SEBATANG POHON [pengantar pameran seni rupa]

Tulisan pengantar untuk pameran senirupa dalam Festival Mata Air 4 ½ 2010.

Syahdan ada lomba naskah drama bertema ‘KDRT’. Ada lagi buku antologi puisi ‘lumpur Lapindo’. Ada pula album campur sari koplo all stars ‘Contrenglah Si Gembur!’. Dan ini kali ada pameran seni rupa ‘lingkungan hidup’ dalam Festival Mata Air 4 ½ di Kampung Seni Lerep Ungaran yang diselenggarakan oleh komunitas aktifis pelestarian lingkungan Salatiga, Tanam Untuk Kehidupan.
Ulasan kuratorial tekhnis merupa-ria bukan kompetensi saya, maka tulisan ini sekedar corat-coret alakadarnya yang mencoba mengantar apresiasi publik lewat sorotan fenomena ‘karya (fiksi) dalam rangka’, khususnya bidang seni rupa dan hubungannya dengan fakta dari issu yang di angkat.

Pernah dalam sebuah diskusi sekenanya muncul sodoran (yang masih perlu diuji validitasnya); “Visualisasi masalah lingkungan yang cenderung menampilkan obyek/tema seputar pohon” Debat pun terjadi. Sini berpendapat bahwa wilayah lingkungan hidup sangat luas dan kompleks baik realitas maupun interpretasinya, maka karya bertema lingkungan hidup mestinya juga tidak ‘itu-itu saja’. Sana berpendapat persoalan lingkungan adalah persoalan degradasi kondisi alam dan pohon adalah penanda paling signifikan dari alam, selain itu pilihan obyek/tema seputar pohon juga sangat komunikatif bagi apresiator ‘awam’.

Dua pihak sama-sama argumentatif, namun jika diberi gong kearifan “Semua sah-sah sajaaaaa …” itu tak menarik, sebab agaknya 50% cuma basa-basi penyaman suasana, 45% lagi ucapan tak jelas maksudnya, sisanya tanda malas belaka. Tapi kesenian juga sebaiknya menolak apapun (penjara) rejim kreatifitas, termasuk rejim yang menyatakan bahwa kesenian (baca : karya seni) tak bisa dipertanyakan-dikritisi. Intinya kira-kira seniman punya potensi untuk berkreasi apa saja sekaligus apresiator punya potensi untuk mempersepsi apa saja, dan saling tidak bisa mendikte.

Obrolan ‘gambar pohon’ hanya salah satu pendekatan untuk merujuk pada dua hal esensial terkait dengan karya dan apa yang direpresentasikannya. Pertama, seperti halnya capaian ekstrinsik dari karya seni sangat ditentukan oleh penguasaan tekhnis dan seberapa kreatif penyiasatannya, maka capaian intrinsik sangat ditentukan oleh penguasaan tema dan seberapa kreatif menyikapinya; demikianlah keintegralan dua sisi dari sekeping karya. Kedua, karya menjadi refleksi seberapa kreatif kita memahami dan merespon dunia nyata secara konkret. Dalam soal lingkungan hidup maka lomba Adipura yang bersifat mobilisasi massal, ‘top-down’ dan berorientasi prestis kepala daerah misalnya, tentu bukan contoh pemahaman dan respon kreatif.
Sialnya ternyata kreatif saja belum cukup. Tanpa daya kritis akan membuat kita misalnya secara simplistik menuding pembalak liar jelata tanpa mempertanyakan kebijakan HPH. Atau bergrafiti ‘save the water’ tanpa menggugat privatisasi air. Atau meratapi pemanasan global namun mengamini watak dekaden kapitalisme. Mungkin menarik untuk mempertimbangkan tesis ‘ekologi sosial’ : eksploitasi manusia terhadap alam (lingkungan hidup) disebabkan oleh eksploitasi manusia terhadap manusia.

Karya dan kenyataan. Dua aspek apresiasi yang sama-sama penting, terlebih ketika datang di pameran ‘dalam rangka’ semacam ini, sebab selain piknik fiksi visual, publik juga diharapkan untuk setidaknya melihat kembali secara introspektif gebalau kehidupan yang direfleksikannya, syukur-syukur tergugah kesadarannya dan bertindak. Maka betapa mengesankan karya yang relatif berskill, kreatif, cerdas dan kritis itu. Sementara karya klise seniman klise lumayan tidak menggairahkan. Bagaimana karya-karya dalam pameran ini? Tergantung saudara masing-masing yang nontonlah. Merdeka!

Didot Klasta
Salatiga, 19 September 2010

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN