DIGDO PERGI KE JOGJA (tulisan pengantar pameran)

HOREEE!!! Lama tak jumpa, tahu-tahu Digdo bertunggal ria! Dulu kalau mampir dan melihat lukisan berjubel di rumah sempit itu aku sering mendorongnya untuk berpameran tunggal. Setidaknya memasang ‘Galeri Kontemporer The Digdos’ di depan rumah pas berjejer dengan ‘terima servis elektronik’ kakaknya. Dia cuma senyum ogah-ogahan berkaos singlet khusyuk menghitung hasil jualan telor sehari itu yang harus langsung disetor ke juragannya. Dan pembicaraan pun berganti gosip seputar senirupa lokal atau sok nyambung dengan gelegar senirupa nasional. Atau malah tak dinyana tetangga yang problem datang membawa anggur kolesom dan kamipun menggombalkan hal-hal lebih konyol lagi ditemani makanan kecil yang disuguhkan ibunya.
Aku kenal Digdo tahun 2008, ketika empat perupa Salatiga mengajakku membikin gebrakan di Surakarta. Bukan gebrakan pada dunia senirupa, tapi tepatnya tendangan di pantat kami sendiri untuk keluar sarang. Satu diantaranya ya Digdo ini. Sejak itu kami jadi berteman, apalagi dia suka pinjam hendikemku saat dapat order nyoting acara kawinan.
Kemudian muncul di kota kecil ini seorang pendekar Ancol. Digdo rutin memasok telor ke warung kelontongnya. “Ada pelukis baru pindah. Top!” lapornya. Pertemuan kami berujung pada rencana pameran trio menggebrak, sasaran : Jogjakarta. Ini sekitar tahun 2010.
Setelah mengirim proposal ke satu ruang pamer berbobot, memplipirkan dua keping cd karya pada dua koneksi yang berjanji akan mengkoneksikan ke tempat-tempat berbobot lainnya, rencana gebrakan ini tiada terasa melempem begitu saja. Warung dan lukisan Si Ancol kurang prospek lantas kembali ke Ancol. Aku dibawa angin sampai negri orang. Digdo tetap menekuni telor, melukis, nyoting kawinan, mungkin memimpikan internet murah berkecepatan tinggi plus membayangkan video kawinannya sendiri kelak kemudian hari, di Salatiga yang sama. Demikianlah waktu berlalu dalam status-status fesbuk … Dan tahu-tahu Imron Pradigdo berpameran tunggal. Di Jogja lagi!


Di atas kutulis ‘Di Jogja lagi!’ sebab frasa bertanda pentungan ini bisa jadi sangat penting. Ini tentang sensasi ketegangan memberanikan diri seperti yang dicurhatkan Digdo padaku. Gejolak yang dugaanku agak tipikal dialami pelukis kota kecil yang merasa medioker dan akan pameran di kota besar dalam arti pusat kesenian seperti Jogja. Seperti jiwa-ragamu menyusut jadi kecil sekali dalam kepungan raksasa-raksasa perkasa; grogi. Bahkan mungkin sudah menyusut masih tambah ngglesot. Aku ingat waktu kami mlipir ke seorang koneksi di Jogja dulu, Digdo membawa sebungkus jisamsu yang ditinggalnya pas pamit. Persis kalau aku sowan Mbah Muh; orang sakti di lereng Merbabu. Apalagi kini dia sendiri, dan baru pertamakalinya. Ini bukan sembarangan. Memompa kepercayaan diri jelas tak segampang memompa kepala untuk berbesar kepala.
Mungkin kenyataannya tidaklah sedramatis itu, namun relatif demikianlah fenomena kota besar di mata penduduk kota kecil sepanjang pengamatanku. Dalam hal ini kota besar pusat kesenian Jogjakarta di mata seniman kota kecil Salatiga. Para ‘digdo’ memahami kesenian Jogjakarta (dan sejenisnya) dengan keberjarakan dan lewat representasi-representasinya yang merupakan campuran antara fakta dan mitos. Representasi seniman raksasa, galeri raksasa, lembaga seni raksasa, kritikus raksasa, publik seni yang terbiasa dengan hal-hal seni raksasa, juga jaringan seni lokal, nasional, regional, global nan tak terjangkau kompleksitas dan kecanggihannya.  Tentu memang Jogja adalah pusat serta barometer perkembangan senirupa yang menggaung dunia, namun adalah mitos bahwa maka Jogja adalah tempat angker penuh hakim estetika-artistika dingin menghukumi karya Digdo, atau merupakan tempat pergumulan senirupa atas angin eksklusif semata dimana Digdo cuma debu tak bermakna dan tak pantas hadir. Tentu serakan ‘biasa-biasa saja’ juga menjadi bagian dari kenyataan senirupa Jogja yang penduduknya juga manusia. Begitulah ketegangan hubungan ‘besar’ dan ‘kecil’. Dan kini Digdo tak cuma sedang berusaha mengatasi tekanan ini, ingin tak ingin dia juga sedang memposisikan kesenimanannya di kota besar. Siapa tahu dia bukan ‘biasa-biasa saja’. Amin.

Aku masih ingat kali pertama main ke rumahnya, dia menunjukkan karya partisipasiku dalam pameran bersama perupa Salatiga beberapa waktu sebelumnya yang tidak kuurus. “Nich punyamu. Kurawat lho … Rutin kubersihkan dari debu.” Kukira ini hal pertama yang membuatku terkesan dengannya. Semacam pesan ‘hormati dan sayangi karyamu’. Kemudian aku kagum dengan produktivitasnya, baik dalam arti banyak berkarya, kecepatan menyelesaikan sebuah karya dan irama kreatif yang cukup stabil. Produktivitas ini sudah menjadi kualitas penting dalam proses berkesenian Digdo ketika untuk mencapainya harus dia perjuangkan di tengah keharusan rutin dari pagi sampai sore menjaga kios telor di Pasar mBlauran seperokokan dari rumahnya, membantu ibunya mengurus rumah, nyoting-ngedit video kawinan, jadi Oom teladan, jadi makhluk sosial, ibadah, ini-itu kerepotan hidup orang biasa … Dan perjuangan produktivitas ini menjadi lebih tidak mudah lagi sebab menurut penilaianku Digdo berkesenian nyaris tanpa turbo ambisi-kompetisi entah demi reputasi, entah demi ekonomi, entah demi dua-duanya. Atau mungkin justru keminiman ambisi ini malah melancarkan produktivitas (dan kreatifitas)? Sebab dia bisa berkarya dengan cukup merdeka, tanpa pretensi serta tak harus pusing untuk berlekuk-liku taktik-strategi? Dan justru mencapai level minim ambisi itulah yang sangat berat untuk diperjuangkan, jika kau menginginkannya?
Daya tarik Digdo berikutnya adalah ide-ide karyanya yang kaya, renyah, sering nyleneh dan hampir tidak pernah berat di kepalaku. Tak sedikit yang konyol, sekonyol gambarnya. Kubayangkan di malam sunyi sambil nonton berita atau sepakbola di ruang tamu rumahnya yang juga sekaligus studionya, Digdo makan tempe goreng sisa lauk hari itu dan cling! Lantas berpikir tentang kasih Ibu kepada Beta dan jadilah ‘Ibu Menggoreng Tempe’. Suatu malam yang lain cling! Dia diingatkan oleh tuhan bahwa pemasukannya tidak tergantung pada juragan tapi tergantung pada ayam dan dia perlu menggambar ayam, bukan wajah juragannya. Atau mungkin di sebuah tanggal merah rileks cling! Di kepalanya malah ada rombongan piknik naik bis mau masuk jurang seperti dalam ‘Touring Club’. Digdo seakan menangkapi saja baik seliweran realitas maupun fantasi dan melumatkannya menjadi satu lewat pengembangan naratif yang seakan tanpa tendensi tertentu. 
Keempat, aku betah menikmati karya-karya Digdo tak hanya sebab penasaran dengan apa yang terjadi dalam pikiran, perasaan dan kejiwaannya dibalik ide-ide tampak yang menurutku otentik itu, mengingat dia adalah orang yang tak banyak bicara baik tentang dirinya maupun hal-hal diluar dirinya. Karya-karya Digdo tambah mengasyikkan sebab tindakan melukiskan ide-idenya tak hanya perkara eksekusi, tapi juga kelanjutan dari proses pengembangan ide di kepala, ada yang mengalir, bahkan meracau. Demikianlah menurutku benang merah dalam karya-karyanya, yaitu sebuah proses penciptaan yang mengalir mengikuti arus kesadaran untuk kemudian berhenti, selesai secara benar-benar selesai. Dan untuk membawakan pola kreatifnya ini Digdo memiliki tehnik memadai yang nampak dari hasil jadi karya-karyanya yang keseluruhannya relatif dalam kontrol kemampuannya. Di sisi lain kecenderungan kreatifnya juga dengan sendirinya mengembangkan tehniknya menuju ke ciri tertentu; nuansa serba ringan, fleksibel namun juga mantab baik warna, garis maupun sapuan. Tidak menggelegak namun tetap mensinyalkan gejolak dunia dalam yang mengundang kita untuk melongok. Ya, Digdo jelas punya gaya. Dan gaya yang unik lagi menyenangkan.
Mosok semuanya tentang Mas Digdo hanya keren dan keren saja? Ya tidak tho ya. Ada hal-hal yang aku kurang puas. Misalnya, sudah lama aku usul supaya dia mencoba akrilik, ‘Pasti lebih asyik lagi!” petuahku sok pasti. Tapi hingga detik ini dia tidak melaksanakan petuahku, bayangkan. Aku juga ada kurang puasnya kalau mengikuti perkembangan karyanya dari tahun 2005 hingga 2015 ini. Proses sepuluh tahun, namun aku tak terlalu melihat ada evolusi kreatif disitu. Kesannya tidak terlalu beranjak. Untung apa yang dia punya sepuluh tahunan ini mengasyikkan, jadi aku tidak bosan. Gemas saja. Penasaran pada potensi-potensi karyanya yang bisa dieksplorasi, dinaikkan capaiannya, dan seperti apa kira-kira jadinya.

Seperti Jogja, Salatiga punya nasi kucing, mall, mart, polusi, korupsi politik ekonomi, ketidakadilan sosial, universitas, preman, orang pandai, orang pandir, ATM … Sama. Diluar itu Salatiga juga punya jagad senirupanya sendiri. Ada Wahana Seni Rupa Salatiga (Wasesa). Gedung Pertemuan Daerah itu adalah tempat andalan untuk acara apa saja termasuk pameran bersama. Di kampung padat Kalitaman salah satu pembuat gitar terbaik sedunia akan menyelesaikan pigura pesananmu saat kau sudah bosan menunggu kecuali kau sempatkan untuk ngopi gitaran lagu-lagu Gombloh di bengkelnya. Kolektor kita selain agen koran sukses, rumahnya juga enak buat karaoke sambil merencanakan gebrakan seni yang tak perlu dilaksanakan. Galeri Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) jadi tempat mangkal para pelukis bokek dan terpaksa hanya beli tuak. Sekelompok teman membentuk kelompok Titik Temu, sementara yang lain berbagi rasa tentang titik jenuh. Pelukis-pelukis telaten maju terus mengusahakan jalan dengan aneka keterbatasan. Yang berhasil konon karyanya ditukar rumah, yang berbakat didesak pragmatisme bisnis terus bangkrut terus jadi tukang parkir. 
Jika di Jogjakarta tiada hari tanpa pameran, di Salatiga kau harus menunggu akhir tahun, atau menumpang acara gebyar seni mahasiswa. Kadang ada undangan partisipasi dari paguyuban pelukis Ambarawa dan Ungaran. Jika hoki melobi boleh dapat suatu pojok ruangan hotel. Kali lain bisa memakai ruang perpustakaan daerah, atau dapat peluang dalam bazaar di alun-alun. Hampir semuanya adalah pameran-pameran bersama, atau ngelapak bersama. Tentu saja tak lupa cerita-cerita suka-duka klasik seputar proposal dan anggaran pemerintah kota serta riuh-rendah organisasi seni rupa. Begitulah Salatiganya Digdo.
Aku merasa perlu banyak bercerita tentang hal-hal seputar Digdo dan lingkungannya sebab kesenimanan, proses kreatif, karya-karya, adalah kontekstual. Dengan hanya mengapresiasi karya saja tanpa informasi kontekstual yang cukup menurutku kurang oke, karena bisa mereduksi nilai sejarahnya. Karya seni seperti halnya jembatan atau uang; dibuat, diusahakan oleh manusia melalui kerja keras, bahkan perjuangan. Seperti kita tahu, manusia-manusia ini sejak Adam Hawa tidak telanjang lagi, memiliki hidup yang serba tidak mudah, penuh tantangan, bahkan makin kesini makin ruwet saja. Keseluruhan konteks hidup seniman ini adalah bagian integral dari karya seni. Maka karya tak melulu tentang bentuk dan tema. Pada ukuran tertinggi, bobot karya pada dasarnya adalah bobot kehidupan senimannya. Dalam konteks kehidupannyalah kesenimanan Digdo bertumbuh, belajar, mencari dan menemukan sesuatu. Membangun kualitas dan unikum seninya sendiri.

Akhirul khalam, perlu kusampaikan bahwa tulisan ini selain subyektif juga kecil sekali otoritasnya. Aku mau menulis untuk pameran Digdo bukan karena aku benar-benar mampu tetapi karena ingin menghormati penghormatannya yang memintaku menulis buatnya. Mohon maaf jika ada salah pemikiran maupun kata. Kudengar Digdo sekarang tinggal di desa dan menanam ketela. Katanya padaku; “Umurku tahun ini 41 tahun, aku ingin melakukan sesuatu yangg berarti … Aku tidak bermaksud membuktikan apa-apa, cuma kalo aku bisa pameran sendirian ... maaf, aku seperti mewisuda diriku sendiri ...” Permintaan maafmu aku terima brow. Dan hadirin sekalian, maka dengan demikian Imron Pradigdo pun telah. Selamat!


Perth, 4 Mei 2015
DidotKlasta Harimurti
Seniman dan magang penyumbang tulisan katalog pameran


Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN