DARI BOB DYLAN, TENTANG DR. KING, GANDHI, YESUS HINGGA JUTAAN TAK BERNAMA

Berikut ini renungan ringan saya yang jadi pengiring pameran seri ketiga dari projek seni saya mengenai pembasmian komunis Indonesia; THEY KILLED THEM di Moores Building Contemporary Art Gallery, Fremantle Western Australia Januari - Februari 2015. Poto karya silahkan ditengok di http://www.didotklasta.com/art-projects-on-65/

Salah satu elemen karya instalasi They Killed Them, didot klasta
They Killed Them adalah karya seri ketiga dari Project 65, yaitu projek seni saya tentang pembasmian kaum komunis dan penghancuran gerakan politik kerakyatan Indonesia di tahun 1965. Sebagian orang yang prihatin menyebut peristiwa ini Tragedi 65. Sebagian yang lain meyakini bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi itu adalah konsekuensi dari kewajiban suci membela tuhan dari ancaman kaum ateis penuh dosa. Sebagian yang lain lagi dengan bangga mengesahkan cerita tentang tindakan patriotik demi keselamatan dan kejayaan Negara. Sebagian besar orang termasuk masyarakat internasional menganggap bahwa aib kemanusiaan ini tak pernah terjadi. Dan segelintir elit politik ekonomi global menyatakan dengan antusias, “Perubahan kecil ini menguntungkan kita”.

Kotak Wasiat adalah karya seri pertama saya yang membidik aspek sejarah dari Tragedi 65. Sejarah adalah cermin kolektif untuk melihat diri kita sebagai bangsa. Ketika satu cermin sangat vital (sebab peristiwa ini merubah total drastis fundamental Indonesia) ini gelap, maka kita tak mengenali siapa kita sesungguhnya. Kita tak tahu dari mana berasal dan hendak kemana menuju. Karya instalasi ini dipamerkan di Tembi Rumah Budaya, Jogjakarta Indonesia pada tahun 2012.


Karya seri kedua mengolah aspek-aspek korban dan berbagai versi dari peristiwa Tragedi 65. Merepresentasikan keluasan dan kompleksitas pengertian mengenai ‘korban’ serta menginvestigasi berbagai versi fakta, sudut pandang, narasi terkait dengan Tragedi 65, dan sekaligus memberikan informasi-informasi dasar-umum kepada publik. ‘Victims & Versions’ saya kembangkan dan pamerkan dalam program residensi seniman di Perth Institute of Contemporary Arts, Australia.

Pada seri ketiga ini, saya mencoba mengeksplorasi aspek pelaku dari pembasmian komunisme Indonesia yang episode sebrutal-brutalnya terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan dalam skala relatif lebih kecil serta bentuk lebih halus, hingga hari ini pembasmian itu sebenarnya terus terjadi. Menelusuri tindakan kekejamannya, motif-motifnya. Bisa jadi seri ketiga ini juga menjadi semacam wahana pencarian introspektif ke dasar ceruk-ceruk hasrat gelap kita, saya, anda, teman-teman, sanak family, entah siapa … kita semua manusia, sebab para pelaku kekejian ini bukanlah alien yang hanya hidup selama sekitar dua jam dalam filem fiksi triler holiwut dengan kekerasan-kekerasan fantasianya, melainkan manusia-manusia sejarah seperti kita, dengan kekejian nyata yang menumpahkan darah nyata dari manusia-manusia korban yang nyata. Juga memiliki potensi kebaikan yang kuranglebih sama dengan kita, yang dalam situasi berbeda mungkin mereka adalah orang-orang baik seperti kita, jika kita adalah orang baik.

Dipagi buta awal bulan Oktober 1965, sekelompok tentara misterius mengambil beberapa jendral angkatan darat dari rumah-rumah mereka di ibukota Jakarta, membunuhnya dan lantas mengumumkan sebuah Dewan Revolusi. Berdasar siaran radio pemerintah, kelompok tentara yang menamakan dirinya Gerakan 30 September ini menyatakan bahwa tujuan mereka untuk melindungi haluan revolusioner negara dan keselamatan presiden Sukarno dari ancaman kudeta yang akan dilancarkan oleh sejumlah jendral sayap kanan angkatan darat. Selain itu juga sebagai tindakan koreksi internal dalam tubuh angkatan darat terkait dengan perilaku korup petinggi-petingginya yang mereka sebut kolaborator imperialis, yang hidup makmur di tengah kemelaratan para prajurit.

Komandan Komando Cadangan Strategis, Mayor Jendral Suharto yang tidak termasuk dalam ‘daftar target penculikan’ segera mengambil inisiatif untuk menangani situasi. Reaksinya yang pertama dan utama adalah menyalahkan Partai Komunis Indonesia sebagai dalang dari Gerakan 30 September, disusul dengan distribusi fitnah dan propaganda hitam secara massif bahwa komunis adalah biadab tak bermoral dan melancarkan pemberontakan khianat terhadap negara. Kemudian Suharto melancarkan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban besar-besaran yang didesain secara canggih untuk menghabisi kaum komunis sampai akar-akarnya di seantero wilayah Indonesia dan memastikan komunisme tak akan bangkit lagi di masa mendatang.

Pada waktu itu PKI adalah partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Sovyet dan RRC. Untuk menghancurkan gerakan komunis Indonesia secara total dibutuhkan sebuah operasi genosida ideologi yang tak hanya melibatkan militer namun juga massa politik sipil anti komunis dengan milisia-milisianya. Genosida ini sedemikian ekstensif dan eksesif sehingga sejumlah sumber menyebutnya sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan paling gila-gilaan di abad 20, sesudah holokaus Nazi.

Apa yang terjadi menyusul musim perburuan manusia ini adalah perubahan total drastis fundamental Indonesia. Sukarno; presiden nasionalis populis yang merupakan salah satu bapak pendiri Republik Indonesia Merdeka ’45, dan sejak akhir ‘60an cenderung berseiring dengan politik revolusioner komunis kemudian dijungkalkan melalui rekayasa manipulasi konstitusional dengan legitimasi publik dari demonstrasi mahasiswa anti Sukarno anti komunis yang berkolaborasi dengan angkatan darat. Suharto naik tahta sebagai presiden diktator dan membangun rejim militeristik Orde Baru dengan haluan politik ekonomi yang berbeda 180% dengan rejim sebelumnya. PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, termasuk pelarangan paham komunisme, ilmu marxisme dan varian-variannya. Dua juta orang dihabisi dengan tuduhan komunis, ratusan ribu dipenjara dan dijadikan warga negara kelas dua. Itu semua tak lain demi kekuasaan dan dalam rangka pelaksanaan pembangunan negri berkembang berdasar skema liberal Barat yang melayani pemodal asing dan elit domestik secara mengorbankan mayoritas rakyat biasa dan lingkungan hidup.

Adakah kekejian yang tak terbayang dalam sebuah pembantaian massal dan pemberangusan gagasan? Kita sangat tahu bahwa menurut tuhan kekejian sudah membakar hati dan menumpahkan darah semenjak bumi hanya dihuni empat orang. Perang Salib, kamp konsentrasi, Jack The Ripper, pesuruh menyembelih pasangan tua juragan tembakau di kota masa kecilku, inkuisisi, Gubernur Jendral Daendels membangun jalan raya eksploitasi kolonial Hindia Belanda dengan perbudakan yang membunuh pribumi Jawa bergelatakan sepanjang Anyer – Panarukan, temanku suka meremukkan kepala kucing dengan batu, Emma gadis Arab teman sekelas itu kuhajar punggungnya sampai menangis, Bapak membuatkanku senjata dari rantai anjing untuk kubawa sekolah, karena minta 2000 perak tak dikasih gentho Kamto mengancam Bapak nasibnya akan seperti Rojikun yang tewas di atas dipan tercacah-cacah … Kita sangat tahu tentang kekejaman dan kejahatan. Kita hanya kadang lupa atau melupakan. Atau ini adalah hal-hal di luar diskusi, sebab orang baik membicarakan hal-hal baik. Saya berpikir bahwa sejumlah kekejaman dan kejahatan mungkin lebih baik jika dibiarkan berlalu, sebab sudah tertuntaskan, namun lebih banyak lagi yang justru harus terus-menerus dikemukakan sebab belum selesai urusannya. Apalagi kekejaman dari kejahatan atas kemanusiaan yang secara langsung menyangkut jutaan manusia dan secara sistemik-struktural menyangkut dua ratus juta lebih manusia Indonesia masa kini. Yang justru dinyatakan sebagai kebaikan, dan para pelakunya tak harus bertanggungjawab tapi justru dipahlawankan. Yang hasil-hasilnya diamini masyarakat secara hipokrit.

Selalu saja saya merenung-renung … Kenapa mereka bisa jadi demikian kejam dan jahat? Kenapa mereka membunuhi jutaan komunis itu? Kenapa penindasan itu bahkan masih berlangsung hingga hari ini? Bukankah reformasi agraria itu bagus? Juga anti poligami, melawan neo kolonialisme imperialisme, pemberantasan buta hurup, menciptakan karya-karya seni budaya yang dahsyat, rakyat jelata berpolitik, berantas korupsi, lawan lintah darat … Kemudian saya teringat sebuah lagu Kris Kristofferson yang dikover oleh Bob Dylan; ‘They Killed Him’. Tentang Martin Luther King, Mohandas Gandhi dan Jesus Christ, yang dibunuh justru sebab melakukan hal baik. Demikianlah segelap-gelapnya hasrat gelap; yang melihat kebaikan sebagai ancaman. Demikianlah sejahat-jahatnya kejahatan; yang membunuh kebaikan.


DidotKlasta
Fremantle Western Australia, Januari 2015

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN