KESEHATAN KOMUNITAS BERBASIS KOMUNITAS (?) (artikel)

Artikel ini adalah kontribusi saya untuk salah satu edisi Koran Komunitas yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Kesetaraan, Aksi dan Refleksi (LSKaR) Salatiga.


Sekarang sampai orang-orang di pinggir jalan, di pasar, di warung kopi, kasak-kusuk tentang tatanan baru yang bisa menopang kehidupan yang lebih baik bagi semua. Tahukah saudara ? Ada kenyataan mengkhawatirkan dimana potensi dan kekuatan nyata masyarakat (baca : komunitas) untuk menghadapi tantangan, memecahkan persoalan, memenuhi kebutuhan, meraih cita-cita dan mewujudkan harapannya telah dipisahkan ataupun diambilalih dari dirinya sendiri oleh berbagai pihak atau otoritas untuk kepentingan-kepentingan yang sejatinya bukan kepentingan komunitas. Pihak atau otoritas ini karena kekuatan pemaksa atau kuasanya menempatkan dirinya pada kedudukan lebih tinggi, istimewa dan tak tersentuh, yaitu kuasa modal dan kuasa politik.
Misalnya saja, kemampuan komunitas untuk mengelola kebutuhan airnya sendiri diambilalih oleh sebuah otoritas bernama PDAM.
Atau kemampuan komunitas untuk mengelola pengairannya sendiri diambilalih oleh dinas pengairan. Kemampuan komunitas untuk mengelola pendidikannya sendiri diambilalih oleh institusi (komersialisasi) pendidikan. Kemampuan komunitas untuk mengelola aset wisatanya sendiri diambilalih oleh investor pariwisata. Kemampuan untuk mengelola tanahnya sendiri diambilalih oleh developer. Kemampuan untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri diambilalih oleh perusahan tambang. Untuk mengelola fungsi kesehatannya sendiri diambilalih oleh dinas kesehatan dan bisnis rumah sakit. Untuk menentukan hidupnya sendiri diambilalih oleh dewan perwakilan. Untuk mengatur hidupnya sendiri diambilalih oleh pemerintah. Atau kemampuan masyarakat untuk mengorganisir hidup bersamanya sendiri diambilalih oleh negara. Gila !
Banyak lagi contoh lain di berbagai bidang kehidupan masyarakat dimana intinya masyarakat tak lagi punya hak apapun atas apapun yang sejatinya menjadi haknya. Jika punya tak lain itu remah-remah pemberian dari kekuasaan. Dan kemudian yang terjadi adalah : ketidakpastian hidup sebab hidupnya sudah ditangan kekuasaan dan untuk hidup-hidup kita sendiri kita harus bayar mahal. Opo tumon sedulur ? Iki jan-jane uripe sopo, urip kaya opo ? Edan tenan …



Ketika anggapan mapan-kolot bahwa negara dibuat oleh masyarakat sebagai cara mengorganisasikan kehidupan bersama beserta fungsi penjaminan kesejahteraan baik bagi masing-masing maupun bersama semakin sangat diragukan (dengan segudang alasan nalar-fakta yang bahkan untuk sebagian besar alasan ini orang awam-lugu-jelata pun paham dan tentu mengamini), maka menjadi penting untuk melihat di dalam masyarakat itu sendiri; segala kemampuan dan sumber daya (dan juga peluangnya) untuk melangsungkan kehidupannya sendiri dengan wajar, serta kemudian menggagas kemungkinan-kemungkinan sistim dan lembaga yang bisa dibangun oleh masyarakat sendiri untuk mengorganisasikan kemampuan dan sumber daya ini, dengan pengelolaan oleh masyarakat sendiri, yang kesemuanya di titik cukup radikal artinya adalah ‘mempretheli’ fungsi (baca : kontrol) negara, lebih radikal lagi adalah ‘mengabaikan’ kenyataan negara, dan boleh jadi paling radikal adalah : menghilangkan negara baik secara material-konkret maupun segala filosofi, mitos kesakralan tentangnya.
Dan maka yang tinggal adalah kehidupan bumi dengan segenap warga bumi tanpa kecuali sebagai pengelola dan pengontrol bersama untuk kesejahteraan bagi semua. Mungkin sekali keadaan ini adalah apa yang kita angankan sejak jaman Adam-Hawa sebagai kehidupan yang lebih baik. Amin. Amin. Amiiin.

Salah sebuah issu tentang ‘pengelolaan sendiri’ (swa-kelola komunitas) adalah soal kesehatan. Kesehatan adalah salah satu dari banyak bidang pokok penopang hidup. Tiap-tiap individu punya kebutuhan untuk sehat secara pribadi. Kumpulan individu-individu dalam sebuah masyarakat punya kebutuhan untuk sehat secara bersama. Jika tidak sehat atau sakit fungsi-fungsi aktifitas hidup akan (sangat) terganggu. Bahkan jika mati maka kehidupan juga berhenti !
Sebagai individu saudara sudah menjalankan langkah-langkah yang perlu dalam hidup saudara sendiri agar terhindar dari wabah DB, misalnya membikin sanitasi yang baik untuk rumah saudara. Namun kondisi sanitasi pada umumnya di kampung saudara adalah buruk. Ketika kampung saudara kena wabah DB saudara pun akan terancam, demikian dan sebaliknya. Jadi kesehatan adalah perkara individu, domestik (keluarga-rumah tangga) juga perkara bersama dalam komunitas, bahkan perkara masyarakat lebih luas lagi, masyarakat dunia.
Jika kita kembali dipernyataan awal bahwa masyarakat (baca : komunitas) ‘pasti’ punya kemampuan untuk menghadapi tantangannya, untuk memenuhi kebutuhannya maka untuk kebutuhan-kebutuhan seputar bidang kesehatan komunitas pun tentu mampu mengatasinya.
Bagaimana dengan perawat, mantri kesehatan, dokter, dokter spesialis, rumah sakit, apotik, pabrik obat, fakultas kedokteran, akademi perawat dlsb ? Apakah komunitas bisa memenuhi itu semua ? Jawabannya bisa ! Bisa disini tak lantas artinya bahwa di pedukuhan Kedungmiri misalnya, dari sekitar 700 warganya ada yang jadi perawat, mantri kesehatan, dokter, atau ada rumah sakit, apotik, fakultas kedokteran yang semuanya dikelola sendiri oleh warga pedukuhan Kedungmiri.
Yang penting dari jawaban bisa di atas adalah hal ‘pengoptimalan sumber daya komunitas dan pengelolaan sistim dan lembaga oleh komunitas itu sendiri’ sebagai model awal untuk menuju sesuatu jauh di depan yang mari kita sebut ‘Kesehatan Komunitas Berbasis Komunitas’ (wuih …) yang merupakan salah satu bidang dari banyak bidang perubahan sosial untuk mengembalikan hidup masyarakat di tangan masyarakat tanpa dikangkangi kekuasaan.
Mari kita lihat potensi dan kekuatan apa yang ada di dalam komunitas kita dalam hal ini adalah daya dukung komunitas untuk menyelenggarakan fungsi kesehatan. Fungsi-fungsi yang sederhana saja dulu.
Kesehatan paling erat urusannya dengan penyakit. Soal penyakit ada dua segi pokok, yaitu pencegahan dan penanganan. Untuk pencegahan intinya sederhana saja, yaitu pola hidup sehat. Pola hidup sehat intinya ya pola hidup sehat secara individu, unit keluarga dan lingkungan. Tak ada yang susah. Makan bergizi dan variatif, gerak badan, berpikir positip, buang sampah pada tempatnya, kualitas air-sanitasi, hidup seorganik mungkin, dlsb. Oya, rekreasi Bung. Hal-hal biasa dan bukan kecanggihan, sebab jaman dulu nenek-moyang telah mengawalinya, dengan baik.
Untuk penanganan problem kesehatan atau penyakit ? Tentu saja kalau pola hidup sehat individu, keluarga dan komunitas telah terbangun, relatif tak akan ada problem kesehatan. Dan tentu saja melembagakan dan mengelola pola hidup sehat seperti digambarkan di atas sangat bisa dilakukan komunitas.
Tetapi bagaimana jika muncul problem kesehatan luar biasa yang penanganannya menuntut tingkat kemampuan di luar kemampuan komunitas ? Virus global misalnya. Atau lebih sederhana, penyakit tertentu yang lebih disebabkan oleh bawaan fisiologis. Tentu komunitas termaksud mesti perlu (mengakses) fungsi-fungsi di luarnya. Namun yang penting adalah, apakah komunitas juga punya peran (akses) dalam penentuan, pengelolaan dan kontrol terhadap jalannya fungsi-fungsi antara komunitas dengan lembaga kesehatan khusus atau antar komunitas satu dan lainnya.
Namun di luar kebutuhan kesehatan yang demikian rumit dan canggih (dan terkadang juga mengada-ada, tak lebih dari bisnis) yang masih diluar jangkauan daya komunitas dan masih menuntut adanya lembaga-lembaga kesehatan resmi, profesi ahli medis resmi, peraturan resmi, sangat penting untuk mengujicobakan sebuah model lembaga lokal paling sederhana sebagai langkah awal (prototip) menuju otonomi kesehatan komunitas bertolak dari kemampuan dan sumberdaya lokal komunitas masing-masing. Yang jelas (untuk sementara dengan mengesampingkan kasus-kasus kesehatan ‘luar biasa’) secara prinsip, komunitas nyata mampu mengelola ‘hidup sehatnya’ sendiri.
Posyandu adalah sebuah contoh model kelembagaan yang cukup bagus dan mendekati apa yang disebut ‘Kesehatan Komunitas Berbasis Komunitas’, tentu dengan sejumlah kritik dan saran untuk perbaikan. Pertama, lingkupnya mesti diluaskan menjadi kesehatan umum (tak hanya seputar perawatan kehamilan dan balita). Kedua, kemandirian, sehingga tak lagi bergantung dan diatur-atur oleh instansi induknya (hanya perpanjangan politik top-down pemerintah – dinas kesehatan). Ketiga, pembangunan kemampuan kader hingga mampu melakukan fungsi-fungsi penanganan kesehatan lebih luas dan tekhnis serta menjadi motor-motivator dan mediator peningkatan kemampuan kesehatan komunitas bagi segenap anggota komunitas (sehingga akhirnya semua anggota komunitas adalah kader). Kelima, perlu adanya jaringan kerjasama dan saling bantu antar posyandu di berbagai komunitas yang swakelola dan independen. Keenam, namanya apa mungkin diganti saja ya ? Sebab posyandu itu kan nama program bikinan pemerintah, sedang yang ini kan program bikinan komunitas kita sendiri saudara … Ya tho Kang ?! Ya tho Yu ?! Tho yaaaaa ha ha ha !!!

DidotKlasta Harimurti
Sawijining deso, agustus 2007


Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN