Posts

SATU BABAK RSJ PEDURUNGAN

Image
Racauan ini berbahan-baku pengalaman waktu aku masuk rumah sakit jiwa menjelang akhir tahun 90an. Brain Mapping Kalo sudah jam delapan malam pintu kamar dikonci dari luar. Kamar itu berisi enam tempat tidur. Bentuknya sama. Selalu ada lemari kecil pada masing-masingnya dengan satu kursi plastik. Dan spreinya putih semua, seperti halnya selimutnya lerek-lerek, tapi ada yang lereknya merah dan ada yang biru. Selimutku lereknya biru. Aku tak bisa tidur. Game Watch Tetris rusak, tadi dibanting kawan sebelahku. Hanya ada pendaran lampu neon dua puluh watt yang berdengung. Nampaknya semua sudah pada tidur. Nampaknya tinggal aku seorang yang nyalang. Tapi kenyalanganku adalah semacam tiada pikiran. Cuma menatap-natap saja ke mana saja. Ooo … begini tho; tidak (bisa) berpikir itu … Tapi ! Perasaanku jalan. Memang tatapanku tak (bisa) lalu berproses di nalar; bahwa itu jendela, bahwa jendela itu ada teralinya, bahwa lima orang yang lain ini mengambil posisinya sendiri-sendiri

MIMPI BUSUK

Image
Mimpi Buruk Adalah Kenyataan Teror melirik jam dinding di sebelah kiri, 23.05. 25 menit lagi ia telah membikin janji dengan seseorang untuk bertemu. Namun ketika ia meraih jaketnya tiba-tiba Teror limbung, kepalanya berkunang-kunang dan keringat dingin membasah di dahi, kuduk dan punggungnya. Jatuhlah ia, pingsan. Sekian waktu kemudian Teror siuman. Dengan macam orang ling-lung ia bangkit berdiri secara mengeliat. Dari jendela yang tak bertirai tak dapat disimpulkannya bahwa hari masih pagi atau sudah tak pagi lagi. Yang jelas ia merasa sangat kegerahan dan kekeringan dan membayangkan balok-balok es raksasa bertimbun-timbun di situ, tanpa sadar benar bahwa : balok-balok es adalah kaca pembesar para petugas biro intelejen di kompleks ini yang masuk diam-diam seperti belut ke dalam rongga tangan kanan. Kaku. Tulang-tulang tangan kanan matilah kedinginan.  Balok-balok es adalah mata pelajaran padepokan masa lalu yang melekat diam-diam seperti lintah di telapak kaki kanan. Kaku. Ti

PULANG KEMANA

Usianya sudah tak muda lagi, tapi Teror belum berkeluarga, dan keluarganya yang 'lama' (di)habis(i). Dan sekarang Teror sedang terdampar dalam sesuatu keramaian Hari Raya Agama yang tidak menyentuh-nyentuh hati amat serta penuh dengan orang-orang mengunjungi keramaian itu namun dengan maksud-maksud yang lain dan maksud-maksud lain itu tak lain adalah semacam sebutlah; kebusukan hati dunia yang tak berujung pada kebahagiaan. Namun tak masalah baginya dengan berbagai hati dunia busuk-wangi; Teror di situ, karena ia sudah kepala tiga lebih beberapa dan sebatangkara. Teror pun sedang berada di tempat pinggiran saja dari keramaian itu yang berantre mobil-mobil.  Dengan uang tak seberapa, nongkrong makan namun bukan sebab lapar, melainkan sebab ingin benar Teror berbagi. Ini bukannya warung makan dengan waitress, “Sugeng Rawuh …” , cuma sebuah meja kecil dengan panci-panci, tenggok nasi, setumpuk daun pisang, tikar, anglo, teplok, duduk lesehan ... Nasi srundeng, lodeh kluwih.

ORANG MALANG

Karena bertahun-tahun lalu aku mengalami sebuah situasi yang sangat menekan, aku jadi lupa dengan nama pemberian orangtuaku. Maka sejak itu kunamai sendiri diriku Kosong. Demikian sedikit sekali informasi mengenai siapa aku. Jadi setidaknya kalian tahu bahwa aku adalah Kosong. Aku tinggal di sebuah rumah kecil pinggiran kota kecil yang berjarak hampir lima puluh kilo dari sebuah kota besar, sendirian. Umurku … ini juga termasuk hal yang aku lupa. Tapi kalau aku bertanya pada seseorang mengenai dugaannya akan umurku, kebanyakan akan mengira-ngira kurang-lebih 40an. Ya kuanggap saja demikian. Bagaimana aku bisa tinggal di sebuah rumah kecil pinggiran kota kecil ini aku juga lupa. Pokoknya aku bangun pagi (tapi tanpa merasa baru saja melalui tidur yang amat panjang), tahu-tahu di tempat ini, dan sendirian. Yang berikutnya kurasakan setelah kebingungan adalah lapar.

GILA JADI PRESIDEN (cerpen, kenangan terindah)

Image
Yang akan kuceritakan ini sebetulnya istilahnya sekarang; basi, sudah sering kita dengar ceritanya, maksudku temanya. Aku sendiri sudah sering mendengar atau membaca. Sedang mengenai pengalamanku sendiri paling sedikit ada dua cerita. Satu cerita adalah di waktu aku masih kecil, satu cerita lagi adalah baru-baru ini saja, namun belum kunjung kubikin. Bagaimanapun tetap ingin kuceritakan, meskipun orang-orang mungkin punya yang lebih hebat lagi. Apakah sebab ceritaku unik ? Apa ada hikmah penting untuk disampaikan ? Apa ada kebutuhan mendesaknya ? Kepentingan terselubung … ? Tidak, tidaklah. Aku hanya ingin bercerita saja. Dan maka silahkan juga sekalian orang cukup sekedar mendengar saja, secara sambil lalu juga tak apa-apa. Pokoknya aku hanya bercerita. Begini; kalau dimasa lampau, tepatnya kulupa, mungkin sewaktu aku kelas 2 SD, ada orang terkenal di antero sekian kampung dekat-dekat kampungku; Krajan, Turusan, Kalitaman, Setenan, Gladakan … Namanya Pak Jonet. Si Pak Jonet ini

SURAT BECAK BUAT SIMAK DI KEDUNGTUBAN

Salam tegar nan rindu pada sahabat mudaku H, entah brapa jauh kau mengayuh. Ya, H waktu itu adalah seorang tukang becak remaja. Dia mangkal di pinggir jalan Gejayan sekitar Selokan Mataram Jogjakarta. Aku membuka kios rokok kecil di belakang pasar kecil tepi Selokan Mataram dan H suka mampir membaca tabloit pulitik di kiosku. Mak ... Ulang tahun aku sekarang. Sudah tujuh belas. Kalau saja ada di rumah, senang … Memang juga tak pesta-pesta. Tapi bisa kuminta padamu; bubur merah-putih, jenang-wajik, klubanan, tempe garit, peyek teri. Alakadarnya, paling uang berapa. Ini Mak, semua kukasih padamu. Sisanya buat jaga-jaga. Paceklik bisa-bisa nanti langsung tiba. Dan kita slametan berdua saja. Tapi … Memang ternyata aku tak di Blora. Di sini kota ramai sungguh. Toko sesak, restoran penuh. Lampu malam benderang. Jalanan berarak-arak; seperti orang gembira main ular-ularan. Mereka apa pada ulang tahun semua? Pacaran – soping – makan-makan. Malam minggu orang berpunya selalu full acara. Uang b

NENEK KITA BERBEDA-BEDA

Di kota-kota maju-hingar yang tak punya nenek-nenek lama dari rumah-rumah tua minggir jauh di pelosok sunyi tak punya ketahanan ekonomi bahkan ambruk, selalu ada nenek renta memakai kain bau lumpur tanpa alas kaki dan lumpur menyelip di sela-sela jari kaki megarnya. Datang dari desa-desa yang samar dalam remang kabut dini sebelum subuh. Terbongkok-bongkok menggendong tenggok di punggungnya penuh dengan bongkah-bongkah tumbukan singkong rebus, tanpa sistim transportasi. Dulu kanak pengungsi perang, sekarang pengungsi ekonomi. Sepanjang pagi nenek renta desa-desa yang samar. Tak pernah punya Rolex emas berkarat-karat, adalah laksana waktu abadi. Di depan toko mas 'PETRUK' itu, atau di mana saja, adalah tak di mana-mana. Jongkoknya kelu-sepi, nyaris seperti tidak menunggu apa-apa. Tak juga menunggu; datangnya politik kota akan menderma kesejahteraan sosial namun membelok ke ruang parkir eksklusif bertulis : khusus mobil mahal. Tentu ada nenek pula di situ!