AKU, MEMBACA DAN MENULIS (kenangan terindah)

Aku suka menggambar sejak sebelum masuk SD, itu awal 70an. Aku suka berteater sejak masuk kelompok teater di kampus, itu setelah setahun aku jadi mahasiswa; akhir 80an. Aku suka bermusik sejak mulai belajar main gitar, itu juga akhir 80an. Dan sejak kapan aku suka menulis?

Aku putuskan saja bahwa awal kesukaanku menulis adalah ketika aku mulai menulis puisi dengan cukup serius. Sebelumnya aku lebih dahulu suka membaca puisi yang ada di majalah Kawanku dan Hai. Selain itu aku suka membaca cerita pendek, cerita bergambar, artikel pengetahuan populer hingga berita, khususnya olah raga. Melengkapi majalah Kawanku, Hai dan Bobo, di rumah masa kecilku dapat dikatakan ada seribu satu macam bacaan; Album Cerita Ternama, Kuncung, aneka komik silat dan super hero, Donal Bebek, Eppo, serial pengalaman Dr. Karl May, majalah bulanan Korpri – Krida, aneka majalah ‘wanita’, buku-buku inpres untuk perpustakaan sekolah, Api Di Bukit Menoreh dan koran Kompas serta Suara Karya.
Ya sebagai guru negeri Bapak dan Ibu wajib berlangganan Suara Karya. Intinya aku cukup gila membaca. Bahkan dengan modal sekian banyak buku bacaan aku berhasil membikin sebuah usaha persewaan buku yang cukup terkenal di kalangan anak-anak sebayaku dari beberapa kampung di sekitar Kampung Baru, kunamakan Pustaka Jaya. Mungkin ini adalah kali pertama dimana aku terlibat dalam usaha non kriminil mencari duit pada usia dini, disamping mencuri cengkih di pelataran Bank Rakyat Indonesia, mencuri ayam di pekarangan belakang Hotel Kaloka, mencuri rokok di kios depan bioskop Salatiga Theater dan mencuri derkuku dari rumah Y - teman karibku.

Waktu itu di akhir 70an, ketika kami anak-anak lelaki sekampung jadi kena demam puisi. Maksudku dengan ‘anak-anak sekampung’ tidaklah seheboh itu. Aku tinggal di kampung kecil bernama Kampung Baru. ‘Baru’ sebab memang merupakan bagian yang paling baru dari kampung lama di tengah kota Salatiga yang bernama Kalitaman. Tak banyak ada anak lelaki sebayaku di kampungku. Mereka adalah aku sendiri, A si anak janda cerai dari seorang Brimob, H si anak pensiunan perwira rendah polisi biasa, T si anak perwira menengah tentara angkatan darat dan Y si anak janda cerai dari seorang pengusaha kayu. Aku sendiri anak pasangan guru SD. Sebetulnya masih ada kakak-beradik E dan Yd, anak dari bintara polisi, namun mereka tidak benar-benar intens berkumpulan dengan kami. Jadi tepatnya yang kena demam puisi hanyalah kami berlima; aku, A, H, T dan Y.

A adalah yang mula-mula mengkampanyekan puisi. Saat kami menggunakan waktu bermain dengan nongkrong bukannya mencuri jambu kluthuk di pekarang samping rumah tua seorang Belanda tua yang kami sebut Le Neker, A pun menunjukkan puisi karyanya di selembar kertas. Lantas dilain hari A menunjukkan puisi barunya lagi, dan lagi dan lagi. Begitulah kami berempat pun begitu saja tahu-tahu telah mengikuti jejak A; menjadi penyair cilik.

Biasanya kami akan berkumpul di kamar kosong di rumahku dan saling menunjukkan puisi karya masing-masing sambil makan kacang atom kaya MSG dari Nyah Cipli atau kerupuk dengan cabe. Terkadang kami juga menulis puisi bersama. Puisi-puisi A adalah yang terbaik di antara kami berlima. Tak hanya sedikit lebih baik, tapi jauh-jauh-jauh lebih keren. Sementara puisi-puisi kami berempat masih berkutat pada perkara cinta yang wagu serta hal-hal wagu lain yang aku lupa persisnya dan diungkapkan dengan pilihan kata dan penyusunan kalimat yang wagu, A sudah mengetengahkan tentang hal-hal yang samar berliku dalam puisi-puisinya, dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang tak biasa; sesuatu yang di luar jangkauan kami, sesuatu yang hebat. Puisi-puisi A dapat dikatakan adalah pengalaman langsung otentikku yang pertama tentang ‘keindahan puisi’, tentang ‘apa itu puisi’.

Entah berapa lama demam puisi ini berlangsung. Yang jelas seperti lazimnya anak-anak, kemudian kami tak melakukannya lagi. Dan saat itulah kutemukan dari majalah Hai; puisi-puisi yang sama persis dengan bikinan A. Ya, ternyata A menjiplak belaka! Di satu sisi dalam hati aku mencibir pada A, namun di sisi lain kupikir kemauan menjiplak saja dan kemampuan memilih jiplakan yang ‘baik’ adalah berbeda. A adalah yang kedua.

Sejak duduk di kelas 2 SMP proporsi dunia khayal di kepalaku semakin dan semakin besar hingga lebih besar dari dunia nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh gelegak pubertas beserta aspirasi-aspirasi anehnya berpadu dengan kemampuan sosialku yang kurang memadai ditambah dengan hasrat cinta monyet yang tak diimbangi dengan nyali pedekate. Fase kritikal yang sangat intens ini pun mendorongku untuk menulis puisi lagi atau membikin corat-coret yang kurang-lebih sejenis dengan itu, kali ini kulakukan dengan serius. Sudah bersunat dan jerawatan. Kreatifitas sekaligus keruwetan otakku berkembang. Perasaan lebih tumpang-tindih. Kata-kata lebih kaya. Berkata-kata lebih lihai. Pretensi-pretensi mulai muncul. Harapan dan kecemasan mulai memperkenalkan dirinya. Inilah awalnya aku suka menulis. Dua puisi serius pertamaku yang paling kuingat; satu bicara tentang ketegangan internal antara kepuasan dan penyesalan dalam pergulatan mengelola produksi testosteron (judulnya Persia-sia), satu lagi bicara tentang orang-orang miskin yang tersingkir dari kehidupan (judulnya Orang Korengan). Puisi-puisi serius ini kutulis di sebuah buku yang kubikin dengan menjilid kumpulan kertas kosong dari buku-buku tulis yang tak terpakai lagi. Beberapa tahun kemudian Ibu menjualnya secara kiloan bersama kertas-kertas apa saja dan botol bekas.

Nah, seperti apa pengalaman awalmu dengan membaca dan menulis?


DidotKlasta
Mosman Park Perth Australia, Juni 2014

Keterangan.
Korpri : Korps Pegawai Republik Indonesia
Inpres : Instruksi Presiden
derkuku : jenis burung, semacam perkutut tapi lebih besar
jambu kluthuk : (jawa) jambu biji
wagu : (jawa) tidak menarik, tidak gaya
pedekate : sudah jelas

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN