MINGGAT (kenangan terindah)
Pada hari Minggu yang cerah di medio ‘80an, Bapak pergi ke
Jogja urusan keluarga, Ibu dimana kulupa, mungkin santai luluran sambil membaca
majalah wanita. Di kamarku berkumpul temen-temenku; SyLg yang merupakan
tetangga sebelah, ArYk dari kampung Krajan dan aku sendiri. Kami sedang
berkutat mengotak-atik speaker dari radio tape recorder-ku. Ceritanya mencari
cara biar suaranya lebih mantep. Tapi kami tak melakukan hal-hal elektronik
bersolder, kawat tenol dan sekitarnya. Kami hanya perlu drei kembang dan
dudukan pot bunga besar warna hijau kekuningan yang dalamnya berongga dan kalau
dengan potnya ditaruh di ruang tamu rumahku bentuknya nampak berlebihan sebab
ruang tamu rumahku kurang gaya. Caranya; copot speaker dari tape, lantas
telungkupkan speaker itu di mulut dudukan pot menghadap ke bawah, maka suaranya
akan agak jadi lebih jedug-jedug. Tepatnya jedung-jedung sebab ada unsur
seperti sesuatu nyemplung sumur, tapi okelah.
Lantas karena mentari sudah lewat sepenggalah teman-teman pun lapar dan pada pulang, tinggal aku sendirian di kamar mendengarkan lagu-lagu top hits seangkatan mungkin Baby Jean dari Rod Steward seperti berikut ini : (http://www.youtube.com/watch?v=ncWYydlK-LA), sampai bapakku yang baru saja pulang tiba-tiba nongol ke kamar. Dia langsung menoleh pada radio tape recorder di atas meja belajarku dengan perangkat ‘sound system’nya yang baru.
Lantas karena mentari sudah lewat sepenggalah teman-teman pun lapar dan pada pulang, tinggal aku sendirian di kamar mendengarkan lagu-lagu top hits seangkatan mungkin Baby Jean dari Rod Steward seperti berikut ini : (http://www.youtube.com/watch?v=ncWYydlK-LA), sampai bapakku yang baru saja pulang tiba-tiba nongol ke kamar. Dia langsung menoleh pada radio tape recorder di atas meja belajarku dengan perangkat ‘sound system’nya yang baru.
“Kok tape dirusak karepmu piye???!!!” sergah Bapak dengan
mata melotot menatapku, mukanya kemerahan oleh lelah dan luap amarah.
Karena aku tidak merasa telah merusak, tanpa berpikir-pikir
aku langsung protes dengan heroik.
“Yang ngrusak juga siapa?! Aku enggak ngrusak!”
Demikian tiba-tiba, tanpa sempat kusadari, tangan kiri Bapak
yang legam dan kekar telah mencengkeram lobang leher kausku, disusul dengan
telapak tangan kanannya menyambar pelipis kiriku. PLAK! Aku seperti ngleyang
terjatuhlah di kasur yang kuletakkan di lantai. Belum lagi aku menyelesaikan
terpaan sensasi smacked down ini, Bapak sudah menjambret lagi lobang leher
kausku sampai aku mau berdiri, dan begitu aku sudah berdiri langsung long hook
ala Muhammad Ali itu menyambar pelipis kiriku lagi sampai aku jatuh terlentang
lagi.
“Orang tua lelah-lelah baru pulang anaknya sudah kurang ajar
berani nglawan! Kembalikan seperti semula!”
Demikian kira-kira yang diberondongkan Bapakku sampai kumis
lebatnya berdiri semua, terus cabut dari kamar. Aku sendiri masih terlentang di
kasur, TKO, memandang
langit-langit dengan pikiran yang simpang-siur (istilahnya : ngathang-athang).
Music player pertama dalam keluargaku seingatku adalah radio
tape (bukan recorder belum stereo) mereknya National. Dibawa dari rumah
kontrakan kami di dusun Mbarukan desa Tegalwaton kecamatan Tengaran kabupaten
Semarang Jawa Tengah bersama kepindahan kami ke Salatiga diumurku yang masih
sekitar jalan 3 tahun. Tak banyak yang kuingat dengan radio tape National ini,
hanya kaset Pangkur Jenggleng, langgam Katju Biru dan Victor Wood serta siaran
langsung sepak bola PSSI, serta bentuknya yang standar-standar saja. Dan kami
menyetelnya dengan batu batre. Lantas ketika aku kelas 4 atau 5 SD radio – tape
National itu dijual dan bapak – ibu beli radio tape recorder baru, stereo,
hitam keabua-abuan metallic, SHARP. Yang ini nich, jauh lebih keren.
Semula SHARP kami yang keren diletakkan di atas buffet ruang
tengah, istilahnya ruang keluarga. Ibu menyetel Emilia Contessa, Lex Trio, ABBA
Dancing Queen … Bapak nyetel Oscar Harris, Rahmat Kartolo, uyon-uyon … Kakakku
nyetel disco, disco dan disco … Aku nyetel lawak Warkop Prambors dan Orkes
Moral Pancaran Sinar Petromaks. Tapi secara pelan tak tersadari tapi pasti,
kakakku pun menguasai radio tape recorder kami, dan tempatnya pun berpindah di
kamar kakakku. Demikianlah sampai akhirnya diawal delapan puluhan kakakku
meninggalkan rumah untuk kuliah di kota besar S jauh di timur sana dan akupun
menduduki kamarnya, serta tentu, lengkap dengan SHARP keren itu dan doktrin
‘rock on’ kakakku. YES!!!
Tapi saat kakakku mulai kuliah, dunia music player sudah
jauh lebih keren dari SHARP-ku. Banyak teman-temanku yang di rumahnya ada
istilahnya tape deck. Tumpuk-tumpuk, mesin playernya sendiri, terus ampli
sendiri. Yang paten mereknya Kenwood. Aku kadang sambil be’ol juga
mengkhayalkan punya tape deck Kenwood, dan aku ingin yang sangat tinggi
tumpukannya. Beberapa temenku yang kreatif juga sudah pinter elektronika, jadi
mereka bikin ampli sendiri. Pak Rakiman memang juga mengajariku elektronika,
tapi aku lebih tertarik untuk berpikir karikatural tentang potongan rambutnya
dan gaya jalannya yang mbagusi, sambil mencuri-curi pandang pada Dyah UK, ketimbang
mempelajari cara bikin adaptor lampu neon. Jadi begitulah, aku mulai tak puas dengan sound dari
SHARP-ku, dan dalam rangka itulah kami berkumpul di hari Minggu yang cerah
medio ’80an namun berakhir tragis dengan TKO itu.
Beranjak sore. Suasana hatiku semrawut. Ada gemuruh
ketidakterimaan WHY???!!! Ada nglangut, ada sayatan luka, ada api dalam sekam,
ada empot pompa adrenalin petualangan rebel, ada kebingungan, ada nekad … Waktu
merambat, detak detik jam adalah suara ya – tidak – ya – tidak – ya – tidak
dalam degup jantung. Menjelang senja setelah mandi, sampailah, ada yang
mengetok palu di dalam sana, bergema-gema menjalari segenap pelosok relung
rongga tubuhku. Entah itu himbauan nurani, entah itu rayuan iblis, entah itu
hal biasa saja tak sedramatis itu; Yaaa … MINGGAT!!!
Setelah makan malam dengan beku, kupeking pakaian seragam
dan tas sekolah lalu diam-diam pergi ke rumah temenku SyLg tadi.
“Aku mau minggat …”
“Kenapa?”
“Sebab bfpvkffjfeubbxxdsblablablacrotcrotcrot.”
Seingatku temanku menyambut gembira ideku. Dia sendiri tidak
minggat, dia bukan jenis penggelisah seperti aku, tapi dia mau menemani aku
minggat, setidaknya untuk malam itu. Kami pun pergi ke kampung Krajan, ke rumah
ArYk tadi, mengobrol tentang
antagonisme hasrat remaja vs kekangan orangtua, humor-humor kampung, cewek,
dalam iringan semacam Beast Of Burden dari The Rolling Stones. Ya, memang ArYk
sangat maniak dengan Stones, padahal wajah dan penampilannya sangat mirip
dengan guitarist The Police, Andy Summer. Tapi yang maniak The Police malah
aku, sementara wajah dan penampilanku hanya menguatkan kesan tentang seorang
puber yang merasa seluruh dunia tak ada yang bisa memahami dirinya dan sangat
ingin punya pacar.
Tiba-tiba … ada derum motor mendekat. Derum itu … Ya derum
itu … Derum yang sangat kukenal ... Yamaha Bebek V80 Bapakku!!! Memang
orangtuaku kenal baik dengan orangtua ArYk sebab sama-sama keluarga katulik,
dan Bapakku tahu aku berkawan dengan ArYk meskipun aku tak tahu apakah Bapak
ArYk tahu anaknya berkawan denganku, tapi itu tak penting. Yang jelas aku
langsung terperanjat. Musik dimatikan untuk mengkonfirmasi derum motor itu.
Kemudian aku sembunyi di kolong dipan. Kamar ArYk memang ada di bagian depan
rumah dan selain punya pintu dalam juga punya pintu luar sendiri. TOK TOK TOK
...
“Didik main ke sini?”
“Mboten Pak …”
“Tenan?!”
“Enggih Pak. Leres …”
Terdengar derum Yamaha Bebek V80 disetater dan menjauh. Aku
pun keluar dengan istilahnya cengingas-cengingis. Kami bertiga
cengingas-cengingis, dan melanjutkan kongkow-kongkow tentang antagonisme hasrat
remaja vs kekangan orangtua, humor-humor kampung, cewek, sampai ngantuk.
Ayam jago berkokok. Orang-orang berangkat ke pulang dari
Kali Somba; mandi. Gunung Merbabu menggeliat tua. Sang Surya tersenyum hangat.
SyLg dan ArYk harus sekolah. Mereka sekolah di SMP Stella Matutina, beda
denganku yang sekolah di SMPN I Salatiga – sekolahnya anak-anak paling top
sekota ini. Aku dalam bimbang tapi harus cabut juga, jadi kami berpisah, kuanjutkan petualanganku sendirian. Saat
aku berjalan dan berjalan, secara sangat kebetulan aku ketemu dengan temenku SD
dulu yang kemudian juga sekolah di Stella Matutina dan merupakan salah satu
anak terbengal, nama bengalnya adalah PLO, sama, Palestine Liberation
Organization. Tentu aku tahu Yasser Arafat atau jendral Moshe Dayan dan
keruwetan disana itu, tapi aku tak paham hubungannya dengan kebengalan kawanku
satu ini yang pernah menonjok perut guru olahraganya di Stella Matutina,
demikian SyLg pernah menceritakan padaku. Tapi sudahlah, yang jelas rupanya dia
juga lagi mbolos. Maka jalanlah kami berdua. PLO bener-bener bergaya bandit
kecil, aku sendiri cuma pingin bisa bergaya bandit kecil secara tergopoh-gopoh.
Yang menjadi concern kami pertama-tama adalah masalah
logistik. Maka pikir punya pikir kami pun ngelencer ke Jalan Johar, tempatnya
jual-beli buku dan kertas bekas dan menjual sejumlah buku sekolah yang kami
bawa. Uangnya tentu buat makan-makan dan ngerokok, setelah itu ngelayap kemana
saja kami lupalah aku. Lantas setelah sampai waktunya anak-anak sudah pulang
sekolah, kami pun main ke rumah salah satu teman sekolah cewek dari PLO yang
bernama In di kampung Gladagan. Dia juga sangat manis dan merupakan salah satu
yang termanis di Stella Matutina. Taktiknya adalah pura-pura pinjam buku-buku
untuk lantas kami jual di Jalan Johar. Uangnya tentu buat makan-makan dan
ngerokok.
Operasi ini semuanya sesungguhnyalah dalam kreatifitas PLO
belaka, aku cuma mengekor saja dan sejujurnya pula aku adalah anak rumah yang
selalu mbok-mboken. PLO sendiri memang terkesan sangat menguasai bidangnya.
Bahkan dia sudah bisa bercanda a la kaum dewasa bersama Mbak-Mbak menor itu
saat kami nongkrong di sebuah warung kopi remang-remang seberangnya bioskop
Reksa Titer saat dini hari petualangan kami. Aku sendiri lebih seperti anak masuk
angin dan udad-udud-udad-udud secara tidak rileks, bahkan caraku mereguk wedang
kopi pun masih mbocahi. Dan aku lupa dimana kami tidur pada malam kedua.
Esok setelah malam kedua, karena mungkin kehabisan ide
petualangan, kami memutuskan berpisah mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Aku
langsung segera kembali ke jalan hidupku; tak lain tak bukan seperti biasa :
sekolah. Tentu saja Bapakku sudah mencariku ke sekolah, makanya aku dipanggil
Bu Ning guru BP-ku untuk konseling. Apa yang kami obrolkan aku juga lupa,
mungkin intinya semacam mencari titik harmoni antara kenyataan natural hasrat
puber remaja dan kenyataan bahwa remaja ini masih dalam asuhan dan
tanggungjawab orangtua. Aku juga lupa apakah ada yang menyentuh hati dari
konseling ini, yang jelas sepulang sekolah aku merasa lelah dengan ‘pelarian’
ini. Juga terasa ada something missing ketika aku mau menepis konsep ‘rumah’ –
‘pulang’.
Angin semilir kemarau tropik berkelindan dengan bau tai kuda
kering. Sekarang aku tak semrawut lagi. Tetap bergolak namun luruh, tunduk
ngungun … berjalan ke arah rumah tembok hijau dengan nomer 116 yang kutulis
dengan kapur dan bahkan terakhir aku menatapnya 2 – 3 tahun lalu masih ada,
bagai takikan gambar hati ditembus panah di pohon klengkeng yang abadi.
Kampungku lengang. Rumahku lengang. Secara mengendap-endap
aku masuk kamarku yang juga berada di bagian depan rumah. Kututup korden, pintu
kukunci, pelan-pelan aku berbaring memejamkan mata. Kemudian terdengar
suara-suara aneh di jendela kamar. Dengan sedikit membuka mata sambil tetap
pura-pura tidur, kulihat … tangan Bapak yang legam dan kekar sedang berusaha
memasukkan dua atau tiga bungkus roti lewat kisi-kisi kaca nako, tanpa suara.
Kalau tak salah ingat lantas mataku berkaca-kaca.
Fremantle March 2 2013.
Nantikan petualangan berikutnya.
Seri petualangan sebelumnya dapat disimak di :
Comments