ORONG ORONG (cerpen)

Fiksi Ilmiah, Didot Klasta
Akhirnya … Surowelang, gegedhug bajingan yang sohor oleh cambang-brewoknya, kekejamannya, ilmu jaya-kasantikannya yang tinggi, sekaligus otak-kerbaunya, yang menjadi tangan kanan kesewenang-wenangan dari Ndoro Adipati Kanjeng Gusti Among Murko, sang penguasa tiran lalim tukang menindas dan suka memperkosa perempuan-perempuan muda itu pun menemui ajalnya di tangan seorang resi sakti mandraguna yang merupakan guru dari putra almarhum mantan Ndoro Adipati, Kanjeng Gusti Mangku Projo yang dulu telah dibunuh dalam sebuah kudeta berdarah oleh Kanjeng Gusti Among Murko, yaitu Raden Sastro yang ingin membalas dendam sekaligus merebut kembali kekuasaan, melalui gurunya itu.
Namun ternyata resi sakti itu, yaitu Resi Langit, setelah Kanjeng Gusti Among Murko bunuh diri sebab tak punya andalan lagi, ternyata kemudian berbalik berpihak pada putra Kanjeng Gusti Among Murko, yaitu Raden Karto yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama dinyatakan hilang dan segera mengambil alih tahta.
Dan ketika Raden Sastro dengan laskar pengikut setianya menyerbu istana, dengan alasan bahwa Raden Sastro adalah cucu-muridnya, Resi Langit mengatakan adalah tak mungkin ia menempur Raden Sastro, maka Raden Karto yang juga seorang satria pilih tanding pun langsung turun di medan laga, berduel habis-habisan melawan Raden Sastro sampai salah satu mati, begitu juga dengan laskar kedua pihak, berperang hingga habis-habisan pula.
Ketika situasi tidak karuan seperti itu, Resi Langit di luar dugaan ternyata mengerahkan pasukan rahasianya sendiri yang telah ia bangun sejak lama secara diam-diam, menduduki istana sementara dua kubu yang bertikai sedang baku-bunuh.
Dan kemudian Resi Langit pun mengangkat dirinya sendiri menjadi raja diraja. Sedangkan Raden Karto dan Raden Sastro terjebak dalam sebuah duel yang berlarut-larut tak berkesudahan sebab mereka sama saktinya, hingga seribu tahun.

Selama itu tadi, Resi Langit berkuasa di kerajaan Galiung. Namun itu adalah kekuasaan de jure, sebab secara de facto, kekuasaan seantero tanah Galiung berada di tangan Resi Bumi, yaitu guru dari Raden Karto.
Dan sesungguhnyalah Resi Bumi tak lain adalah saudara tunggal-guru dengan Resi Langit. Dan dulu sekali mereka berdua telah berdurhaka pada gurunya, yaitu Maha Resi Langit-Bumi.
Mereka berkomplot membunuh gurunya itu dengan cara meracunnya, untuk menguasai Padepokan Langit-Bumi yang tak lain secara terselubung adalah kerajaan di dalam kerajaan Galiung.
Namun adalah rahasia terbesar, bahwa di belakang layar tokoh-tokoh baik Ndoro Adipati Kanjeng Gusti Among Murko, mantan Ndoro Adipati Kanjeng Gusti Mangku Projo, Raden Karto, Raden Sastro, Resi Langit, Resi Bumi, Maha Resi Langit-Bumi, kerajaan Galiung, Padepokan Langit-Bumi dan apapun, sesungguhnya adalah Si X yang sama. Begitulah konon, nasib kekuasaan.

Dan bagaimanapun, akan hal itu semua, khlayak luas tak melihat ada perbedaannya. Dan kehidupan masyarakat kembali seperti biasanya.

Satu dari korban perkosaan dalam prahara politik Galiung yang paling cantik pun dipersunting oleh Resi Langit yang ternyata mata keranjang juga, setelah keperawanannya secara ajaib dikembalikan seperti semula, jadi ting-ting lagi, tapi tanpa operasi selaput dara.
Dan perempuan itu adalah Dyah Utami Sekarwati, yang lebih akrab dipanggil Dewi Tami. Namun tak ada yang tahu, bahwa Sang Dewi ini ternyata menjalin hubungan cinta backstreet dengan Resi Bumi.
Dan lebih tak ada yang tahu lagi, bahwa Sang Dewi di atas segalanya masih lebih mencintai Si X. Namun dengan demikian adalah wajar untuk kita pertanyakan pula, sebenarnya seberapa tulus cintanya pada Si X ?

#

Sementara itu di sebuah rumah ibadah. Atau menilik arsitektur ungkapan-ungkapan duniawinya, lebih pas jika disebut istana kenikmatan ibadah, yang berdiri di bagian tertentu paling eksklusif dari kota-kota yang mayoritas warga daerah itu adalah kaum fundamentalis fanatik ekstrem kaya-raya, para presiden agama-agama yang sedang rehat pada acara kongres internasional liga agama-agama, sambil menonton televisi pun dongkol-keki demi menyaksikan pertunjukan kehebatan resi-resi dengan ilmu sakti mandragunanya itu.
Lalu mereka bermufakat untuk segera mengganti saluran.
Sementara di bagian kota-kota yang lain. Untuk membalas serangkaian aksi bom bunuh diri, sabotase, penyerangan oleh milisi sayap kiri garis keras Brigade Virus Merah yang dilancarkan beruntun sejak pekan lalu ke target-target pusat ekonomi, politik, militer di kota-kota, komando pasukan aliansi internasional untuk solidaritas melawan terorisme dini hari tadi pun melancarkan ofensif besar-besaran ke seluruh kantong-kantong unit gerilya kota.
Namun justru hal ini membangkitkan antipati masyarakat yang sudah muak dengan situasi ekonomi-politik dan ke’mentang-mentang’an militer sekaligus menambah-nambah dukungan pada Brigade Virus Merah atau apapun bentuk aksi gerilya kota.
Sementara itu pula, biara suci yang selalu nampak kelabu misterius dengan cerobong besar berkepul-kepul di atapnya di pucuk bebukitan daerah G di kabupaten B tetap seperti biasa begitu sunyi, bukan oleh keheningan melainkan oleh suara tunggal monoton yang tak jelas apakah gumam mantra atau dengung sesuatu mesin atau sebuah suara yang mengandung dua unsur itu. .
Secara teratur, tiap-tiap waktu tertentu pun terdengar suara sirine semacam peringatan adanya serangan udara; pertanda tiba waktunya bagi segenap penghuni biara untuk istirahat dari meditasi maupun mulai bermeditasi.
Pertanda yang sama juga berlaku bagi para buruh perkebunan kopi, coklat, lombok dan panili di hektaran tanah sekiling biara itu untuk istirahat maupun bekerja lagi.
Katanya; mandor mereka galak-galak dan ringan cambuk.
Dan ketika sayup-sayup-jauh terdengar sirine yang lain lagi; pertanda waktunya mengheningkan cipta, pada saat berbarengan juga akan terdengar, suara cemeti menggeletar, bergema seantero bebukitan; pertanda neraka dunia. Lantas penindasan dan ketertindasan dimulai.

#

Eror membaui semacam konspirasi kotor tingkat tinggi dan global, namun Ibu yang cantik dan awet muda dan bosan pada suaminya menggandengnya menuju ruang bermain yang berupa mulut televisi yang menganga jorok, siap penuh napsu untuk memperkosanya, menodainya, melukai organ genital kemanusiaannya.
Eror terpuruk. Tak perawan lagi. Kosong-melompong. Hilang. Nonsen … kecuali semacam label harga berbentuk mirip celana dalam, menutupi kemaluannya yang hilang atau pembalut di balik celana dalam itu yang mengamankan menstruasi.
Eror semakin terbenam dan semakin terbenam, semakin larut dan semakin larut, semakin hilang dan semakin hilang dalam sistim penyadaran diri komersial dengan menghitungi mata-mata dari untaian tasbih yang tak ada selesainya, berupa rangkaian koin-koin untuk menelepon di telepon umum, menelepon orang-orang tak dikenal.
Hidup … Ada … dalam rangkaian klip-klip iklan komersial tak berujung. Alam semesta tanpa batas. Televisi melampaui alam semesta. Iklan komersial menciptakan tuhan, tuhan menciptakan manusia, manusia menciptakan Eror.
Eror duduk tak berdaya di ruangan yang desain interiornya didominasi oleh struktur-struktur televisi-televisi. Semakin menjadi bagian dari sesuatu semacam konspirasi kotor tingkat tinggi.
Di sekelilingnya penuh dengan para koboi dari seluruh penjuru dunia yang sedang menyelenggarakan kontes rodeo internasional, masing-masing punya gaya bangsa dan negaranya sendiri-sendiri.
Ada juga adu ketangkasan menembak baik target diam maupun bergerak, baik target mati maupun hidup, baik target benda, hewan maupun manusia.
Juga pacuan kuda, sapi dan kambing, lomba keperkasaan menundukkan Indian, demonstrasi perampokan bank dan kereta pos. Tentu tak ketinggalan festival judi, musik country dan seks.
Penyandang dana acara tahunan ini adalah sebuah perusahaan rokok dunia; Jenggo. Itu sponsor tunggal.
Acara kontes rodeo yang selanjutnya adalah menangkap babi. Seperti biasa maka Eror pun dilepaskanlah ke tengah arena yang menyerupai koloseoum, berlarian ke sana ke mari menguik-nguik.
Seorang koboi bertopeng hitam berpakaian putih-putih dengan hiasan bordir-bordir dari benang emas, merupakan campuran antara Lone Ranger, Zorro dan Elvis Presley, bahkan koboi a la Benyamin dari sesuatu negri yang asing, masuk ke arena di atas kuda putih bertotol-totol hitam diiringi gelegar lagu Rock n Roll Music dari Chuck Berry yang diaransemen ulang secara pentatonik.
Koboi campuran itu segera menggeprakkan sanggurdi dan memburu Eror keliling koloseum bersama riuh-rendah sorak-sorai penonton yang semua berwajah Nero.
Dalam sekian kali putaran jarak koboi dan Eror telah demikian dekat. Tali laso yang bercahaya dan pada ujung jeratnya penuh dengan paku kecil-kecil pun diputar-putar di atas kepala, siap dilempar untuk jitu melingkari leher Eror.
Jika kena, koboi itu akan menyentakkan lasonya, melompat dari kudanya, menubruk Eror, bergelut beberapa saat lantas mengikat kaki-kakinya. Semuanya hanya dalam hitungan detik saja.
Eror terus terbirit-birit panik menguik-uik mengelilingi arena dengan tak cuma disoraki, tapi dicemooh oleh para penonton sambil dilempari pula dengan bungkus makanan dari plastik dan botol minuman dari plastik.
Tapi Eror tak bisa keluar dari ruangan. Makin ia berputar-putar seperti setan, makin ia macam dalam lingkaran setan. Eror terperangkap !
Dominasi desain interior struktur-struktur televisi-televisi menjeratnya, lalu menyeretnya maju dengan tenaga yang tak bisa dilawan. Sekaligus Eror ragu juga; atau melawan atau mengikut saja ?
Dalam ragu antara melawan dan mengikut, kenyataannya mau tak mau Eror terus maju. Ia melewati altar yang bertingkat-tingkat. Antar altar satu dan yang berikutnya dihubungkan dengan undakan sejumlah, sesungguhnya, 1000 trap, namun lain orang katanya lain hitungannya. Tingkat-tingkat altar itu adalah perwujudan dari mitos hirarki total kehidupan.
Setingkat demi setingkat sampai juga ia ke altar tertinggi; altar tingkat ketujuh. Tapi Eror sama sekali tidak ngos-ngosan, malah enteng rasanya, seperti campuran antara menggelinding dan melayang.
Ia berdirilah di sana, di puncak hirarki altar, sebagai primadona korban dalam upacara yang aneh sekali. Semacam upacara inisiasi dari sebuah suku kanibal terakhir setelah perang dunia terakhir yang membunuh sebagian besar umat manusia hanya gara-gara, orang bilang, cinta.
Setelah lantunan mantra-mantra misterius yang berdaya bius efektif hingga berjam-jam, Sang Dukun suku kanibal yang telah sampai pada puncak kesurupannya mendekati Eror dengan pisau besar dan panjang berkilat-kilat dari emas, sementara segenap warga suku kanibal di kaki altar-altar menari-nari sambil memekik-mekik secara telanjang bulat.

“CHAOZ ! CHAOZ ! CHAOZ !”

Berpuluh kali Sang Dukun suku kanibal memutar-mutari Eror secara menari-nari sambil memekik-mekik sambil tiap-tiap kali meludah, dan ludah putih kekuningan itu baunya wangi-wangi-busuk.
Dan dalam kali yang kesekian puluh Sang Dukun mendadak diam. Berdiri tegak berhadap-hadapan dengan Eror. Matanya melotot, kadang cuma putih saja.
Selangkah demi selangkah Sang Dukun maju. Dalam hati Eror berkata bahwa Sang Dukun itu sesungguhnya lumayan ganteng juga namun dalam hati pula lantas ia mengesah sebab bakal mati di tangan seseorang yang ganteng.
Sontak suasana hening. Tari-tarianan berhenti, juga pekikan-pekikan. Dalam jarak setengah meter dari Eror, Sang Dukun menengok ke kanan atas, tangan kirinya menuding.
Di sana, di tempat semacam balkon yang bertabir kabut, samar nampak Sang Kepala suku kanibal terakhir mengangkat tangan kirinya yang memegang tombak dengan genta-genta kecil pada pangkal matanya. Tangan itu menghentak.
“CLING ! CLING ! CLING !”

Tari-tarian dan pekik-pekik mulai lagi. Sang Dukun menatap Eror kembali. Pisau diangkatnya pelan-pelan lurus di atas kepala, lalu pelan-pelan turun mengarah pada kening Eror.
Lima jengkal … Tiga jengkal … Sejengkal … Kening Eror terasa dingin sekali oleh ujung pisau yang secara sangat lembut ditempelkan.
Eror pun memejamkan mata, menanti realitas kesakitan. Terasa titik dingin bergerak lurus ke bawah. Melewati pangkal hidung, batang hidung, ujung hidung, melompat ke belahan bibir, terus merambati dagu, leher, dada, melewati belahannya …
Lalu gaun pun dirobek, lurus terus ke bawah dan disingkapkan. Eror sekarang tanpa busana. Dan ia terus-terang merasakan aliran rangsang gairah berahi yang nyaman mengharukan. Ia ingin bercinta (menikmati seks) dengan Sang Dukun.

“CLING ! CLING ! CLING !”

Dengan pisau itu dua puting Eror yang mungil menggemaskan pun ditoreh. Namun sama sekali tidak sakit, melainkan nikmat belaka. Lembut sekali seperti kenyotan bibir bayi … (Heran juga, bagaimana bisa Eror menyimpulkan demikian padahal ia belum punya anak ?) …
Maka menitiklah ASI. Tapi Eror tak menyadari bahwa sesungguhnya ASI-nya itu adalah kependekan dari Arsenikum Susu Ibu, sebab ada sebuah dokumen rahasia mengenai riwayat turun-temurun yang menerangkan betapa Eror adalah anak dada dari buah dada ibu-ibu beracun, yaitu ibu yang menyusui anak-anaknya dengan racun dari buah dada yang berbentuk kaleng.
Keluarga Eror mendapat jatah sekaleng tiap bulannya. Mereka tak perlu beli, cukup membayarnya dengan sikap tak merasa perlu penasaran dengan tetangga kiri-kanan yang berkomplot mengucilkan mereka.
Ada satu tetangga mereka, adalah keluarga yang sangat unik. Mereka semua para pemain drama. Eror ingat; dulu ketika masih kecil ia selalu ingin menonton mereka latihan, karena karcis pertunjukannya mahal sekali dan itu di gedung drama yang letaknya jauh di pusat kota.
Tapi Ibu melarang dengan keras. Katanya dengan nada menakut-nakuti; mereka tak akan diberi kaleng-kaleng susu itu lagi jika sampai ketahuan bahwa mereka tahu tentang drama itu. Suatu ketika Eror nekad mengintip !

#
Begitulah, ketika sesi terapi hipnotik berakhir, lampu led padam, psikiater misterius itu lenyap dari monitor entah kemana, ketika Eror mau meninggalkan tempat itu, ternyata ia tak bisa keluar dari ruang periksa, yang baru ia sadari pula ternyata ruangan itu tak berpintu dan berjendela selain ram 30 x 30 senti, yang berjeruji dan jeruji itu dialiri listrik serta sebuah lubang kecil di sudut kanan lantai.
Lubang itu menghubungkan ruang periksa dimana Eror tersekap dengan ruang-ruang periksa lainnya yang persis sama. Dan perhubungan antar ruang ini demikian rumitnya tanpa ujung-pangkal lagi.
Eror tak bisa menemukan jalan keluar. Ia tersesat dalam semacam labirin penjara. Dan tak ada petunjuk ataupun tempat untuk bertanya. Tak ada orang lain. Maksudnya memang ada orang lain, malah banyak sekali, namun itu semua adalah tak lain Eror semua.
Jadi ternyata hanya Eror sendirian total, serta juluran-juluran kabel-kabel warna-warni yang centang perentang, serta rangkaian-rangkaian sirkuit elektronik sunyi dan milyaran acara yang simpang-siur dalam kecepatan cahaya secara simultan.
Dalam kesunyian itu hanya ia rasakan; ada listrik-listrik yang mendengung tak terdengar, menyimpan apa yang disebut sebagai 'arus tinggal'. Dan beberapa kali Eror kena strom kecil.

“IBU !!!”

Berjam-jam Eror menyelinap kesana-kemari. Memeriksa tiap-tiap rongga rahasia, ceruk tersembunyi serta pojok misterius. Mengotak-atik ini-itu, membongkar ini-itu, sampai akhirnya ia merasa sangat-sangat lelah, bahkan ketakutan oleh barang suatu kebuntuan.
Lalu terduduklah Eror menggelesot, bersandar pada batang kaki logam dari salah sebuah komponen yang sewaktu sekolah lanjutan tingkat pertama dulu ia tahu namanya, tapi sekarang lupa, sebab didesak timbunan dari segala macam komponen kontemporer yang memadati alam pikiran serta alam sekitarnya.
Tiba-tiba, setelah beberapa saat mengenang-ngenang praktek membikin adaptor belasan tahun lalu di aula senam lantai yang suram dan penuh pintu tak pernah dibuka, yang mana uang prateknya dimanipulasi-korupsi oleh Tuan Guru Elektronika mata keranjang, yang mana bapak dari seorang kawan sekelas Eror - si pembuat terasi rawa - sampai datang mencak-mencak di sekolah karena anaknya itu tersundut solder di mata kanannya, yang mana pula seseorang bernama Handini yang gemulai menyambung kabel membuat ekor mata Eror ling-lung, ia tersadar ... Sadar bukannya soal cinta-cinta gagal … Sadar bukannya nostalgia-nostalgia yang mencencang majunya waktu …
Tivi itu berukuran 17 inci. Dengan keseluruhan kotaknya, sekitar 75 kali 50 senti, hitam. Namun jika dipikir-pikir; sudah sejauh itu Eror berjalan, tak tahu lagi entah berapa kilo. Atau berpuluh kilo ? Atau beratus kilo ? Mana mungkin ?!
Dengan demikian langsung Eror pun jadi membayangkan tentang semacam cerita fiksi ilmiah; dimana tivi adalah sebuah alam semesta tersendiri, yang menelan seseorang maniak yang menghabiskan 20 jam seharinya untuk menonton tivi. (Dan aku pemeran utama dalam film itu).
Tersekap; sebagai alien di dalam alam raya sistim kontrol imperium mediamassa. Teralienasi ditengah orde otomasi tekhnologi tinggi. Dan dalam jagad tivi itu, tak diketahui; siapa tuhannya. Namun terasa eksisnya sebuah supra rejim.
Eror tak tahu pula, di nasional mana ia sekarang. Macam apa pemerintahannya. Macam apa sejarah pertikaian masyarakatnya. Bagaimana perang-perang dunia (telah sampai seri keberapa). Perkembangan tentara. Bagaimana konstelasi politiknya, sayap kanan, sayap kiri, perkara kebudayaan, para seniman, pemilihan umum, kiamat sejarah, kiamat a-sejarah …
Kebingungan yang putus asa membuat Eror panik tak karuan. Panggilan dan teriakan minta tolong lebih sebagai jeritan histeris belaka, yang ternyata tak bisa keluar suaranya. Eror harus berkata sesuatu.

“Please Ibu … Please …”

#

Setidaknya Eror ingin tahu; sekarang jam berapa. Sebab kekasihnya biasa menyetel tivi kali pertama, saat program 'Kitchen Talk'. Itu pukul sembilan pagi.
Bagaimana jika begitu dinyalakan ia kena strom besar dan mati ? Perasaan panik yang sangat mencekam membuat Eror seperti terlempar lalu terayun-ayun dan berputar-putar, sampai akhirnya pun terkapar antara tidur dan pingsan.
Seekor manusia berkepala orong-orong mendekati Eror dengan jingkat langkah yang semencekam jalannya operasi penculikan anggota organisasi bawah tanah oleh polisi rahasia dari sebuah negara maut. Bagaimana ini ? Dua film bisa disaksikan secara bersamaan dalam satu aparat ?!
Ukurannya jauh lebih besar dari tubuh Eror. Makhluk itu adalah biangkeroknya kerusakan tivi. Karena suka memutuskan kabel dengan gigitannya yang sekeras kakatua. Dan sekarang mulutnya tak sampai sejengkal saja dari kepala Eror.

“Cilaka, bisa mati ini !”

Dan seperti yang ia duga, maka kepalanya pun dipotes oleh makhluk itu. Namun di luar dugaan, ternyata Eror tidak mati ! Hanya memang kepalanya terpisahlah dari tubuhnya.
Lantas tubuh Eror yang tanpa kepala berlari menghindar menyelusup di antara komponen-komponen elektronik, tentu saja tertumbuk-tumbuk sebab tak bisa melihat.
Sedang kepala Eror setelah dikenyam-kenyam sampai tak karuan lagi bentuknya, lantas diobat-abitkan dan dilemparkan oleh orong-orong itu. hingga berada di ruang tengah dari rumahku. Tergolek, atau lebih pasnya; nangkring di atas meja, sebagai asbak tanah liat dengan desain surealis.
Dan rumah ternyata sepi sekali. Jam dinding menunjuk angka sembilan, tapi malam. Tivi tidak menyala. Terdengar derum mobil entah yang lalu direm CIIIT … , berhenti. Terdengar pintu depan dibuka.

“CEKLIK ! CEKLIK !KRIEEET …”

Lalu terdengar suara-suara. Suara-suara itu ? Ya ! Itu suara istriku. Tapi, nampaknya ia tidak sendiri ? Ya ! Ia bersama … lelaki ?!

“What The Hell !”

#

“Kau yakin, tak ada seorang pun yang tahu tentang persekongkolan ini … ?”
“Sudahlah … Yakin saja. Lagi pula, kalaupun ketahuan tak masalah. Banyak orang tak suka padanya. Bahkan semua orang. Dia aneh. Gila. Lebih dari itu, ia berbahaya untuk politik kita. Politik orang-orang hipokrit itu. Jadi, bukankah kita telah merealisasikan hasrat mereka yang terpendam ?”
“Tetapi ia disukai rakyat …”
“Rakyat … Itu hanyalah takhayul Sayang. Yang sungguh ada adalah politik orang-orang itu. Ingat itu ! Ini hanya perkara engkau dan aku …”

Aku begitu saja di luar kontrolku bangkit, menghambur, langsung menerkamnya dengan dua cengkeramanku yang mengembang, semacam jurus harimau di masa kecil dari pendekar bintang filem Yasuaki Kurata.
Kami bergulingan. Tapi aku berhasil mempertahankan posisi di atas. Dua pahaku menjepit tulang rusuknya, dan berat tubuhku kusalurkan ke dua tanganku.
Ia meronta-ronta, mengingatkanku pada anjing-anjing yang dulu kujerat untuk lantas kubantai dan kujadikan tongseng seharga 3000 sepiring, jika ditambah kuah minuman keras; 4000 sepiring. Itu sebelum aku mengaku dosa dan lantas menjadi seorang vegan.
Seperti apapun ia meronta, tak kulepaskan cekikan jurus harimau ini. Dan rontanya makin lama makin lemah … makin lemah … Kuku-kukuku bahkan melesak menembus kulit lehernya.
Lalu kuhampiri kekasihku yang sejak beberapa saat lalu sudah tak bisa menjerit. Ia hanya terduduk di lantai dengan napas tersengal-sengal, muka pucat, biji matanya seakan mau loncat keluar, bibirnya bergerak-gerak. Menyebalkan.
Kuhampiri ia perlahan-lahan. Lenganku gemetar dengan buku-buku jari yang bergemeletuk seperti beradunya gerahamku. Sungguh terasa, dua telapak ini membasah, tak cuma oleh keringat, tapi juga darah yang menjebol pori-pori karena terpompa jantung yang ditegangkan oleh pembunuhan … dan bakal pembunuhan berikutnya.

“Siapa Kau sebenarnya ?! Kecintaanku ? Atau motif busuk kekuasaan ? Siapa HAAA !”

Aku sangat meradang bagai gunung api paling aktif. Ia sangat ketakutan bagai … babi, ya babi yang menelan uik-uiknya sendiri dalam kontes rodeo celaka. Sekejap lagi sudah mau kusambar batang leher jenjang sensual yang menipu itu …
Tapi tak dinyana dengan gerakan kilat kekasihku berbalik, melompat kalap sambil tak dinyana pula tertawa-tawa parau mengerikan, menerjang layar, hilang ditelan tivi bersama ekor tawa parau-mengerikannya yang terus bergema.
Aku terperangah. Tertegun. Terpikir-pikir. Baru kutahu sistimnya dari semua ini. Lalu senyumku pun menyimpul. Bahkan selanjutnya tertawalah aku terbahak-bahak.

“HA HA HA HA HA !!!!!”

Tivi itu, cuma sekedar tontonan belaka Sayang ... Tontonan jelek yang membikin kacau hidupmu. Dan kekacauanmu itu mengacaukan kekasihmu.
Oh … Tuntunan … ? Omong kosong apa pula ! Dengar, mempertontonkan tuntunan adalah sama busuknya dengan mempertontonkan hal-hal tak bermoral, seperti ketika tivi-tivi mempertontonkan gaya tokoh popiler yang unik saat buang air besar; itu, dalam acara 'JAUH DI MATA DEKAT DI HATI'.
Itu busuk. Secara substansi; mendistorsi apresiasi kritis manusiawi; bahwa semua orang punya gaya berak berbeda-beda, bukan tokoh saja. Dan secara superfisial; bau tinja tokoh bahkan lintas media ?!
Tuntunan itu kan untuk diajarkan. Coba, ajaran apa yang diberikan acara tolol, artis dungu dan iklan memuakkan serta reportase tokoh berak ? Tak ada. Yang ada hanya provokasi agar kau jadi mata gelap, lalu secara membabi buta menghancurkan keyakinanmu, percaya-diri-mu, kekuatanmu, dan pada gilirannya hidupmu.
Dan bukankah giliran itu telah sampai ? Gilirannya kamu takjub pada megalomania. Seperti si katak yang tak mau kalah dengan si sapi baik-baik saja yang tak mau mengalahkan atau dikalahkan. Lalu meremehkan si sapi itu seraya menyombongkan perutnya.
Karena kesabaran ada batasnya, maka si sapi itu menginjak-injak perut si katak sombong. Matilah ia, pecah perutnya …
Maka sudah seharusnya engkau melakukan introspeksi, refleksi … Maka begini saja, aku ini juga tak bermaksud untuk memprovok mengenai program aksi pemboikotan tivi. Tidak.
Aku ini hanyalah memberi kritik sekaligus menyarankanmu untuk coba mulai mengurangi kegiatan nonton tivi dengan bersikap lebih selektif terhadap acara-acaranya.
Meski sesungguhnya tak satupun acara bakal lolos jika kita menerapkan kriteria ketat, namun bisalah dikendorkan sedikit. Karena bagaimanapun, fungsi refresing dari tontonan, kita perlukan juga.
Misalnya, bisa kurekomendasikan acara : DUNIA BINATANG … Biar kau tontoni dirimu sendiri, bagaimana … ?

#

Setelah meracau, lalu kumatikan rokok dengan mencecakkannya di asbak. Aku duduk diam, merenung, maksudku berkhayal, lama sekali.
Tujuan di dalam benakku ini seperti saling tentang-menentang. Aku sedang menyusun segala sesuatu yang berantakan ini, sekaligus aku sedang memberantakkan susunan segala sesuatu ini, sekaligus aku sedang mencoba menyadari bahwa aku sedang disusun sekaligus diberantakkan. Demikian waktu berlalu.
Dan pagi tiba. Sebuah rumah ibadah, atau tepatnya istana ibadah terus menggonti-ganti saluran televisi. Semua kota menjadi perang kota. Dan biara suci kelabu dengan cerobong besar berkepul-kepul di atapnya itu tetap megah secara menakutkan.
Dingin sunyi tak mengenal hari. Hanya suara sirine pertanda waktunya bermeditasi. Dan kesemua fragmen dikerangkai oleh mesin yang berdengung.
Tapi sirine itu tak terdengar di sini, karena hanya Eror di atas meja - sebagai asbak - di depan televisi di dalam sebuah rumah yang diam-beku tak pernah mempersoalkan peristiwa.
Dan hubungan akan selalu tetap demikian, meski sesungguhnya rumah itu sudah lama tak ada, dan suatu saat berkhayal adalah dilarang keras, karena mengandung kudeta; oleh Si X; pacar backstreet dari Sang Dewi Dyah Utami Sekarwati.


selesai
salatiga pertengahan 2000an

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN