuk, karena sedari dulu hingga detik ini ia 100 % perjaka murni. Ting-ting. Ibarat piston, direyen saja belum. Dan sebentar lagi akan memperoleh pengalaman yang luar biasa baru. Pengalaman yang sangat berbau eksperimental. Bahkan … trial and error ?!
Hal ini sangatlah menghentak. Betapa tidak. Jenis konsumsi kenikmatan yang begini, bagi Dono masihlah misteri. Apalagi ia tak pernah onani (sumpah !). Sedikit referensinya hanyalah saat mimpi. Ditambah pula dengan kepenasaranan (atau harap-cemas ?) untuk mendapat bukti atas hipotesa gombal soal hubungan élan demonstran dan elan syahwat. Ini penting sekali untuk aksi besok …
Sedikit waktu berlalu. Ketika Dono mencecak rokok di asbak, perempuan itu menyingkap gorden, muncul dari ruang dalam yang lebih remang dari ruang tamu. Detik pertama, seiring picing mata, begitu tiba-tiba; isi benak Dono terayunkan oleh apalah, sebut saja tiupan serabut kenangan sehalus rambut dibelah seribu … Tentang … Begitu saja nyelonong segala tentang rumah, pagar teh-tehan, tumpukan jerami, rumah burung dara, bau tempe muda, bau gorengan kopi … segala bebauan desanya.
Semula Dono tak ngerti, kenapa bisa kena terpaan yang semacam itu. Sampai kemudian ia mendapat pijaran kecil yang meletik, mengkesiapkan memori sampai ke hati. Yaitu saat detik kelima atau keenam, saat sosok yang berjalan ke arahnya tambah mendekat sekali, menampakkan wajahnya lebih jelas lagi.
Tuhan … Waktu yang masih cuma tuju tahunan jelas belum apa-apa untuk menggerus ingatan. Dan maka, sesuatu dalam kalbu pun mencelos, melonjak demikian kuat untuk menyeruaki dada. Kerjap mata itu … Ya, kerjap mata itu. Utamanya kerjapan mata yang punya kilat khas pada biji hitam menyaga. Benar, tak berubah. Kerjapnya siapa lagi kalau bukan kerjapnya DINI !
Ah … Dini … Dini … Yang sama-sama dulu dari desa. Sekolah di perguruan tinggi yang sama. Universitas ternama itu. Kemudian cabang-cabang urusan mahasiswa kota membuat satu sungai dua perahu menghilir jadi bercabang-cabang, memisahkan dua perahu itu; saling mengalir ke mana saja, saling tak tahu. Dono mengesah. Rasa hatinya bergetar. Bibirnya gemetar. Dadanya mendentam bertalu-talu. Dini … Ah … Dini …
Tapi … Tapi ya; sudah me-Lisa sekarang. Tapi memang, tambah-tambah manislah sekarang, wangi bukan main dan pirang macam Demi More. Untung ruang tamu sepi. Semua 'sewaan' tersewa, kecuali Dini / Lisa saja yang masih … sebentar lagi (?). Atau mungkin pernah Meli ? Ria ? Sinta ?
Maka bangunan sikon perjumpaan yang semula konteks bisnis dan lalu sontak runtuh untuk terbangun lagi sebagai rendesvouz sangat mempribadi dengan segala loncatan-loncatan intimitas nostalgis bertumbuk-tumbukan itu, tak perlulah dipersaksikan mereka-mereka yang tak paham gerangannya. Apalagi ada gangguan bias-bias setting bordil.
Kita yang lain coba memasuki saja, tapi tak dengan mata. Karena ini sungguh tak tergambarkan …
Olala … Seperti halnya Dono, Dini pun selangsung itu tergagap sekujur jiwa raga. Manis-genit senyum yang telah disiapkan jadi urung. Mengganjal beku di seperempat jalan prosedur mekanis 'seorang' penjual yang menggerepehi klin. Lalu kesandung. Dan lunglai.

"Din …", sapa Dono yang berujung tanda tanya.
"Don …", balas Dini sama tertahannya.
"Kamu kok di sini Din ? Eh, Lis ? Eee … Ah, tapi Dini saja. Ya, Dini saja …", tanya Dono belepotan.
"He'e … Dini saja … Panjang ceritanya ..."

Selesai

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN