Posts

'sekepal kelu' BUAT KAU

Sayang di mana-mana. Kita. Puisi perjumpaan tak bisa-bisa. Tiada tempat mesra di negri-negri luka. Instansi luka. Penjara. Dept. Store luka. Penjara. Pabrik luka. Penjara. Detasemen luka. Penjara. Mau ke mana. Ke sini hati. Disayat kianat. Ke sana jiwa. Dibacok sandiwara. Tak ke mana-mana. Dibantai usia. Termangu TO. Kartu As hati plastik. Panah asmara mematikan beneran. M-16. Dalam bidikan kasih yang hampa. Pelornya tidak hampa. CROT ! Luka berdarah. Tembus. Blong dan resah. Mau berontak. Blong dan resah. Engkau padaku. Aku padamu. Balaikota penuh mahasiwa negara. Aku bawa benderanya. Engkau bawa seprit. Lagu Anoman Obong belum ada. Balaikota obong belum kunjung jua. Tapi ada yang kobong antara kita nampaknya. Pijarnya hilang ditelan para mahasiswa negara yang kupegang benderanya. Kucampakkan. Sebab telah kita pilih rumput yang diinjak-injak ini upacara. Opo Kabare ? Duduk kita bersisihan tak pernah sedekat itu. Anganku melambung tak pernah semungkin itu. Kita. Jadi pengantin pokok wa

KEBO NYUSU GUDEL

Anak-anak telanjang. Main hujan-hujanan. Kemaluannya perjaka - perawan. Menikam hati orang dewasa ... Yang penuh operasi selaput dara

MEDITASI KALI PROGO

Suatu kali dalam kesumpeganku jadi mahasiswa di kesumpegan situasi, aku berlari ke dusun Semawung desa Banjarharjo kec. Kalibawang kab. Kulonprogo DIY; tanah kelahiran bapakku. Punggung matahari. Menekuk. Kembali ke pertapaan. Punggung buaya. Hanya pada malam Syura. Katanya. Punggung cangkul. Ditekuk involusi. Tak mati-mati. Punggung petani. Dulu BTI hampir revolusi. Sekarang anak menjual punggung Bapak. Untuk beli dasi. Punggungku. Pegal tempaan mahasiswa. Maksud hati sok menjala ikan; alamiah. Tapi kangen sarden kota; bau timah

BALADA JAKARTA (puisi)

Image
Peta Batavia Belanda (Dutch Batavia), 1681. di atas Corona tua plang-plang memusingkan metropolitan ... baru datang langsung pingin pulang aku terancam dari kampung tak bawa ancaman atau aku ancaman ? Jakarta - Tanah Abang - Tanjung Priok. Tak ada pagi semua langsung siang. Tak ada sore semua langsung malam. Tak ada yang mati semua cari makan. Pengiritan demi pemborosan. Pemborosan demi pemerataan. AC - peluh - komputer - dengkul. Henpon anak mall, megapon tibum Bacot pasaran, cekikikan watak musang Omong doang ! Omong doang ! Preman fasis tak banyak omong. Todang-todong a la jenggo. Menggeram saja di tanggal tua. Itu jika ada pangkat di pundaknya. Jakarta - Tanah Abang - Tangjung Priok. Nasi uduk, susu madu. Perut urban macam karung. Urban atas karung karet. Tertidur di kereta belanja. Tante shopping menjerit :

KAMANUNGSAN NOYO DADAP (puisi)

Image
Kaum Kaya Itu Keparat Sumber Masalah Fuck The Rich Problem Maker Go To Hell Didot Klasta akhir 90an Adalah kamanungsan menggelandang, yang rumahnya : JANGAN KENCING DI SINI KECUALI ANJING GILA ! Adalah kamanungsan yang menyusup - nyusup. Martabat menyuruk dalam gunung sampah. Bergerilya bersama harkatnya anjing gila. Laskar Kere ... Laskar Kere ... Wajahnya asing di mata orang kaya. Pias - pias nyeri oleh besetan nasib sosial berdarah. Luber di lambung menggilingi lapar. Luber di bibir mendoa perjamuan. Luber di mata meminumi air mata darah. Tanpa takut, tanpa marah, tanpa jijik, tanpa pasrah. Hanya meringis saja, gumamnya; "Hidup ini sungguh anyir ..." Gumam anyir membasuh kemiskinan dengan bungkus sabun Lux di kolam sampah. Gumam-gumam lain di monopoli komentator Lux 'atas nama rakyat miskin'. Tersisa gumam epilog pembangunan nasional. Digelontorkan air kumur dalam jamuan babi - babi gembul. Masuk gorong harapan dan kecemasan. Muncrat di air

ILUSI HARMONI (puisi)

Di kota-kota ... Ada yang meringkuk antara grobak-grobak kakilima. Ada yang menyanyi parau dengan ketipung pralon. Ada yang menyusui anak sambil menunggu warung rokok. Ada yang suntuk gontai turun dari bis buruh tekstil. Ada yang berdoa menghiba menadahkan tangan. Ada yang kelaparan membolak-balik sampah. Ada yang termenung bokek di atas becak seharian. Ada yang jongkok manyun depan etalase toko mainan. Ada yang memperbaiki riasan di sudut remang. Ada yang lontang-lantung nganggur dan kebingungan. Ada yang tergolek pilu menahan disentri. Ada yang mabok dengan gusar oleh anggur lokal murah-meriah. Ada yang terbungkuk mengangkat-junjung karung-karung. Ada yang merokok getir di emperan rolling door. Ada yang antre sembako murah sampai pingsan. Ada yang membanyol kering di kedai kopi jelata. Di kota-kota yang sama ... Ada kalangan yang berkelebihan segalanya. Serakah, angkuh, culas, hipokrit ciri-cirinya. Sesungguhnya, mereka para majikan kota. Pada dasarnya, mereka ka

(enggak) PERLU JUDUL

Pukul tiga sore. Angin kencang di kota S. Hujan deras yang dramatis meminggirkan kere-kere di emperan kikir orang kaya yang dipilok : A W A S A N J I N G G A L A K !!! Seperti seting roman sosial nasional. Hawa ribut bertiup dari dengus rusuh moncong kongkalikong demokrasi oportunis. Air kencang menggelontori got-got dan duit seperak dua yang ditelan lumpur. Pekerja dihujani butiran tajam kondensasi pengangguran. Terus mencari barang sekeping. Tapi sekeping saja tak pernah ada di bawah meja bertaplak batik Iwan Tirta. Dan di atas meja orang-orang batik bermain dadu gelinding. Menggelindingi struktur cucuran keringat kongsi Indonesia. Hasil keringat jatuhnya di kantung petinggi batik dan juragan butik. Tubuh berkeringat jatuhnya terhumbalang di pelimbahan. Dengan seragam tetron murahan orang-orang tetron terhanyut menjauhi meja dadu. Sebagian mencair. Sebagian mengeras. Sebagian menyublim. Sebagian gaib sikon. Bagian terbesar telah begitu geram dan jemu. Menanti bahka