CACA (sebuah racauan surealis triler erotik)


Tekanan Batin #28, bolpoin di kertas,
DidotKlasta, 2009.
Setelah cukup lama blog ini kuterlantarkan sebab aku sudah punya website yang keren dan kalau kau tak percaya buktikan sendiri di http://www.didotklasta.com akhirnya aku sadar bahwa. Berikut ini adalah racauanku terkini yang sebenarnya bahan lama tapi karena aku tak punya bahan baru maka.

Seperti biasa tentu saja, tivi-tivi memuakkan penuh dengan acara-acara memuakkan yang penuh dengan tokoh-tokoh memuakkan dari berbagai bidang kehidupan memuakkan yang sesungguhnya bidang-bidang itu belum tentu memang diperlukan, dan mereka sedang saling membesar-besarkan diri sendiri secara spektakular karikatural. Teror mematikannya dengan gelegak keinginan mematikan tokoh-tokoh itu sendiri. Bukan dengan memencet tombol off di batangan pengendali jarak jauh itu, tapi dengan menghantamkannya ke layar tivi. BLAST!!! Sunyi itu indah, ketika gegap-gempita adalah kumpulan tinja yang berceloteh tentang hal-hal tinja. Lampu terang ia matikan dan digantinya dengan bolam temaram ungu-biru syahdu, mungkin cocok dipakai untuk pencahayaan adegan erotis film khusus dewasa. Gorden putih terbuka. Bulan sedang purnama. Mereka berbaring-baring dengan posisi kepala menghadap jendela tanpa seks. Panorama bagus, meski ini lingkungan yang sesungguhnya bahkan lebih kejam dari yang nampak, yang juga sudah begitu kejam.

“Ngapain enaknya sekarang?” tanya CaCa.
“Nggg … tiduran saja,” jawab Teror.
“Aku lapar …” kata CaCa.
“Mmmm …” sahut Teror.
“Makan yok,” ajak CaCa.
“Malas,” jawab Teror.
“Ayo dong …” desak Caca.
“Segini larut ... Tadi kan sudah makan banyak. Nanti gembrot kamu. Tahu enggak? Kamu sebenarnya tidak lapar, tapi ingin makan. Itu napsu lho.”

“Sok tahu kamu!” sahut CaCa.
“Lho iya. Kebutuhan dan takaran itu kan bisa diperhitungkan. Menurut perhitungan, kamu tidak lapar. Itu napsu. Napsu itu harus dikendalikan. Bagus untuk jiwa kita. Lagipula soliderlah pada yang kelaparan. Lagipula jangan-jangan makanan yang kita makan sesudah kita kenyang bukanlah jatah kita ... Lagipula …”
“Ya sudah,” sungut CaCa.
“Kok ngambek sih ... Begini saja, kamu makan sendiri ya? Tapi bawa ke sini. Aku jangan ditinggal.”
“Bener kamu enggak? Kuambilkan sekalian ya?” tawar CaCa.
“Enggak.”

Di ruang tivi, tivi yang tadi masih sekarat berasap mendesis-desis. Lama sekali! Sampai menjelang fajar CaCa tak juga nongol. Padahal berapa lama sih ambil makanan? Aneh. Teror jadi tak tenang. Aneh. CaCa tadi turun sekitar pukul satu. Ini sudah sekitar pukul empat. Aneh … Dan tak terdengar barang suatu suara yang muncul disebabkan kesibukan CaCa mengambil makanan, CaCa itu paling ribut kalau di meja makan. Tapi sedari tadi sunyi sekali. Aneh … Tapi masih ditahannya untuk tak menyusul. Teror penakut jika malam, terutama justru saat di rumah sendiri; selalu seakan ada pencuri atau lebih lagi perampok di sudut-sudut ruang itu, menunggu untuk menyergap dan membunuhnya. Membunuh, sebab mereka adalah perampok nyawa. Sedang jika dipanggilnya saja dari sini, tentu akan mengundang kecurigaan dari penghuni-penghuni lain. Sekarang masa-masa sosial kacau-balau saling curiga-mencurigai dan maka saling awas-mengawasi, selain itu juga maka sering terjadi salah paham, lantas bentrok. Kemudian kekisruhan ini akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Itu semua sejak peristiwa kematian tak wajar salah seorang penghuni di sini yang tidak pernah keluar bergaul, belum lama. Rumor yang berhembus; pembunuhan politik-ekonomi.
Namun sampai langit mulai bersemburatkan oranye terang CaCa tetap tak muncul juga. Sunyi sekali. Aneh. Dan pertanyaan Teror yang telah berubah menjadi kepenasaran kemudian sampailah di titik kempalnya menjadi kecemasan yang mencekam. Berbagai kemungkinan berlintasan, namun kesemuanya tentang kemungkinan hal-hal buruk saja. Tapi Teror tak bisa lebih dari; biarlah menunggu sampai pagi benar dan orang-orang mulai lalu-lalang bersiap-siap dan atau berangkat. Kalau sudah pagi sih Teror tak takut lagi.

Pukul enam Teror pun turun dari tempat tidur. Tergopoh-gopoh langsung ke ruang makan yang tak ada siapa-siapa. Ia buka tudung meja. Nampaknya menilik volume dan posisi makanan-makanan ini, jelas belum disentuh sejak mereka makan malam semalam, Teror sangat ingat. Tergopoh-gopoh lagi ia ke dapur. Sepi juga. Di tempat cuci piring ia teliti dan tak ada peralatan makan bertambah selain bekas makan malam semalam. Jadi … semalam itu CaCa tidak pergi makan … Atau CaCa memakan sesuatu yang tak ia tahu di tempat yang tak ia tahu? Dan Caca Tak mungkin keluar rumah, sebab satu-satunya pintu keluar masih terkunci dan Teror adalah satu-satunya yang membawa kunci, dan kunci itu ia simpan di kepalanya, dan Caca tak tahu bahwa Teror menyimpan kunci rumah di kepalanya. Teror mulai panik dan terus secara cepat makin panik lagi. Tergopoh-gopoh ia menghambur ke ruang-ruang lain. Sepi. Tak cuma panik, Teror telah dijalari ketakutan. Apa yang terjadi?! Di mana CaCa?! CaCa! CACAAA!!! Di mana CaCa …!? Sebentar …. Kamar mandi??? Ya ya ya … Teror lupa belum mengecek kamar mandi dan langsung ia tersadarkan bahwa dari kamar mandi memang terdengar suara-suara. Suara orang mandi yang merupakan paduan dari kerucuk air kran, guyuran-guyuran besar, gosokan-gosokan sabun, lenguhan-lenguhan sporadis dan nyanyian. Dan lagu itu seperti Teror mengenalnya, tak lain lagu kegemaran CaCa. Tapi warna suaranya membuat Teror ragu antara pasti tak pasti … CaCa-kah yang di dalam situ?

Tok Tok Tok … “Itu kamu CaCa?”

Dan … Engkaulah ternyata yang melongokkan kepala seiring pintu yang terbuka sedikit! “Sebentar.” Entah kenapa di luar kontrolnya Teror langsung menerjang pintu, menghambur masuk kamar mandi, matanya nyalang ke sekeliling ruang sempit 1,5 X 1,5 ini. Namun hanya ia dapati engkau saja sendirian yang tersipu malu, bingung, kaget, marah sekaligus salah tingkah tapi juga sekaligus secara tersamar ada hasrat-hasrat menggoda. Engkau masih hanya memakai celana dalam saja, minim.

“Hei ... Apa-apaan nih! Gila kamu ya?! Sabar sebentar kenapa sih! Keluar kamu! Keluaaar!!!” Tapi Teror tak mau keluar. Sambil terus-terang tak dilewatkannya pula pemandangan menggetarkan itu dan juga terus-terang baru saat itu ia sadari ternyata kau memang … yah, lumayan juga. Ah, malah … Tepatnya tak cuma lumayan … Luar biasa! Tak tahan Teror untuk tak menjamah pinggang tepat dilekukan tulang panggul mempesona itu. Dan engkau diam saja. Teror menjamah lagi dan lagi. Engkau berkelejat tapi tetap membiarkan, bahkan ternyata lantas majulah kau selangkah, maka Teror pun merapat. Dan akhirnya kalian saling tanggap-menanggapi dengan makin lama makin menggebu. Sedikit lagi menjelang semacam puncak adegan, kau mendesah, “Lupakan saja CaCa ...” Haaa! Teror menghentikan gerakan-gerakan tendensius seksualnya. Mulutnya menjauh dari sesuatu merah basah yang fresh, menganga dan mengerang. Matanya tajam memandang matamu yang redup.
“Aku bertanya padamu ... Di mana CaCa? Jawab pertanyaanku! Di mana CaCa?! Ayo jawab! Aku merasa engkau tahu! Engkau pasti tahu! Kau sembunyikan kan?! Atau ... Kau apakan CaCa?! Kau apakan HA!!!”
Engkau hanya diam mengulum senyum samar secara misterius sambil menyandar ke dinding dengan pose pasrah.
“Atau sudah ... sudah ... Kau ... Kau ... Keparat!!! Bangsaaat!!!”
Sempoyongan Teror keluar dari kamar mandi yang berlepotan darah di segala penjuru. Terlebih bak airnya. Merah bergelimangan. Sekujur tubuhnya juga berlepotan darah. Teror tak sempat berpakaian. Secepat itu. Bahkan syahwatnyapun masih ada sedikit memburu. Dengan memburu Teror berlarian tak ada juntrungan, sampai menabraki perabot-perabot. Terus berlarian. Menyerbu ke kamar tidur. Menumbuki apa saja di situ. Sampai lalu … PYAAARRR!!!

Di balik jendela itu adalah … udara, sebab ini adalah tingkat dua puluh satu. Di bawah sana adalah jalan raya pusat kota yang saat itu lalu-lintas sedang macet sebab ada seorang gelandangan kumat epilepsinya, menghambur ke jalan dan disambar oleh mobil Teror. Teror meloncat keluar, mendapati tubuh yang berlumuran darah itu. Ratapnya, “CaCaaa ...!!! Oh CaCaaaaa ...!!! Jangan tinggalkan aku …!!!”
Namun orang-orang yang lalu-lalang seperti biasa saja. Cenderung jenuh. Tak melihat ada sesuatu yang terjadi selain kemacetan. Normal. Lama-lama Teror pun menjadi tak yakin. Semua ini tak nyata? Nyata? Tak nyata? Nyata? Teror butuh keyakinan yang nyata tanpa kemungkinan lain. Teror butuh CaCa!
“Oh CaCaaaaa …!!! Jangan tinggalkan aku …!!!”


DidotKlasta
Salatiga, awal - pertengahan 200an

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN