PERTARUNGAN-PERTARUNGAN #2 (kenangan terindah)


Europese Lagere School (ELS) pertama, hanya sampai kelas 3. Sekarang
SD Salatiga II. Dulu terkenal dengan sebutan SD Eropis, sekolahanku.
Cukup banyak orang yang berkomentar bahwa potonganku khususnya wajahku selain ada unsur menarik hati atau membuat penasaran, juga ada unsur sangar. Soal menarik hati atau membuat penasaran tak usahlah kubahas karena sudah jelas dan biar demikian adanya, tapi untuk soal kesangaran, aku harus menceritakan sesuatu pada kalian supaya segalanya menjadi jelas.

To

Apa yang kau ketahui tentang lagu Apuse? Ya, sebuah lagu dari sebuah daerah yang kalau jaman Sukarno disebut Irian (Barat) dan katanya Irian adalah singkatan dari : ‘Ikut Republik Indonesia Anti Nederland, kalau jaman Suharto disebut Irian Jaya (mungkin maksudnya neo raja jawa gila kuasa harta jaya di Irian), terus sejak jaman Gus Dur disebut Papua katanya untuk memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap cultural identity and cultural dignity, dan sementara itu kalau kalangan luar negri menyebut West Papua, maksudnya Papua Barat. Berikut ini contoh versi aransemen ngerock era 70an dari Apuse oleh Black Brothers; band Papua yang pernah popiler di Indonesia dan punya pendirian politik pro Papua Merdeka dan tahun 1979 meninggalkan Indonesia. Check it out : http://youtube.com/watch?v=266uqXFuHW4


Begitulah, Apuse adalah salah satu lagu daerah atau lagu nusantara sama dengan O Ina Nikeke, Kampuang Nan Jauh Di Mato, Bubui Bulan, Tanduk Majeng dan lainnya. Menariknya beberapa lagu daerah, entah apa kriterianya, di jaman Suharto dinobatkan secara resmi jadi Lagu Nasional, salah satunya Apuse itu. Jadi ada lagu daerah atau lagu nusantara, ada pula lagu nasional. Namun bukan cuma itu. Ada lagi yang lebih bombastic, namanya Lagu Wajib! Keren kan? Aku belum melalukan riset tapi perasaan hanya Indonesia kita ini yang punya lagu-lagu yang sifatnya wajib. Beda dengan As Tears Go By dari The Rolling Stones yang menjadi lagu wajib bagi remaja yang sedang belajar main gitar di era 80an, menurut situs liriklaguindonesia.net, definisi lagu wajib adalah : lagu-lagu mengenai perjuangan dan nasionalisme bangsa yang wajib untuk dihapalkan oleh pelajar sekolah. Keren juga kan? Contoh-contoh lagu wajib kalian juga tahu; misalnya Garuda Pancasila, Maju Tak Gentar, Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Halo-halo Bandung, Ibu Kita Kartini … 
Nah ngomong-omong soal ibu kita ini … Apa yang ada dalam pikiranmu kalau menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini? Pasti macam-macam, dari emansipasi wanita sampai kartininan dan kebaya, sampai habis gelap terbitlah terang sampai nyonyah Abendanon sampai PKK – Dharma Wanita sampai sebuah buku Pramudya Ananta Toer, sampai ibumu … Sedang kalau aku, sampai memikirkan sebuah nama; untuk kerahasiaan kusingkat dengan To. Begini pasalnya …


Ada anak baru di kelasku! Saat itu aku kelas empat di, seperti biasa, SD EROPIS, salah satu SD paling TOP seSalatiga (sekilas tentang SD EROPIS bisa dibaca di http://didotklasta.blogspot.com.au/2013/03/pertarungan-pertarungan-bagian-1.html). Dia berpenampilan kelimis super rapi. Kulitnya legam jawa melayu tujuhpuluhan, murah senyum, jidatnya agak ‘nonong’. Yang paling spesial rambutnya; ikal tipis belah pinggir mlipit berkilau seakan untuk sekali dandan butuh minyak klentik seperempat botol. Selain itu bangun tubuhnya mantap, walau usia SD tapi sudah mengesankan semacam wibawa keperkasaan. Menariknya dia suka menyanyi, setidaknya dari caranya menyanyi kami menyimpulkan ia secara naïf suka menyanyi. Dia selalu menyanyi dengan penuh ekspresi emosi dan power. Wajahnya akan menjadi seperti terlipat-lipat, urat-urat lehernya akan bertonjolan, mulutnya akan seperti mau menelan seisi kelas dan matanya jadi bulatan kecil yang seakan sedang melesak hilang, semuanya itu mengiringi alunan lengking soprano yang membuat kami bengong bagaikan what the fuck??? Dan yang membuat kami semua makin what the fuck lagi adalah pas dia menyanyi lagu wajib Ibu Kita Kartini itu. Entah kenapa dia bisa merasa seperti Robert Plant vocalist Led Zeppelin padahal masa itu kami enggak tahu siapa dia. Entah kenapa pula ia bisa merasa seperti Arul Power Metal padahal jelas Arul waktu itu juga paling masih SD dan bercita-cita jadi pilot. To selalu dengan pede mengambil nada dasar C = Do di oktav tinggi, dan waktu sampai pada ‘putri’ dalam baris pertama ‘Ibu kita Kartini putri sejati’ … itu adalah benar-benar what the fuck???!!! Lantas kami semua ketawa terpingkal-pingkal bercampur dengan sorakan Huuuuuu!!! Dan si anak baru ini akan pringas-pringis nylekuthis lugu kampung jawa melayu 70an. Tooo … To … Dasar.

Tapi … Baru sekian hari, kami ternyata, khususnya para murid laki-laki di kelas empat, sudah mulai memupuk benih-benih ketidaksukaan pada To, dan aku termasuk 4 atau 5 besar yang paling militan tidak sukanya. Kenapa? Seingatku agak blur, namun ada beberapa kemungkinan besar seperti berikut ini;
  1. Dia terlalu perlente.
  2. Dia tidak nakal.
  3. Dia wibawa perkasa.
  4. Dia disukai temen-temen cewek, termasuk kemungkinan oleh  DPS dan Ed yang dua-duanya seperti telah kusinggung dalam edisi terdahulu, memang aku naksir.
  5. Dia menyanyi dengan seronok mengerikan.
Bagiku pribadi, point 4 kemungkinan besar adalah yang paling mengena, disusul point 3, begitulah … Ada sensitifitas kejantanan ingusan yang terusik, barangkali.

Dari hari ke hari ketidaksukaan kami terhadap To kian menjadi, apalagi setelah tersiar kabar bahwa dia ikut sebuah perguruan silat. Dan setelah kabar itu ternyata benar adanya, maka poin-poin menjengkelkan yang ada pada diri To bagi kami para lelaki cilik yang terusik pun mengempal jadi satu poin saja yaitu; dia sok jago.
Sebetulnya bagiku ada satu poin rahasia yang membuatku termasuk dalam 4 atau 5 besar dalam Gerakan Anti To di kelasku. Begini; seperti telah kuceritakan dalam edisi sebelumnya bahwa  kelas 4 adalah mulainya aku mengalami ketegangan hubungan dengan K, dimana dalam ketegangan ini aku berada dalam posisi inferior (silahkan tengok http://didotklasta.blogspot.com.au/2013/03/pertarungan-pertarungan-bagian-1.html). Nah, ketika hampir semua lelaki di kelas 4 kemudian tidak suka dengan To, termasuk K, ada semacam dorongan bawah sadar bercampur dengan strategi cerdas untuk menegas-negaskan posisiku yang satu front dengan K untuk menimbulkan simpatinya padaku sehingga dia jadi tidak kereng-kereng amat dan aku aman. Bahkan aku jadi membenci To secara berlebihan, supaya K senang. Kalau aku tak salah ingat, di antara 4 atau 5 besar anti To, akhirnya aku adalah yang paling anti seanti-antinya.

Hari demi hari berlalu. Gerakan Anti To semakin meningkat eskalasinya. Setelah melalui sejumlah aksi-aksi provokasi berupa sorakan HUUUU entah saat To menyanyi, mengerjakan perkalian di papan tulis, menjawab pertanyaan Bu Guru W, jalan melewati kami yang lagi nongkrong makan ketan srundeng saat istirahat, saat ia melakukan gaya ginkang waktu pelajaran olah raga, ataupun bahkan ketika ia tidak melakukan sesuatupun kecuali bernapas dan melek, Gerakan Anti To pun meletup menjadi konflik fisik.
Sekali usaha memancing bentrok terbuka selepas sekolah gagal sebab ketika kami sudah mengepungnya, To tiba-tiba begitu saja menggandeng tangan seorang dewasa yang sedang berjalan searah dan bilang kalau dia mau dikeroyok dan maka kami pun melepaskannya dengan geram. Namun akhirnya, dibulan giliran SD Salatiga II masuk siang, di sore hari yang cukup indah, saat kami pulang sekolah, terjadilah. Aku lupa kronologi pemanasannya, kemungkinan kami sudah kasak-kusuk membikin rencana sebelumnya. Yang kuingat kami berjalan pulang lewat ‘depan’, yaitu lewat Jalan Diponegoro. Ini tidak biasa, sebab sehari-harinya banyak dari kami yang lewat ‘belakang’, yaitu lewat Kampung Gladakan. Kami membikin arak-arakan yang cukup panjang. To berjalan di bagian depan, seperti terkucil. Gerakan Anti To mengikuti dengan cemoohan dan tantangan sporadis sok jago. 4 atau 5 darinya paling gelisah bagai buku-buku tangannya sudah bergemeletuk; yang kuingat EL, Hr, K dan tentu saja; aku. Dan dari 4 atau 5 itu aku yang paling kemlinthi, tentang ini aku hakul yakin.
Memasuki area bunderan Salatiga yang menjadi pertemuan Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, Jalan Mbringin dan Jalan Pemuda, arak-arakan makin merapat. Suhu emosi meninggi. Kali ini tak ada jalan keluar bagi To. Ada lapisan depan yang menghalanginya untuk lari, ada lapisan belakang yang merangsek maju. Kami menyeberangi Jalan Mbringin dan memasuki Jalan Pemuda di depan eks Hotel Kaloka. Entah apa pemicunya, tiba-tiba kami pun lari berkejaran memasuki area taman di depan eks Hotel Kaloka yang berbukit-bukit kecil dengan rumput jepang menghampar.
Aku masih mengalbumkannya di benakku … Bagaimana kelebat-kelebat tendangan, pukulan, tangkisan, lompatan, aneka tiruan adegan filem kungfu dan beberapa gerakan tak jelas itu, kian kemari dengan sorakan barisan suporter Gerakan Anti To yang mengelilingi dan ikut berlarian ribut kian-kemari. Terus-terang ilmu pencak silat To lumayan oke punya. Dia memang tak bisa menyerang kami, tapi dia bisa bertahan dari kerubutan kami dengan sangat baik. Atau jangan-jangan dia memang enggan menyerang karena kami cuma anak-anak pusing oleh tantangan pubertas dan bukanlah gerombolan penjahat antek Tuan Tanah Kedawung? Atau mungkin itu semacam kode etiknya sebagai pendekar cilik menghadapi para cepethe? Atau mungkin dia mau menundukkan kami dengan kasih? Atau dia membiarkan kami dikalahkan oleh diri kami sendiri? Sampai akhirnya beberapa orang dewasa menghentikannya. BUBAR!!! Huh … Seingatku kami pulang ramai-ramai dengan dada membusung.

Sejak bentrok di taman eks Hotel Kaloka, situasi di sekolah hampir selalu genting. Kampanye character assassination terhadap To bahkan meluas sampai kelas lain. Anak-anak lelaki kelas V, kelas paling bengal di SD II, pun mengibarkan bendera perang pada To dan bersekutu dengan Gerakan Anti To di kelas IV hingga kemudian pecah lagi benturan fisik, kali ini To berhadapan dengan gangster kelas V Tr dan dua anak buahnya, yang kuingat cuma Tf. Aku masih ingat bagaimana To lagi-lagi sama sekali tak menyerang. Ia hanya menangkis dan menangkis, bahkan membiarkan beberapa kali punggungnya dihajar tendangan Tr … Sejujurnya aku agak iba dan membersit semacam kekaguman tersendiri yang diam-diam, pada To, berkelindan dengan kebencianku yang makin lama makin mengubun-ubun. Apalagi aku ada feeling bahwa To menaruh perasaan khusus pada Ed yang mana aku juga menaruh perasaan khusus lebih dari perasaan khususku pada DPS. Dan feelingku juga mengatakan bahwa tak ada garansi Ed tak akan mengkaitkan perasaan khususnya pada To.

Akhirnya, tibalah hari itu … kami masih di bulan giliran masuk siang, pulang sekolah sore-sore lewat Kampung Gladakan. Tak ada konvoi Gerakan Anti To. Yang ada justru kami jalan bareng-bareng normal; aku, Hr, To, Sh, tapi Sh belok sebelum masjid Damarjati. Kami sejalan sebab rumahku Kalitaman Kampung Baru, Hr tinggal di Kalitaman Ngisoran dan To tinggal di Karangpete, yaitu dusun setelah Kali Gethek dan Pabrik Tahu. Rute selengkapnya sebagai berikut : SD. Eropis – Gladakan – Jalan Mbringin / Setenan – Jalan Damarjati / Krajan – Kalitaman Kampung Baru – Kalitaman Ngisoran – Pabrik Tahu – Kali Gethek – Karangpete. Aku lupa persisnya apa yang terjadi sepanjang jalan dari sekolah, Gladakan, Setenan, Jalan Damarjati – Krajan. Yang sangat tertanam dalam ingatanku, begitu kami masuk kampungku, antara aku dan To sudah berada dalam situasi yang sangat tegang, sementara Hr, bukannya bersekutu denganku malah bertingkah seperti perpaduan antara Sengkuni dan Dorna kekanak-kanakan, memanas-manasi kami berdua. Aku jadi merasa sendirian! Sontak nyaliku kempes. Sejuta semut merayapi tubuh. Sendi-sendiku seperti dilolosi. Tapi secara begitu saja aku ternyata telah menempatkan diri dalam posisi, kalau istilah karate; kumite. To seperti biasa berdiri dengan flamboyant, waspada, namun tak memunculkan getaran agresif, uh dasar memang Pendekar Cilik ... Sedang Hr … Kalau kuliarkan imaji memoriku, dia kira-kira sedang menari-nari karikatural seperti Bagio temannya Kirun sambil ndremimil; “Ndang gelut Ndang Ndangdut … Ndang gelut Ndang Ndangdut …”
Beberapa orang kampungku mulai keluar. Kami saling menentang mata. Emosiku campur aduk. Aku seperti mau kencing sekaligus mau be’ol sekaligus tak ada yang bisa kukencingkan dan kube’olkan. Sebagian semut yang merubung dadaku berubah menjadi jarum tattoo yang merajahkan kata ‘takut’ dalam berbagai bahasa. Sebagian semut yang merubung mataku berubah menjadi membran basah dan hangat. Sebagian semut yang merubung kerongkonganku, menggumpal-gumpal sebagai janin tangisan yang mau mbrojol. Sebagian semut yang merubung tanganku tiba-tiba merenggut batu sekepalan, kulemparkan ke arah To yang hanya satu setengah depa di hadapanku berdiri kukuh bagai mahadewa perkasa setinggi lebih dari 10 meter; LUPUT! Tangisku pun meledak tak karuan, bercampur dengan ratapan cerdik yang intinya kira-kira pernyataan pada dunia bahwa aku adalah korban nan malang. Lantas orang-orang kampung memisahkan kami.
“Ada apa?” tanya Bapak, setelah aku masuk rumah. Masih dengan tangis dan ratapan kuceritakan insiden barusan tentu dengan penekanan bahwa aku benar, To salah. Bapak menenangkan diriku dan memanggil Kakak. “Lihat ini … Adik dibeginikan sama temannya. Kamu sebagai Kakak harus membelanya!” Kakakku seperti biasa diam saja. Bapak membesar-besarkan hatiku. Aku lupa apakah setelah mandi kemudian aku dibelikan bakso Lik Suto 3 mangkok, atau diajak ke Toko Langganan beli mobil-mobilan, atau ke Toko Scorpio cari komik Dagelan Petruk Gareng … Yang jelas kuingat, paginya saat aku bersiap mau berangkat sekolah, Bapak menghampiriku dengan menggenggam rantai bekas anjing kami yang tempo hari mati diracun. “Bawa ini. Kamu pakai nanti kalau berkelahi lagi dengan anak itu,” begitu pesan Bapak sambil memasukkannya ke dalam tas sekolahku.
Akhirul kalam, aku tak pernah menggunakan senjata pusaka pemberian Bapak itu. Sebab pertarunganku dengan To di sore yang dramatis itu adalah yang terakhir. Kenapa berakhir? Lupa. Tapi tak lama kemudian To pindah sekolah. Entah bagaimana nasibnya, semoga kau tidak menjadi penyanyi kawan … Nasibku sendiri adalah KEMBALI menjadi Bintang Kelas dimana saat aku diminta Bu Guru W untuk maju ke depan kelas menerima hadiah, ujung mata kiriku merasa bahwa Ed menatapku dengan berbinar-binar bangga. Selain itu aku juga dinobatkan menjadi siswa paling berpretasi sesekolahan sebab empat tahun berturut-turut menjadi Bintang Kelas. Selebihnya … Aku kembali harus stress memikirkan perseteruanku dengan K. Ibarat kata; lepas dari mulut To, masuk ke mulut K.


DidotKlasta
Fremantle December 1 2013.

Nantikan petualangan berikutnya.
Seri petualangan sebelumnya dapat disimak di :

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN