ALI, HIKAYAT 'PREMAN' YANG MASUK SORGA (kenangan terindah)

Sebagian anak-anak Rumah Bambu
Mungkin karena makin merasa tua, kesepian dan hidup hampa tiada arti, bersama sejumlah teman mahasiswa sebuah universitas di Salatiga aku menginisiasi kegiatan belajar luar sekolah bagi anak-anak rakyat jelata di sekitar kampungku Jagalan, itu awal 2000an. Inisiatif ini disambut sangat antusias oleh anak-anak dan orang tua mereka. Sebab gratisan? Menyimpulkan ‘gratisan’ sebagai kunci animo rakyat adalah penyederhanaan ceroboh dan menghina. Beberapa orang tua bahkan menemuiku untuk menanyakan tentang uang yang bisa mereka kontribusikan dengan alasan kegiatan seperti ini tentu perlu biaya. Mungkin saja keinginan untuk bisa mengakses sebuah media belajar yang ‘dekat’ dengan kehidupan mereka, bahkan bagian organik dari keseharian mereka, adalah dorongan yang bisa jadi lebih utama. Mungkin ini sekedar bukti tentang menariknya ‘belajar’ dan tidak menariknya ‘sekolah’, serta fakta kurangnya media belajar luar sekolah yang terjangkau. ‘Terjangkau’ dalam segala pengertiannya.

Bagai jamur-jamur polos lucu di musim hujan, dalam waktu singkat peserta bertambah banyak. Tak hanya anak yang tinggal di Jagalan, namun juga melebar sampai ke dusun Sukoharjo, Pamot dan Tugu. Beberapa pihak pun kemudian tergerak membantu. Temanku pegawai bank top di ibukota mengirimkan uang seratus ribu, temanku yang aktif dalam organisasi yang tak kumengerti
mengusahakan bantuan uang sekolah bulanan bagi 10 anak, temanku yang ini menawarkan satu becak buku bacaan dan buku penunjang belajar, temanku yang itu mensponsori penerbitan antologi puisiku untuk pengumpulan dana …. Dan tak lupa tentu saja bantuan berupa acungan jempol yang istilahnya kalau dijaman facebook sekarang ini kira-kira setara dengan; “Mantap Bung!” atau “Keren Mas!” atau “Joss Bro!” Rumah Bambu yang lugu tanpa jaringan papan atas – demikian nama kegiatan ini – pun meroketlah.

Seperti umumnya proyek perjuangan transformasi sosial heroik berdarah-darah, kegiatan belajar ini juga mengalami dinamika naik-turun yang rumit lagi dramatis. Anak-anaknya keluar-masuk sesukanya, relawannya datang-pergi seenaknya, rumah panggung milik pendeta yang kami pakai mau dibakar ‘massa’ karena ‘kristenisasi’, konflik dengan ustadz setempat sebab gara-gara ada kegiatan ini jumlah murid mengajinya turun drastis, pencatutan kegiatan untuk dibikin proposal mencari keuntungan pribadi, peliknya cinta lokasi, siklus kelabilan-kelabilan, dan aneka hal-hal klise perjuangan lainnya hingga sampai pada fase tertentu dimana anak-anak yang terlibat tinggal sepuluhan lebih dan dapat dikatakan yang mengurus serta bertanggung jawab secara aktif tinggal aku sendiri dibantu segelintir teman dengan komitmen terbatas. Pada saat seperti itulah, karena berhasil sedikit mencicipi indahnya hidup yang agak berarti aku pun jadi berkobar-kobar untuk segera melipatgandakan arti hidupku bagi sesama khususnya kalangan rakyat jelata.

Rumahku sejarak satu setengah kiloan dari terminal Tingkir, terminalnya kota kecilku tercinta Salatiga. Selain gemar berkegiatan dengan anak-anak dan pro rakyat jelata, seperti sudah kuceritakan dalam ‘Salah Satu Keajaiban Dunia Bernama : Minuman Keras’, aku juga sangat suka minuman beralkohol, apalagi kalau murah, atau ditraktir. Nah di salah satu sudut terminal Tingkir inilah aku biasanya melewatkan malam bersama segelas dua anggur lapen sambil melepaskan penatnya hidup luntang-lantung serta menakar kesepian asmara.

Hampir tiap-tiap kali aku nongkrong di kedai minum terminal Tingkir, di situ selalu ada sekumpulan pengamen bis dan jaringannya juga sedang nongkrong. Di antara mereka ada satu orang yang menarik perhatianku lebih dibanding yang lain. Tinggi, rambut panjang sepinggang sepertiku, bedanya dia besar kekar dan berwajah lumayan sinetron. Mengamati dinamika situasi di kedai minum, aku punya dugaan kuat bahwa si wajah sinetron ini adalah semacam ‘pemimpin’ dari kumpulan pengamen dan jaringannya itu sebab ada ekspresi keseganan dari mereka yang lain, bahkan dari pemilik kedai minum dan pengunjung lain yang mengenalnya. Yang membuat aku tertarik sebenarnya adalah sikapnya yang tidak bergaya, tidak sok disegani ataupun tidak seperti jagoan yang penthelang-pentheleng seperti ingin cari perkara saja. Kepekaanku merasakan ada energi kebaikan menyemburat halus dari raut wajah dan sorot matanya.

Aku pernah melihat si wajah sinetron ini sebelumnya, dua kali. Pertama, kami bertemu di kalangan judi dadu yang diselenggarakan dalam suatu perhelatan sunatan di dusun G yang terkenal dengan pemuda-pemudanya yang cukup berangasan. Bukannya aku turut berjudi. Aku hanya figuran diajak teman dan dia yang berjudi, sedang aku cuma berfantasi seolah-olah sedang menjadi lelaki sejati dalam dunia hitam yang keras. Saat pertama bertemu itu sesungguhnya aku sudah terkesan dengan penampilan dan sikapnya. Tenang, rileks menjatuhkan uang di kotak-kotak nomer pasangannya seakan gemuruh delapan iblis menunggang angin ribut delapan penjuru pun tidak bakal berefek padanya. Ia ditemani seorang perempuan manis yang mungkin salah satu perempuan paling manis di kalangan judi itu. Dan sekalian para petaruh ini seperti halnya orang-orang di kedai minum terminal, nampak segan padanya. Sesungguhnyalah orang ini berwibawa.

Kali kedua adalah di depan rumah Pak R waktu aku sedang duduk melamun. Pak R adalah pecatan perwira rendah biro sejarah angkatan darat Kodam 7 Diponegoro dan ex tapol belasan tahun dalam Geger Gestok 65. Kami saling kenal sebab aku sedang mulai tertarik dengan serba-serbi ‘65’, sedang Pak R mungkin tertarik sebab aku dikiranya generasi muda progresif revolusioneir anti orde baru senang komunisme yang khusyuk mendengarnya mendongeng tempo dulu. Sejak kami saling merasa cocok, aku sering diajak ikut berbagai kegiatan paguyuban ex tapol ‘65’. Bahkan kemudian aku menjadi sekretaris atau semacam itu di Salatiga. Namun meskipun jabatanku sekretaris atau semacam itu, aku hampir tak pernah diminta menulis apapun. Kegiatanku yang paling rutin justru mengantarkannya keliling-keliling Salatiga mengunjungi teman-temannya ex tapol dengan upah sepiring tahu campur depan SD Marsudirini 78. Itulah kenapa pagi itu aku duduk melamun di teras; menunggu Pak R mandi untuk kuantar lagi entah kemana. Dan lewatlah si wajah sinetron berjalan dengan tegap di jalan depan rumah, menengok ke arahku dan entah kenapa tersenyum ramah. Demikianlah, setelah pertemuan pertama, kedua, dan beberapa malam bersama sekian gelas dan sekian lagu campur sari dari sisa-sisa serak parau yang sudah digeber seharian di atas laju bis-bis AKDP di jalanan sepanjang Boyolali – Salatiga - Bawen, akupun tahu nama si wajah sinetron ini; Ali.

Seperti telah kusinggung di atas, bahwa aku sedang berkobar-kobar tak terbendung lagi untuk melipatgandakan arti hidupku bagi sesama khususnya kalangan rakyat jelata. Rencanaku adalah mengembangkan sayap kegiatan belajar luar sekolah ke sektor anak-anak jalanan yang acap kali kulihat di terminal. Aku langsung berpikir tentang Ali sebagai orang kunci strategis untuk pelaksanaan rencanaku ini.

“Aku sangat mendukung dan siap membantu. Dulu aku pernah mengusahakan pelatihan menjahit buat para PSK. Yang penting jangan sampai anak-anak ini ditipu, diproposalkan, bantuannya tak sampai ke mereka. Itu pernah terjadi.”

Singkat cerita kegiatan bersama anak-anak jalanan pun terlaksana. Hari pertama sungguh mengesankan, kami berkumpul di rumah Ali. Ia dan perempuan paling manis sekalangan judi yang ternyata istrinya, menyiapkan hidangan agak istimewa berupa nasi sayur kluban, tempe goreng, krupuk yang kita santap ramai-ramai secara kembulan sambil lesehan.

“Semua pengamen dan anak jalanan ada di buku ini. Terkoordinir.”

Ali menunjukkan sebuah buku tulis anak SD. Penuh nama-nama dan data diri. Pada halaman pertama nomer urut satu : Ali, usia dua tahunan di bawahku, asal Jakarta.

“Banyak urusan polisi. Jakarta adalah masa kelam. Aku pindah kesini saat rejim Suharto tumbang.”

Di hari lain, selesai kegiatan, kami semua diajaknya ke sebuah gua misterius di lereng kali kecil tak jauh dari rumahnya di dusun Cebongan.

“Aku kadang semedi di sini. Sebetulnya sekarang ada yang sedang bertapa, namun tak kelihatan karena sudah lama sekali bertapa, sudah sedemikian sakti. Jiwanya meliputi raganya. Tiap Selasa Kliwon teman-teman pengamen kuajak kungkum di Umbul Senjoyo, berolah bathin dan menempa tenaga dalam.”

Kemudian anak-anak mandi di kali, Ali dan aku duduk menatap dari ketinggian tebing. Sambil bermain air mereka memanggili kami, “Bang! Bang!”

“Aku memastikan mereka mandi setidaknya sekali sehari di kamar mandi terminal. Karena belum cukup umur, mereka tak boleh merokok. Mereka jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak benar, misalnya mencuri. Dan harus kompak.”

Kegiatan bersama anak-anak jalanan sayangnya berlangsung tak lama. Awalnya tiap hari Minggu pagi Ali akan menyempatkan diri berangkat ke terminal Bawen dimana anak-anak ini biasa mangkal dan membawa mereka ke Salatiga untuk belajar. Namun cara ini makin merepotkan. Dia juga harus membuka lapak pengobatan alternatif di daerah Kopeng punggung gunung Merbabu tiap hari Minggu sebagai mata pencahariannya yang lain. Soal tempat juga jadi persoalan tersendiri. Kalau di rumah Ali, kepatronannya membuatku merasa kurang leluasa mengembangkan kegiatan. Kalau di rumahku, agak jauh. Pak R menawarkan rumah kunonya yang hampir berseberangan dengan terminal untuk dipakai. Dia selalu penuh dengan romantik-romantik marhaen rakyat jelata. Beberapa kamar kosong di rumahnya disewakan murah-meriah untuk buruh, tukang asongan terminal dan marhaen-marhaen seperti itu. Bayangkan gembiranya beliau kalau terasnya dipakai untuk belajar anak-anak marhaen jalanan. Namun setelah sehari dua ternyata mereka kurang tertarik. Berbaring-baring di lantai kuno dari rumah kuno yang monoton membikin mereka ngantuk dan ingin main catur saja. Dan aku pun pusing mengurusinya sendirian, termasuk pusing memikirkan sebetulnya ini belajar apa? Yah … Ini memang level pakar sosial, dinas sosial atau LSM papan atas, bukan medioker labil. Maka akhirnya bubarlah.

Meskipun tak ada lagi kegiatan belajar dengan anak-anak jalanan, aku tetap berhubungan baik dengan Ali. Aku juga meminta maaf padanya soal gagalnya kegiatan dengan anak jalanan sebab bla bla bla. Seperti biasa dia rileks saja. Mungkin dalam hatinya dia bilang, “Sudah pernaaah …” Tapi mungkin tidak. Dia tahu aku tak main-main. Lantas kami mulai jarang bertemu sebab kompleksitas tantangan hidup masing-masing. Apalagi bualanku sukses meyakinkan sejumlah mahasiswa sebuah universitas di Salatiga untuk mengangkatku jadi pelatih teater di kampus mereka, dimana tiap-tiap habis latihan kami akan berciu-ria di kedai minum Pujasera yang selalu hingar-bingar aroma kota, aku tak harus meratapi kesepianku di kedai minum sudut terminal lagi, diiringi campur sari Ali and his friends.

Tentu aku masih datang jika ada acara kumpul-kumpul di rumah Ali, misalnya saat ulang tahunnya. Dan kau akan mendapati pengamen-pengamen jalanan beserta segenap jaringan jalanannya, pemuda-pemudi rakyat, kalangan transgender yang perkasa, bapak-bapak dusun setempat, satu dua preman, orang-orang duduk melingkar atau berserakan di pelosok rumah. Aku mainkan Saksi Gitar Tua atau Gula Galugu Suara Nelayan atau Serenade, Ali menimpali dengan bass betot, gelas ciu terus berputar, bau mulut bau rokok bau keringat bau bedak dan pewangi bau keluh bau harapan saling berkelindan merangkai pesan : persaudaraan rakyat pinggiran. Tak lama kemudian aku menikah dan waktu berjalan. Ali rutin pergi mancing ke Rawa Pening, aku masih terkaget-kaget dengan ajaibnya hidup berkeluarga.

Tiba-tiba pagi itu tiga tahun lalu kuterima kabar; Ali meninggal! Bersamaan hari dengan heboh tragedi ciu Karangpete Salatiga yang menelan banyak korban dan menjadi berita di koran-koran mengingat sebaran korbannya yang bahkan sampai menimpa beberapa pemuda dusun G. Aku menggigil sedih luar biasa, mau tak percaya, haru sekaligus tertunduk hormat. Baru sepertiga perjalanan kehidupan … Seorang baik dipanggil Tuhan. Di rumah duka, dengan latar belakang suara pembawa acara yang menyampaikan betapa Ali adalah Ketua RT yang penuh tanggung jawab dalam melayani warga, mertuanya bercerita padaku; Ali terbangun selepas tengah malam, berguling-guling tak bisa bernapas dan ... Sambil mengiringi jenasahnya ke pekuburan, kenangan-kenangan berkilas-kilas memenuhi hatiku. Aku ingat lagu ciptaannya berjudul Rawa Pening, irama campur sari sudah tentu. “Bisa untuk promosi pariwisata Salatiga dan sekitarnya,” katanya. Aku ingat ular berbisa peliharaannya. Aku ingat ia mengajakku bernyanyi duet saat pernikahanku di Umbul Senjoyo yang meriah; I Don’t Want To Talk About It – Rod Steward versi dangdut solo organ. Menjelang senja, Ali adalah salah satu yang tinggal sampai acara berakhir dan semua pengunjung telah pergi, seperti memastikan pernikahanku berjalan baik-baik saja, lantas pulang dengan rombongannya menumpang Isuzu bak terbuka. Dan aku ingat salah satu anak jalanan itu ingin belajar reparasi radio.

Ali … Ali … Preman yang tak mengutip uang. Tengah malam ini di balkon apartemenku nomer 38 lantai tiga Dover court Mosman Park Australia Barat, kugumamkan pada langit semesta; terima kasih untuk kesalehan sosialmu. Damai abadi saudaraku. Damai abadi.

DidotKlasta
Mosman Park Perth Australia, Juli 2014

Keterangan.
lapen : sejenis minuman keras oplosan yang kadang juga dihubungkan dengan ‘jamu kuat lelaki’.
penthelang-pentheleng : (jawa) melotot pada siapa saja serasa jagoan.
Geger Gestok 65 : badai politik pertarungan kekuasaan tahun 1965 yang mengakhiri era Sukarno dan mengawali era Suharto _ Orde Baru. Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah istilah yang digunakan oleh kalangan yang berseberangan dengan Suharto – Orde Baru untuk meng’counter’ istilah versi Suharto – Orde Baru, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) yang mendiskreditkan Sukarno dan PKI atau gerakan kiri Indonesia secara umum.
AKDP : bis Antar Kota Dalam Propinsi
kluban : (jawa) masakan berupa sayur-sayuran baik direbus maupun mentah dengan sambal kelapa.
kembulan : (jawa) makan bersama dari satu wadah.
kungkum : (jawa) berendam entah di kali atau sendang untuk keperluan spiritual.

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN