AKU DAN PEMILU, SEJAUH INI (kenangan terindah)

Dari mulut gang ke Asrama yang diapit oleh pagar tembok tua gedung SKP (Sekolah Ketrampilan Putri) dan warung rujak – lotek Bu K, aku melihat T nampak gagah penuh energi dengan jaket hijau doreng kuning hitam dalam derap langkah barisan simpatisan PPP dari arah kolam renang Kalitaman naik menuju Jalan Pemuda sambil menyanyikan lagu Pring Reketeg Gunung Gamping Gempal, sementara di lapangan bola Tamansari berseberangan dengan bundaran tugu jam seorang tentara muda mengisi magasin senapan otomatisnya di dekat pohon kamboja. Demikian dua kelebatan memori samar tentang pemilu masa kecilku di kota kecilku Salatiga.

T waktu itu sudah menjadi remaja setengah pemuda. Si hitam wajah jawa anak dari keluarga miskin di kampung Krajan, bapaknya penarik becak, kakak tertuanya penarik becak, kakaknya yang nomer dua penarik becak, dia sendiri sebelum menjadi pelatih tenis top adalah penjaga bola, namun aku lupa apakah sebelum jadi penjaga bola dia juga menarik becak. Aku mengenal T sebab dia melatih tenis di lapangan yang sama dengan tempat Bapak main tenis. Tak ada orang yang tidak kagum padanya. Tak cuma dengan teknik permainannya namun juga dengan gayanya yang sangat ‘flamboyan-stylist’. Sedang siapa tentara muda itu aku tak tahu. Yang kuingat situasi pemilu-pemilu dimasa kecilku memang selalu terkesan panas, setidaknya menegangkan. Dan bicara tentang tentara,
seperti kota-kota yang lain, di Salatiga selain ada Koramil dengan babinsa-nya tentu saja juga ada Korem 072 Makutharama, Batalyon Infantri 411, Kodim 0714 serta tak ketinggalan detasemen Polisi Militer. Dan lagu Pring Reketeg adalah salah satu lagu kampanye yang popiler hingga di kalangan anak-anak. Seingatku lagu-lagu seperti ini tidak identik dengan partai tertentu, semua partai menggunakannya, maksudku PPP, Golkar dan PDI.

Beberapa tahun lalu aku mendapat cerita dari seorang temanku; DO yang 4-5 tahun lebih tua dariku dan dijaman aku SD terkenal sebagai salah satu remaja paling bengal dan paling ditakuti se Salatiga. Dia bercerita bagaimana dia dan beberapa temannya satu geng (yang juga bengal dan ditakuti se Salatiga) dikejar-kejar petugas Polisi Militer sampai masuk got, mukanya dibenturkan ke pagar besi dan ditodong pistol sebab menyobeki poster-poster Golkar. Dia juga bercerita tentang karisma dari DK yang merupakan salah satu preman Golkar tersohor di Salatiga masa kecilku dan bagaimana dengan penampilannya yang bagai koboi kerempeng mampu menyihir massa saat berpidato di Lapangan Pancasila. Ini ingatan temanku, aku sendiri tak tahu. Ya, sedikit sekali memoriku tentang pemilu-pemilu masa kecil.

Kemudian aku pun berumur 17 tahun, itu tahun 1987. Selain sudah resmi boleh menonton filem bioskop yang mengandung adegan-adegan seksual serta kekerasan, sudah punya KTP dan sudah bisa merokok dengan gaya meyakinkan, meskipun belum punya pacar aku boleh, tepatnya wajib menyoblos dalam pemilu. Hal-hal sekitar pemilu yang kuingat tentu lebih banyak lagi, misalnya suatu hari seusai sekolah kami diharuskan berkumpul di Gedung Pertemuan Daerah bersama murid-murid SMA lain se Salatiga untuk mendapat pengarahan yang kalau tak keliru dari PGRI dalam rangka menyongsong pemilu 1987 yang sebentar lagi tiba. Sebagian besar temanku ikut, aku sendiri kabur bersama beberapa teman yang berhasil kupengaruhi karena kupikir ini adalah kampanye Golkar terselubung.

Aku juga ingat bagaimana aku sangat terpesona pada Megawati Soekarnoputri yang sedang naik daun menjadi bintang PDI. Salah satu berita yang paling menarik hatiku adalah berita tentang kunjungannya ke daerah di dekat Salatiga dimana Megawati naik dokar bersama ketua PDI, Soerjadi dan dielu-elukan rakyat. Perasaanku campur-aduk antara membayangkan Megawati sebagai ‘ibuku yang lain’, berandai-andai aku punya kekasih seperti Megawati remaja serta gejolak ‘romantisme rakyatisme’ yang menurutku tersimbolkan oleh sosok Megawati. Demikian tergetarnya sampai aku menuangkannya dalam sebuah puisi yang mana dimasa sweet seventeen itu kesastraanku sudah mulai menemukan karakternya.

Kenangan lain lagi adalah membikin poster-poster kampanye PDI sendiri dan kutempelkan di pintu gerbang sekolahanku. Jadi kupikirkan sendiri, kukumpulkan kertas bekas sendiri, kugambari sendiri, kubikin lem sendiri dan kutempel-tempel sendiri di malam yang sunyi-sepi (kelak kemudian hari sekitar awal tahun 2000an aku baru tahu dari zine-zine musik underground-punk dan gerakan anarkis bahwa yang kulakukan dimasa remajaku dulu itu istilahnya adalah DIY / Do It Yourself). Kemudian kawan sekelasku yang punya hubungan di kampungnya pun mendapatkan poster-poster resmi PDI dan disuatu malam dingin dalam derai gerimis bertiga kami menempelkannya di billboard pojok perempatan Penjara yang mana untuk melakukannya kami harus menempuh resiko kena setrum tidak kecil. Seingatku aku yang paling bersemangat dan paling berani memanjat ke pojok yang sulit dijangkau.

Terkait dengan DIY di atas, selain membikin poster sendiri, karena tak punya hubungan untuk mendapatkan kaos PDI, aku juga merancang kostum kampanye sendiri. Maksudku tidak seluruhnya. Bapak punya baju hitam lengan panjang yang dulu sekali dia beli di Jakarta sewaktu guru-guru sekecamatan Tengaran mengadakan karyawisata kesana. Kusulamlah pada punggung baju hitam itu, kalimat ‘Banteng Merbabu’, karena marhaen dan PDI itu adalah banteng dan Salatiga terletak di kaki gunung Merbabu. Dan di siang yang membahana dengan motor GL 100 Bapak yang kulepas sepionnya supaya nampak gaya, aku pun berbaur dengan lautan massa PDI yang memenuhi Lapangan Pancasila. Menariknya, justru di saat ikut kampanye yang bergelora aku tidaklah merasakan sensasi sukarno-marhaenisme-rakyatisme ataupun imaji wajah Megawati yang mempesona transparan di langit. Sensasiku adalah kegarangan sok jago penuh gaya. Sensasi yang meluap-luap saat serempak kami membleyer motor, atau memenuhi jalan dengan cara seakan-akan sedikit ekstase, atau dengan mata melotot memaksa pengguna jalan yang tak ikut kampanye untuk minggir. Semacam kepuasan eksistensial yang memompa dada dan kepala lantas melambungkan diri ke langit lapis ketujuh. Dan ya, tentu saja kemudian aku menyoblos PDI, di TPS dekat warung Pak Rebo seberang jalan. Aku ingat Ibu mencoblos Golkar sebagian sebab ‘keharusan’ sebagai guru negeri dan mencoblos PDI sebagian, “Untukmu,” katanya padaku. Demikianlah sekilas kenangan manis pemilu di tahun 1987.

Tak lama kemudian aku lulus SMA dan menjadi mahasiswa sosial politik. Di ruang kuliah yang kaku, kelu, beku dan tidak nyata aku diajari tentang sistim politik, di luar ruang kuliah yang hidup aku belajar tentang korupnya sistim politik. Lewat buku aku ditipu mengenai sahihnya pemilu, lewat berkegiatan kritis aku meyakinkan diriku sendiri bahwa mencoblos adalah salah satu level terendah dari keaktifan politik. Jadilah aku golput.

Sekarang, tahun 2014, Indonesia mau pemilu lagi, memilih presidennya secara langsung. Tempo hari sudah dilaksanakan pemilu legislatif dimana aku seperti yang sudah-sudah tetap golput dengan mantap, bangga, aktif dan optimis. Bagaimana sikapku dengan pilihan presiden yang tinggal beberapa hari lagi? Bagiku dalam konteks presiden-presidenan, pejabat, politisi dan hal-hal sejenis itu, Bapak Joko Widodo adalah sosok kepribadian yang sangat mengesankan. Kesan positip yang sepanjang hampir setengah abad usiaku hanya muncul pada dua orang; Megawati (namun pupus setelah beliau jadi presiden, maka tak relevan lagi), dan Gus Dur (muncul saat beliau jadi presiden dan tetap demikian sampai sekarang). Aku agak bisa menguraikan panjang lebar tentang kenapa aku punya kesan positip pada Bapak Jokowi, namun dalam situasi kampanye yang sangat intens, memabukkan dan sekaligus menjenuhkan ini aku lebih ingin mengatakan ringkas; sebab aku percaya pada beliau. Tak peduli dengan silang-sengkarut debat-argumen-informasi soal visi-misinya, soal orang-orang di sekelilingnya, soal kepentingan-kepentingan di baliknya, soal problem-problem kinerjanya nanti jika terpilih, soal perspektif-perspektif politik, aku tak peduli. Bahkan aku tak peduli dengan hal-hal buruk yang bisa terjadi jika rival Bapak Joko Widodo yang jadi presiden. Aku hanya percaya pada beliau, itu saja. Selebihnya aku percaya bahwa harapan-harapan perubahan itu di tanganku dan tangan tiap-tiap rakyat Indonesia, bukan di tangan presiden. Dan karena Indonesia masih negara republik presidensial yang harus ada presidennya, tentu aku lebih senang jika di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kota Salatiga yang terpajang adalah poto presiden yang secara pribadi kupercaya. Setidaknya jadi hiburan dari kesumpegan mengurus surat ini-itu, dan dari penderitaan melihat penampilan birokrat-birokrat yang memuakkan. Dan melakukan sesuatu untuk orang yang kupercaya sebagai presiden dengan datang ke TPS dan menyoblosnya, kukira layak. Apalagi karena banyak hal baik yang lebih mungkin muncul dari orang yang bisa kita percaya. Boleh jadi bukan hal-hal mendasar, namun setidaknya hal-hal menyegarkan.

Nah, apa pengalaman dan pemikiranmu tentang pemilu?

DidotKlasta
Mosman Park Perth Australia, Juli 2014

Keterangan.
Asrama : Termasuk wilayah kampung Kalitaman. Berupa satu komplek kecil dikelilingi tembok tinggi yang terdiri dari dua deretan rumah-rumah kecil saling berhadapan. Mungkin dulunya merupakan asrama kecil untuk tentara. Ada juga informasi yang mengatakan bahwa kompleks ini di jaman Belanda adalah markas pasukan kavaleri.
Pring Reketeg Gunung Gamping Gempal : (bahasa jawa) bambu-bambu berderak, gunung gamping runtuh).
PGRI : Persatuan Guru Republik Indonesia.
Marhaen : (istilah politik) rakyat biasa Indonesia. Marhaenisme : ajaran / ideologi Indonesia yang dikembangkan Sukarno dengan mengadopsi Marxisme / Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Membleyer : (bahasa jawa) memain-mainkan gas motor.

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN