MUSTAJAB CINTA [cerpen]
![]() |
DidotKlasta, Supression 17, 2007 |
“Uang! Mana uangmu?!”
“Ak … Aku tak punya uang ...”
“Bohong! Uang! Uaaang!!!”
Teror geragapan
merogoh saku celana depan dan dengan tertahan-tahan ragu mengeluarkan tiga
lembar ribuan lecek yang segera diulungkannya.
“Sss … Sungguh ... Cuma ini saja ...”
“Bangsat! Apa tuh?! Enggak percaya! Kamu
menghina ya?! Kau kira aku rampok teri kelas ribuan ya?!”
“Sungguh ... Aku ini cuma seniman pengangguran tak
punya apa-apa ... Lihatlah, jam tangan tak punya ... Gelang? Kalung? Cincin?
Sepatu jelek saja tak punya ...”
Sambil berkata
demikian itu Teror mengangkat kaki kanannya yang bersandal jepit dan langsung disepak
penodongnya yang memakai sepatu lars.
“Bangsat! Dompet! Serahkan dompetmu!”
“Tapi cuma dompet kosong, buat apa ...?”
Penodong itu menyambar
ribuan yang diulungkan Teror dan menempelengkannya di kepalanya, sedang tangan kanannya
tetap mengacung-acungkan clurit yang ketajamannya memantulkan sinar bulan. Teror
segera mengambil dompetnya di saku celana belakang dan mengulungkan benda mati tempat
menyimpan uang itu - yang jika hidup dan punya perasaan pastilah akan mengumpat-umpati
si empunya sebab tak pernah diisi secara pantas selain lembar seribuan dan poto
perempuan boleh ‘nemu’ yang dibohong-bohongkan sebagai kekasih.
“Ini ... Ini ... Ambil deh …”
Penodong itu
menyambar dompet secara kasar. Setelah membentak Teror, memerintahkannya
jongkok di bawah pohon jambu air di sudut yang gelap penuh semak-semak,
diperiksanya isi dompet.
“Dompet apa ini?! Enggak ada isinya!”
“Sudah kubilang tadi ... Aku ini seni …”
Penodong itu
melemparkan dompet secara menimpukkannya ke muka Teror.
“Seni apa?! Seni bangsat?! Pergi kamu sana! Sena
seni sena seni … Dasar pemuda sok seni tapi kere!”
Teror geragapan
mengambil dompetnya, lantas berdiri gemetar, tapi ia tak segera berlalu dari
tempat itu, malah termangu-mangu.
“Heh! Kubilang pergi sana! Kubacok sekalian
kamu!”
“Mmm ... Bb … Begini ...”
“Apa ha?!”
“Sudah tahu kan, kalau aku ini kere?”
“Memang jelas kamu kere! Gayamu saja sok seniman
nyentrik keren memuakkan. He, tahu enggak?! Aku sangat ingin membacokmu!”
“Mmm ... Aku cuma punya tiga ribu perak tadi
itu. Cuma itu ...”
“Terus?!”
“Mmm ... Bb … Begini ... Kk … Kukira mmm ... Tt
… Tentu kau punya uang jauh lebih banyak dari aku ...”
“Ooo jelas dong! Jelaaaasssss! Terus?!”
“Mmm ... Aku ... Aku belum makan sejak siang
tadi. Rumahku masih jauh di ujung kota Utara sana ...”
“Mau rumahmu jauh di ujung neraka kek, memang
apa urusanku?!”
“Mmm ... Jika perutku tak kuisi, aku khawatir
tak bakal cukup tenagaku untuk sampai rumah ... Ini sudah mulai agak lemes …”
“Ya makan, kalo lapar! Susah amat ... Goblok! Sudah
pemuda, seniman, kere, goblok lagi!”
“Mmm ... Maksudku ...”
“Maksud, maksud ... Maksud kepalamu ngglundhung?!”
“Maksudku ... Uang tiga ribu tadi itu
rencananya mau kupakai makan ...”
“Ooo … Lantas mau kamu minta gituuu?!”
Teror tersenyum
merajuk lebar secara memuakkan dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Enak saja, mau makan minta duit! Aku bapakmu
apa?! Kerja man! Kerja!”
“Tt ... Tt … Tapi itu kan duitku ...”
“Heh! Kamu kan sudah kutodong tolol!”
Teror
ditempeleng lagi.
“Ttt ... Tapi ...”
“Sudah! Sekarang kuat jalan enggak ha?!”
“Kalau sekarang ... ya masih kuat ...”
“Ya sudah, jalan sana! Problem nanti itu
dipikir nanti! Katanya senimaaan!”
“Tt ... Tapi ...”
“Tapi tapi … Tapi saya bundar?! Nih untuk
banyak bacot senimu!”
Sekali lagi
Teror kena tempeleng. Dia pun segera berlalu dengan kuyu. Rambut gondrongnya
tidak berkibar filmis, melainkan seperti habis keramas dengan cara mencebur di
got. Penodong itu berlalu ke arah sebaliknya, dengan gagah laksana menang
perang. Entah perang apa.
#
Sekitar dua
kilo Teror berjalan, perutnya pun mulai bermain keroncong dengan judul ‘di
bawah naungan nasi tempe’. Itu adalah jalan searah yang lumayan ramai, namun
yang lewat kebanyakan pengendara motor dan atau mobil, pejalan kaki jarang. Seiring
dengan suara-suara tak merdu dari dalam perutnya, Teror mulai dijangkiti
kecemasan dan benaknya mulai dikecamuki oleh pikiran-pikiran tak mengenakkan
yang campur-aduk dengan berotak-atik mencari jalan keluar. Teror harus
menemukan cara agar bisa makan. Bagaimana jika ia nanti pingsan begitu saja dan
tak ada orang yang mengenalnya, maka tentu tak ada orang yang akan menolongnya?
Bisa saja dia kehabisan tenaga jatuh di selokan dan di selokan itu ada ular
berbisa yang mematuknya, matilah!
Selepas belokan
hampir sembilan puluh derajat ke kiri, nampaklah seseorang sedang berdiri di
pinggir jalan di samping motornya. Ketika Teror telah mendekat, ternyata ia
dapati seorang perempuan dengan motornya yang mogok dan secara putus asa sedang
berulang-ulang coba mengeslah. Dada Teror sontak berdebar-debar oleh sebuah ide
‘cemerlang’ yang THUING! menyergapnya. Dan setelah beberapa saat sembari
berjalan makin dekat, ia pun memastikan tekadnya untuk melaksanakan ide itu.
Tempat itu tak
cukup terang. Di pinggir sebelah kirinya ada deretan rumah-rumah lama jaman
penjajahan yang besar-besar dan terkesan misterius, namun jauh dari jalan sebab
pinggiran jalan persis adalah selokan yang lebar. Sedang di sebelah kanan
adalah semacam kebun sekaligus taman milik jawatan kereta api yang memisahkan
jalan itu dengan jalan satunya yang lalu-lintasnya berarah sebaliknya. Jalan
yang dilalui Teror tak terus-menerus ada motor-mobil yang lewat. Terkadang ada
saat-saat sepi untuk sekian detik, kadang lebih lama lagi. Teror telah persis
melewati perempuan dengan motor mogoknya itu. Setelah sekitar lima meter, ia
berhenti, menoleh ke belakang, batuk basa-basi, dan menyapa sedikit canggung.
“Kenapa motornya?”
Perempuan itu
tak lekas menjawab. Menatap Teror antara enggan dan ingin menelusuri berbagai
kemungkinan itikad dan lantas menunduk, menjawab dengan nada malu-malu.
“Tidak tahu. Tiba-tiba mesinnya mati.”
Setelah
dibacanya bangunan situasi itu cukup ‘terbuka’ untuk diintervensi, Teror pun berbalik,
mendekat dengan berusaha menjaga sikap.
“Bensinnya masih?”
“Masih.”
“Businya mungkin?”
Perempuan itu
ragu-ragu menjawab. Tapi ekspresi wajahnya semakin menguatkan pembacaan Teror.
Mungkin ada dipikir oleh perempuan itu tentang sebuah peluang dimana situasinya
bisa beres, atas pertolongan pemuda itu; Teror.
“Busi?”
“Ya, kadang sesepele itu.”
“Mmm … entah ya, aku tak paham mesin. Cuma bisa
naik saja …”
“Hmmm … Memang banyak yang cuma bisa naik saja.
Seperti kehidupan ini. Sudah coba dibuka tadi?”
“Apanya?”
“Ya businya. Mosok yang lainnya …”
“Maaf, belum sih … Enggak tahu caranya …”
Perempuan itu
tersipu.
“Aku … Boleh?”
Perempuan itu
tersenyum.
“Nggg … Kalau tak merepotkan sih …”
Atas permintaan
Teror, perempuan itu mencabut kunci kontak lantas membuka sadel, mengambil
kantung plastik yang berisi peralatan standar dan mengulungkannya pada Teror.
Teror mulai
membuka busi, pelan-pelan saja, menelitinya dengan seksama. Dikorek-koreknya
bagian kepala api, lantas ditiupinya serpihan-serpihan kerak di celahnya,
dikorek-korek lagi … Pelan-pelan saja. Seakan Teror telaten benar, namun
sesungguhnya yang ada dalam benaknya bukanlah perkara busi atau apapun perihal
mogoknya motor. Sesungguhnya yang menjadi tema besar dalam pikirannya adalah
sebuah rencana … Ide ‘cemerlang’ … Teror akan memakai obeng untuk menodong perempuan
itu. Ya, ide penodongan! Memang dosa kehidupan, tapi apa bolah buat? Kehidupan
ini yang membuatnya lapar. Sementara perempuan itu mengamati kegiatan Teror
mengorek-ngorek busi - yang memang ekspresif dan berunsur akting - secara tanpa
tersadari pelan-pelan jadi seperti orang terpana; ada desiran menjalar yang
warnanya menjurus pada merah muda. Sesungguhnyalah perempuan itu sedang
mengalami broken heart. Ia barusan putus dengan pacarnya; seorang pemuda
seniman cukup terkenal yang ternyata bajingan selingkuh tidak konsisten.
Begitulah, maka
setelah memasang busi pada tempatnya, menstater, hidup, membleyer beberapa
kali, perempuan itu jadi sumringah … Teror menarik napas sebanyak-banyaknya dan
menghembuskan, begitu tiga kali. Lantas tiba-tiba … Teror belum sampai
mengatakan; “Serahkan uangmu !” Ketika
…
GEDHABRUG ! GROBYAK
!
Teror terkapar
ditindih motor yang sedang ia periksa businya. Perempuan pemilik motor sempat
menghindar, berdiri terperangah. Dan orang itu yang motornya telah tanpa
dinyana-nyana menggelincir oleh pasir untuk menjadikan tubrukan itu, berusaha
menegakkan motornya dengan terburu-buru, dan langsung tancap gas lagi.
Brrrrrrrm! Sialan … Tabrak lari! Padahal sekilas nampak bajingan itu tadi
pakaiannya sangat perlente seperti eksekutif muda. Dasar …
Setelah
memekik; aaawww!!! perempuan tadi segera mendapati Teror dan berusaha
membebaskan Teror dari tindihan motor. Teror sangat ingin mengerang tapi masih
terpikir untuk jaga imej.
“Mas! … Mas! Ya Awoooh … Mas!”
Teror tak nampak
ada lukanya, tapi agaknya ia cukup kesakitan ditimpa motor. Tangannya
memegang-megangi lambung sebelah kiri. Perempuan itu agak bingung.
“Aduh
gimana nih … Mas! … Mas!”
Dalam sakitnya
Teror tersadar; bahwa ia terkapar hanya sejengkal dua dari seorang perempuan
yang ternyata manis sekali. Tadi pas mau menodongnya dia belum menyadari hal
ini, mungkin karena memang ada perempuan tertentu yang kalau lagi panik
manisnya baru kelihatan. Parasnya seperti Nike Ardila. Teror terbengong-bengong
sebab rencananya secepat itu berantakan. Rasa sakitnya sontak hilang, dan dalam
hitungan kecepatan cahaya, Teror langsung jatuh cinta. Mungkin tak masuk akal,
tapi nyatanya demikian.
“Aduh … Mas pucat sekali …”
Memang rasa
sakitnya sontak hilang seiring cinta instan yang meraja, namun rasa cinta itu
juga menyadarkannya akan rasa laparnya. Dan rasa lapar memang piawai memantik
ide. Wajahnya pucat pasi memelas, namun di baliknya Teror tersenyum dikulum.
“Susu …”
Perempuan itu
agak malu merah jambu, berpikir yang tidak-tidak.
“Maksudnya Mas?”
“Susu jahe gepuk.”
“Mas ingin susu jahe gepuk?”
Teror
mengangguk lemah tapi napsu. Perempuan itu menoleh kesana-kemari, sepertinya
mencari-cari warung dekat situ. Nampak di ujung sana ada kerlip teplok.
“Itu ada warung
HIK mas. Saya kesana dulu cari susu jahe gepuk.”
Perempuan itu
beranjak.
“Anu … Nasi juga ya …”
“Ooo … Oke Mas.”
“Sate telor puyuh, mendoan, ceker, semua dibakar
dulu. Sama jarum super.”
“Ha Ha Ha … Siap Mas! Siyaaap …!”
Situasi agaknya
mulai mencair. Perempuan itu segera melaju. Teror duduk menggelesot di tanah
merenungi segala adegan yang barusan dia alami, kemudian disusul merenungi
betapa manisnya Nike Ardila, lantas ditutup dengan merenungi hubungan di antara
kedua kenyataan itu. Dan tak lama kemudian …
“Susu jahe gepuk datang Mas!”
Mereka berdua
pun duduk menggelesot. Ternyata perempuan ini membeli dua bungkus susu jahe gepuk
dan beberapa bungkus nasi kucing dan kelengkapannya untuk mereka berdua karena Nike
Ardila juga tiba-tiba jadi merasa lapar. Mereka jadi bersantap berdua sambil
mengobrol saling tanya dengan asyik diterangi cahaya bintang. Perempuan itu
jadi tahu bahwa Teror sangat suka main catur. Teror jadi tahu bahwa bapak
perempuan itu juga sangat suka main catur. Begitulah … Musik favorit, kapan
ulang tahun, pentingnya membersihkan busi secara rutin, susahnya cari kerja, hidup
yang ada absurd-absurdnya, bahwa malam itu ternyata malam minggu, dan nama yang
indah sekali; Amalia Kusumawardani.
Singkat kata karena
malam minggu masih belum pada puncaknya, Lia mengajak Teror ke rumahnya untuk
dia kenalkan dengan bapaknya. Rupanya Lia adalah anak semata wayang dari keluarga
kaya raya yang berantakan. Ia tinggal dengan bapaknya yang merupakan seorang
pengusaha internasional eksentrik berjiwa sosial, sementara ibunya menikah lagi
dengan seorang pengusaha Perancis yang juga rekanan bisnis bapaknya dan tinggal
disana. Setelah Lia bercerita tentang apa yang terjadi dan siapa Teror, bapak
Lia menawarkan Teror pekerjaan yaitu menemaninya main catur untuk menghiburnya
dari kesepian dengan bayaran yang cukup besar. Tanpa pikir-pikir (ya jelas, apa
yang perlu dipikir?) Teror menyanggupi, lalu dipanggilkan taxi yang
mengantarnya pulang dengan hati berdebur-debur serta mata berbinar-binar.
"Kemana Pak?"
"Kemana saja!"
Teror
menurunkan kaca jendela taxi, melongokkan kepalanya keluar dan membiarkan rambut
gondrongnya berkibar-kibar oleh; masa depan cerah.
#
Sekian malam
minggu berlalu. Pada malam minggu ke 4 Teror dan Lia saling gayung-bersambut-berkonstelasi
hati. Satu tahun kemudian, setelah mengakui niat rampoknya dulu disertai
penyesalan yang sungguh-sungguh – dan Lia mendengarnya dengan teduh penuh
pengertian - mereka menikah. Tujuh tahun kemudian bapak Lia memutuskan untuk
istirahat karena ingin fokus pada tuhan dan meminta Teror bersama Lia mengurusi
usahanya. Mereka pun hidup berbahagia hingga hari ini dan memutuskan tak ingin
punya anak sebab dunia sudah padat, tapi mereka menjadi orang tua asuh dari 247
anak panti asuhan yang mereka dirikan. Yah … Memang hidup adalah misteri. Entah
bagaimana nasib perampok berclurit yang dulu itu.
selesai
Harimurti
Salatiga - Fremantle - Salatiga (2017)
Comments