SUGARMAN; Tentang Musisi Terkenal Yang Tak Tahu Kalau Terkenal
Di suatu hari musim panas subtropis -
tahun 2014 kukira, aku berdiri mematung secara canggung di salah satu arkadia
pusat kota pelabuhan Fremantle sambil menghembuskan asap tembakau lintingan
murah dengan digelayuti rasa senewen oleh kegagalanku untuk pandai berbahasa
Inggris, untuk sukses secara profesi dan keterkenalan, intinya untuk menjadi
diri sendiri. Aku sedang beristirahat dari pekerjaanku membuat cetakan
kerajinan tanah liat di sebuah toko yang menjual aneka kerajinan, barang
eksotik dan krim perawatan kulit organik milik seorang imigran dari eks
Cekoslovakia yang bapaknya berteman baik dengan Vaclav Havel, demi upah barang
15 dolar per jam.
Tak banyak orang lalu-lalang. Satu dua
lewat secara bergegas individualistik. Bau dupa yang menyelinap di tengah
realita negeri industri maju membikin suasana jadi agak surealis. Dari dalam
toko yang sekaligus bengkel kerja terdengar alunan musik yang belum pernah
kudengar sebelumnya dan langsung merenggut telingaku. Sambil terus
mengisap-hembuskan Countryman yang kubawa berbungkus-bungkus dari Indonesia
ini, kepalaku mulai mengangguk-angguk mengikuti irama musik. “Sugarman … Won’t
you hurry … Cause I’m tired of these scenes. For a blue coin … Won’t you bring
back … All those colors of my dream.”
Ia keluar menemaniku.
“Cool music,” kataku.
“You like it?” tanyanya.
“Yes. What song is this? And who is
the musician?”
“Sugarman.”
Lantas perempuan seniman kerajinan
berasal dari Spanyol dengan perkawinan yang berantakan dan membayarku 15 dolar
sejam ini pun bercerita tentang seorang musisi terkenal yang tak tahu bahwa dia
terkenal. Cerita singkatnya ini langsung membuatku terpana, dan sejak itu aku
pun mulai mencari tahu lebih jauh mengenai musisi Sugarman ini, sampai akhirnya
aku menemukan sebuah filem dokumenter berjudul ‘Searching for Sugarman’.
Alkisah, pada tahun 1970 sebuah album
bertajuk ‘Cold Fact’ oleh seorang musisi bernama ‘Sixto’ Rodriguez dirilis di
Amerika Serikat melalui perusahaan rekaman Sussex Record, disusul dengan album
‘Coming From Reality’ oleh musisi yang sama pada tahun berikutnya. Sayangnya,
entah kenapa meski musikalitasnya kuat, dua album ini gagal total. Rodriguez
diputus kontraknya saat mengerjakan album ketiga, bahkan Sussex Record kemudian
bangkrut. Salah satu spekulasi mengatakan bahwa ‘naiknya’ Bob Dylan menjadi
faktor penting kegagalan ini; industri musik dan publik musik Amerika Serikat
saat itu lebih nyaman dengan Bob Dylan yang kulit putih dan bukan ‘kasta Sudra’
ketimbang seorang jalanan berdarah Mexico. Rodriguez adalah anak ketujuh dari
pasangan kelas pekerja imigran dari Mexico.
‘Cold Fact’ dan ‘Coming From Reality’
sebenarnya cukup sukses di Australia dan setelah 9 tahun hampir frustasi, akhirnya
ada promotor yang membawa Rodriguez untuk melakukan tour besar keliling
Australia di tahun 1979 dan 1981. Namun begitu, peluang di Australia ini ternyata
tak mempengaruhi hidupnya baik secara keuangan maupun secara karir musik –
nampaknya kian lama kian seperti sebuah situasi buntu yang kemudian cukup
menjadi alasan baginya untuk berhenti, mundur total dari dunia musik. Lantas
Rodriguez membeli murah sebuah rumah bobrok tak terurus di Detroit seharga 50
dolar dan banting setir bekerja sebagai buruh bongkar bangunan dengan
penghasilan yang selalu mepet.
Selain bakat musiknya baik dalam
membuat komposisi maupun menulis lirik, yang hebat dari Rodriguez adalah sikap
hidupnya. Dalam kesederhanaan hidup dan kerja kerasnya sebagai pekerja
bangunan, Rodriguez yang memiliki kesadaran sosial tinggi selalu berusaha untuk
melakukan sesuatu bagi lingkungannya, termasuk mencoba terjun dalam politik
untuk memperbaiki taraf hidup komunitas-komunitas di daerah pemukiman buruh.
Cerita menjadi sangat menarik ketika
nun jauh di Afrika Selatan sana tersebutlah seorang pemilik toko musik kecil
yang demikian penasaran bahkan menjadi terobsesi dengan seorang musisi
misterius yang luar biasa terkenal di negri itu. Musisi ini adalah … Sixto Rodriguez!
Rupanya tanpa sepengetahuan si musisi, album ‘Cold Fact’ dan ‘Coming From
Reality’ didistribusikan di Afrika Selatan, dan ternyata mendapat sambutan luar
biasa – konon lebih laris bahkan dibanding penjualan album-album Elvis Presley.
Musik Rodriguez yang bergaya balada dengan lirik-lirik realis orang kebanyakan
dan penuh dengan satire, kepahitan, ketidakmapanan, menjadi sekaligus ‘dopping’
pendorong dan ‘wiski’ pelampiasan kemuakan generasi muda terhadap keadaan yang
dibelenggu oleh politik ‘aparheid’ yang dijalankan pemerintahan kulit putih
Afrika Selatan waktu itu, yang selain rasialis juga otoriter.
Namun karena album Rodriguez yang
beredar di Afrika Selatan tidak menyertakan informasi yang cukup, meskipun
musisi ini sangat populer, tak banyak yang diketahui mengenainya, dan maka
Rodriguez pun menjadi idol misterius. Sedemikian misterius sampai sejumlah
rumor berhembus mengenainya. Salah satunya yang paling beredar luas adalah;
Rodriguez sebenarnya telah mati, ia menembak kepalanya sendiri dengan pistol
menyusul usainya lagu terakhir penutup konser.
Bau sedap pada saatnya akan tercium
juga. Misteri Rodriguez akhirnya tersingkap ketika di akhir 90an anak
perempuannya di Amerika Serikat secara tak sengaja menemukan sebuah situs
internet yang didedikasikan untuk melacak jati diri Sang Sugarman, situs ini dikelola
oleh pemilik toko musik kecil di Afrika Selatan itu. Anak Rodriguez pun
menghubungi si pemilik toko musik, dan dari komunikasi di antara mereka
akhirnya muncul ide untuk menghadirkan Rodriguez di Afrika Selatan lewat sebuah
konser. Dapat ditebak, konser yang dijubeli penggemar Rodriguez yang sudah mereka
anggap bagaikan mitos ini pun menjadi sebuah pertemuan yang sangat intens,
sangat emosional, sangat orgasmik secara spiritual baik bagi warga Afrika
Selatan maupun bagi Rodriguez. Penggemarnya belum pernah melihat pujaannya,
bahkan tak tahu apapun mengenai dirinya, dan Rodriguez yang orang biasa saja
tak pernah tahu sebelumnya bahwa dia adalah Super Star yang digemari rakyat
seantero negeri!
Sejak konser pertamanya itu, secara
periodik Rodriguez tampil di Afrika Selatan, namun sebatas itu saja. Kisah
dramatis musisi terkenal yang tak tahu kalau terkenal ini baru meledak secara
internasional ketika seorang pembuat filem dokumenter memfilemkannya, dan filem
ini menyabet Academy Award untuk filem dokumenter terbaik pada tahun 2013.
Sejak itu Rodriguez banyak tampil dimana-mana baik dalam pertunjukan musik
maupun wawancara, begitu juga di media-media tulis. Namun dengan lonjakan
popularitas ini Rodriguez tetap menjadi orang biasa yang sederhana, rendah
hati, peka dan selalu penuh dengan kepedulian sosial. Sebelum meroketpun, ketika
ia diundang dalam acara malam pemberian penghargaan Academi Award, Rodriguez
memutuskan tidak datang dengan alasan; acara itu spesial untuk si pembuat filem
Searching For Sugarman, dia tidak ingin kehadirannya membuyarkan fokus
perhatian.
Dikabarkan bahwa Sang Sugarman yang
telah menjadi orang terkenal secara internasional tetap hidup secara bersahaja,
bahkan nyaris asketik. Dia tak begitu menikmati uang yang didapat dari lonjakan
karirnya, sebagian besar habis ia bagi-bagikan ke orang-orang terdekatnya. Kini
diusia yang sudah 76 tahun Sixto Rodriguez tak lagi penuh kepahitan, namun
tetap memiliki sikap rendah hati, peduli dengan sesama dan kehidupan, dan
percaya dengan kebaikan dan kekuatan orang biasa, seperti yang biasa ia teriakkan
dalam konser-konsernya, “People Power!”
Sugarman … Met a false friend … On a
lonely dusty road.
Lost my heart … When I found it … It
had turned to dead black coal.
Aku hanya sebentar bekerja membuat
cetakan tanah liat. Bersama keluargaku aku tinggal berbagi kontrak rumah di
jalan K dengan seorang perempuan guru seniman teater setengah gila yang
memberiku harapan palsu bahwa aku akan mendapat pekerjaan di sebuah SMU
terkenal untuk mengerjakan proyek Teater Kaum Tertindas Augusto Boals dan tidak
membayarku untuk satu sessi yang sudah kukerjakan. Dia berteman baik dengan
imigran dari eks Cekoslovakia pemilik toko di arkadia Fremantle yang menganggap
Vaclav Havel pamannya sendiri itu. Pemilik toko ini yang memperkenalkanku
dengan seniman kerajinan Spanyol yang pernikahannya berantakan dan membayarku
15 dolar sejam.
Selisih satu rumah di sebelah kanan,
tinggal kenalan baru kami; seorang gitaris jazz bagus berdarah Irlandia dan
sedang dalam proses kehilangan pekerjaannya di sebuah organisasi budaya karena
para boss tak tertarik dengan kebudayaan. Ternyata istrinya teman sekolah
istriku. Dan suatu hari saat mereka bertengkar karena tekanan keuangan,
istrinya melompat-lompat di ruang makan secara telanjang.
Persis di sebelah kiri, tinggal
pasangan Kanada – Amerika Serikat. Mereka cukup mapan secara ekonomi, tetapi
nampaknya juga cukup rutin bertengkar karena Si Amerika adalah perempuan yang
mandiri, keras dan agak cerewet dalam hal pengasuhan anak. Si Kanada dulu
bermain band hardcore. Jika pas gilirannya mengasuh anak mereka dan anaknya
membuatnya setress, kadang ia mengetuk pintu rumah untuk minta selinting dua
rokok. Kukeluarkan gitar dan kumainkan sepotong blues. Dia ternganga, baru tahu
kalau permainan blues-ku lumayan juga. Kuulungkan gitar padanya.
“Kau tahu Rodriguez? Sixto Rodriguez?”
“Tentu saja. Sugarman … You’re the
answer … That make my questions dissaper. Sugarman … Cause I’m weary … Of those
double games I hear.”
“Yeah … Tapi lagu favoritku ‘Cause’.”
Dia mengangguk, lantas menggenjreng
gitar dan mulai melolong.
Cause I lost my job … Two weeks before
Christmas.
And I talked to Jesus at the sewer …
And the Pope said it was none of his God-damned business.
Sixto Rodriguez
akhirnya menemukan apa yang ia cari lewat jalan musiknya; yaitu alasan untuk
terus bermusik. Sementara itu, Malik Benjelloul; sutradara Searching For
Sugarman meninggal secara mengejutkan pada hari yang sibuk 13 Mei 2014. Dia
melemparkan dirinya ke arah kereta api yang datang di stasiun kota Stockholm.
didotKlasta
Salatiga, 26 April 2019
didotKlasta
Salatiga, 26 April 2019
Comments