BAJINGAN, EH, JAGOAN CILIK (kenangan terindah)
Selain melempari rumah orang cina sebelah bengkel-garasi bis
Subur saat rekayasa kerusuhan anti cina, misteri penembakan misterius sebab
preman-preman ngambek terhadap golkar, mengibarkan bendera merah putih dari
kertas minyak menyambut kedatangan jendral jagal presiden suharto meresmikan
pabrik tekstil, nama gubernur propinsi jajahan indonesia timor timur adalah
Arnaldo Dos Reis Araujo dan si hitam manis Sri Rochmatun dari Turusan yang kata
temen-temen adalah kekasih monyetku serta beberapa xrstdgzkygblubblubblubcrotcrotcrot
lainnya, salah satu hal masa kecil lain yang membekas dalam ingatanku adalah
bagaimana kami bermain secara musiman. Kadang anak-anak seluruh kota kecil ini
tiap hari main layang-layang ketika musim layang-layang. Kadang hanya anak-anak
kampungku yang jadi gila bermain monopoli sebab seorang anak yang orang tuanya
adalah salah satu dari sedikit orang tua kelas menengah bawah di kampung kami
dibelikan permainan monopoli, sementara di kampung lain sedang musim ‘gaprakan’
dan di kampung lain lagi bikin
rumah-rumahan di kebon tuan tanah setempat.
Demikianlah, saat itu adalah musim jalan-jalan subuh ke pusat kota bagi banyak orang seantero Salatiga sebab kalau tak keliru sedang bulan puasa. Aku jarang ikut sebab aku bukan islam, aku katulik waktu itu, tapi hari itu aku ingin sekali ikut. Maka malamnya aku tidur di kursi panjang ruang tamu yang persis dekat jendela, dan rumah kami di pinggir gang kampung cukup padat jadi teman-temanku tinggal mengetok jendela untuk membangunkanku.
Setelah menyeberang jalan Pemuda dan melintasi lapangan tenis serta lapangan basket Tamansari, sampailah di kompleks Salatiga Theatre, kompleks sepi dan remang-remang dalam arti sebenarnya jika bioskop sedang tak memutar midnight show. Aku kembali bertanya-tanya sebab teman-teman berhenti sambil bersikap waspada tengok sana-sini. Lantas ada yang mendekati deretan gerobak-gerobak kelontong menempel di sepanjang pagar besi gedung bioskop itu. Aku masih belum ngeh tentang apa yang sedang berlangsung, sampai salah seorang temanku memanggil di dekat sebuah gerobak, yang sudah terbuka, tepatnya sudah berhasil dicongkel oleh temanku itu. Ooo … Jadi ini yang sedang kami kerjakan; membongkar gerobak kelontong, untuk kami gasak isinya.
Demikianlah, saat itu adalah musim jalan-jalan subuh ke pusat kota bagi banyak orang seantero Salatiga sebab kalau tak keliru sedang bulan puasa. Aku jarang ikut sebab aku bukan islam, aku katulik waktu itu, tapi hari itu aku ingin sekali ikut. Maka malamnya aku tidur di kursi panjang ruang tamu yang persis dekat jendela, dan rumah kami di pinggir gang kampung cukup padat jadi teman-temanku tinggal mengetok jendela untuk membangunkanku.
Setelah tidur yang tak tenang, tibalah saat yang
kunanti-nantikan. Tok tok tok pada kaca jendela … Diikuti siulan dengan nada
khas untuk memanggil teman yang tentu tak bisa kugambarkan lewat tulisan. Aku
keluar dan beberapa teman sudah menunggu; Ag, Tp, Hr dan satu dua teman lagi
yang tak kuingat. Tapi yang langsung membuatku bertanya-tanya adalah semacam
alat penjepit panjang dari bambu yang mereka bawa, buat apa? Lantas kami
berjalan menyusur kampung ke arah kota.
Kampungku bernama Kampung Baru, bagian terbaru dan paling
atas dari kampung Kalitaman. Kalau mau ke pusat kota akan melewati Kalitaman
‘lama’, ‘Asrama’ (sebetulnya bagian dari Kalitaman tapi dalam kompleks bangunan
tersendiri, katanya dulu kandang kuda pasukan kavaleri Belanda, isinya keluarga
miskin semua), dan Sekolah Ketrampilan Putri yang isinya mbak-mbak semua.
Setelah menyeberang jalan Pemuda dan melintasi lapangan tenis serta lapangan basket Tamansari, sampailah di kompleks Salatiga Theatre, kompleks sepi dan remang-remang dalam arti sebenarnya jika bioskop sedang tak memutar midnight show. Aku kembali bertanya-tanya sebab teman-teman berhenti sambil bersikap waspada tengok sana-sini. Lantas ada yang mendekati deretan gerobak-gerobak kelontong menempel di sepanjang pagar besi gedung bioskop itu. Aku masih belum ngeh tentang apa yang sedang berlangsung, sampai salah seorang temanku memanggil di dekat sebuah gerobak, yang sudah terbuka, tepatnya sudah berhasil dicongkel oleh temanku itu. Ooo … Jadi ini yang sedang kami kerjakan; membongkar gerobak kelontong, untuk kami gasak isinya.
Aku begitu saja menyesuaikan diri dengan rencana yang tak
kuketahui sebelumnya, dan turut sigap meraup berpak-pak rokok dalam gerobak
sorganya bajingan cilik itu. Kami hanya mengambil rokok saja, aku tak tahu
kenapa, mungkin sekedar biar punya target yang jelas jadi tak menghabiskan
waktu untuk menimbang aneka barang yang bisa kami ambil, maksudnya curi. Selain
itu memang kami sedang dalam masa-masa terpesona pada sensasi kegagahan dan
enjoy-nya rokok.
Luar biasa … sekeliling pinggangku penuh dengan pak-pak
rokok yang kudesalkan di sepanjang garis pinggang celana dan tertutup ujung
baju. Lantas hasil petualangan dini hari itu kami sembunyikan di celah bagian
atas kusen jendela kamar kosong di rumahku untuk kemudian sebagian kami jual ke
warung Mbah Harjo dengan harga yang ditentukan oleh Mbah Harjo (sialan juga) di
perempatan kampung Krajan, sebagian kami rokok secara sembunyi-sembunyi,
misalnya di kebon belakang Gedung Pertemuan Daerah atau sambil nonton filem
kungfu ‘satusan’. Ada aneka macam merek rokok, tapi yang kuingat adalah Beras
Tuton, Sriwedari, Jambore. Rasanya? Aku tak peduli dengan rasa, semua bikin
batuk dan pening tapi gaya. Yah begitulah indahnya masa-masa awal aku mengenal
rokok. Dan seperti sama-sama kita tahu, waktu berlalu.
tunggu petualangan berikutnya
Fremantle January 30 2013
Comments