PERTARUNGAN-PERTARUNGAN #1 (kenangan terindah)

Piknik SD. Salatiga 2 (Eropis) ke Sriwedari - Bale Kambang
Solo. Kemungkinan tahun 1982, saat aku kelas 6. Di kanan
Bu Ning guru agama katolik, di belakang Kang Wasito
'tukang kebun' (Pak Bon) sekolah. Kami; (depan) aku, Arifin,
Nasradin. (belakang) Kairul(?), Suharwanto / Itheng, Tanto
(kelas 5), Purwanto, Wahyu Kristiono.
Cukup banyak orang yang berkomentar bahwa potonganku khususnya wajahku selain ada unsur menarik hati atau membuat penasaran, juga ada unsur sangar. Soal menarik hati atau membuat penasaran tak usahlah kubahas karena sudah jelas dan biar demikian adanya, tapi untuk soal kesangaran, aku harus menceritakan sesuatu pada kalian supaya segalanya menjadi jelas.

Kis

SD. Eropis dulu adalah sekolah hanya bagi sinyo-sinyo Eropah totok di Salatiga. Bangunannya agak muram namun keras perkasa. Tembok tebal kusam dan dingin, pintu-jendela besar nan tinggi berkusen total jati, tiang-tiang besi selicin buah dada Loro Jonggrang di Prambanan, kursi-bangku (kursi yang menyatu dengan bangku) kawak yang amat berat dan kukuh dengan bentuk khas menyiratkan ethos pendidikan penjajahan dan pas benar dengan semangat pendidikan orde baru, langit-langit kelabu yang seperti mengawasi, lantai dingin tak berwaktu, kakus angker … pojok-pojok rahasia, mungkin ada harta karun voc-nya juga, siapa tahu kan?


Sejak aku masuk di pertengahan tujuh puluhan, ada dua SD menempati lokal yang sama;  SD. Salatiga I dan SD. Salatiga II, tiap bulan bergantian masuk pagi dan masuk siang. Aku sendiri murid SD. Salatiga II. Umum biasa menyebut SD I dan SD II saja. Tapi SD II JELAS lebih berprestasi dibanding SD I, dan sesungguhnyalah SD II adalah salah satu dari sedikit SD top di Salatiga jaman dahulu kala. Dan SD. Eropis adalah nama popiler dari SD II.
Teman-temanku sekelas jumlahnya kira-kira tigapuluh sekian. Selain teman-teman cowok yang begitu-begitu saja standar bocah kampung kurang gaya, seperti biasa ada satu dua temen cewek sekelas yang berdasar paradigma kecantikan konvensional membuatku naksir monyet, misalnya DPS juga Ed, tapi ini soal lain dalam cerita lain nantilah kapan-kapan.

Kis adalah salah satu teman sekolahku yang paling akrab. Mungkin karena kami sama-sama penyuka komik, khususnya Dagelan Petruk Gareng. Oya, waktu itu aku termasuk wiraswastawan bocah yang merintis usaha persewaan buku bacaan yang bahkan sampai terkenal di berbagai kampung sekitar kampungku, misalnya Pancuran, Ngenthak, Krajan, Turusan, ngGladhakan, Somopuro dan banyak lagi yang lainnya. Kuberi nama Pustaka Jaya, dan Kis biasa kupinjami gratis.
Atau mungkin, waktu itu orangtuaku sedang dalam proses berjuang menjadi kelas menengah rata-rata, sedang orangtua Kis dapat dikatakan kelas bawah yang berjuang untuk tak makin merosot belaka, dan entah kenapa aku cenderung suka berteman dengan teman-teman dari kelas bawah.
Atau mungkin bahwa Kis bukan Islam juga merupakan faktor pertemanan kami yang lain lagi. Aku katulik, mayoritas teman-temanku Islam. Tentu seperti harmoni Indonesa versi Unyil kami semua saling baik-baik saja enjoi-enjoi saja, tapi mungkin bagaimanapun juga secara naluri primordial ada jenis kenyamanan tertentu terhadap orang yang kurang-lebih punya ‘agama’ yang sama, orang ‘kalangan sendiri’, bukan ‘liyan’. Tapi jangan lupa, Din juga sahabat baikku, dan ia adalah muadzin terbaik dalam pelajaran agama Islam di kelasku, dan bapaknya adalah modin.



Aslinya Kis itu Islam, tapi tiap hari Minggu dia pergi ke kegiatan yang namanya Propeka. Entah apa kepanjangannya, tapi ini adalah semacam gereja Kristen di jalan Kalisomba kampung Krajan. Dari Propeka dia diberi tas, buku, makanan dan hal-hal semacam itu dan lama-lama begitu saja jadilah ia Kristen, atau entahlah.
Aku kurang jelas dengan bapaknya Kis, maksudku pekerjaannya. Tapi ibunya adalah perempuan kurus pembuat bungkus cengkeh dengan upah sekian perak untuk sekian banyak bungkus dengan kertas pembuat bungkus yang disuplai oleh juragannya. Saat aku main ke rumahnya aku suka ikut membantu membikin bungkus cengkeh. Seingatku ibunya sangat baik denganku. Mungkin karena selain aku sahabat anaknya, juga karena waktu SD aku lumayan terkenal kriting imut pinter. Begitulah Kis dan aku adalah sahabat karib.

Suatu hari, lonceng tanda usai istirahat pun berbunyi. Kami sedang bermain di semacam bangsal yang di kelilingi oleh berturut-turut ruang guru, kelas 1, kelas 2, pagar kayu yang juga tempat nangkring sepeda Pak Tugiyo guru idolaku, dan kelas 6 lama. Dibangsal ini pula tempatnya warung sekolah. Bukan warung benar, hanya satu meja kecil tempat menaruh aneka makanan kecil. Favoritku tentu saja adalah ketan srundeng, hanya ketan srundeng, dengan ketan pulen serta srundeng yang sudah agak lemes dan berminyak hmmm ... Kami juga bisa minum air putih dari kendi di ruang logistik guru.
Karena waktu itu kami duduk di kelas 4 yang ada di bagian depan, dari bangsal kami harus melewati kelas 6 lama yang kosong karena hanya dipakai SD I, dimana ada pintu yang menghubungkan dengan kelas 4. Aku berlari, di belakangku Kis, spontan muncul rencana iseng dikepalaku. Begitu aku masuk kelas 4, kutunggu Kis dari balik pintu dan; WAAA!!!
Kis sangat kaget dan mengejarku, aku lari keluar lewat pintu depan, meloncat turun ke pekarangan. Kis terus memburu. Kami berkejaran memutar-mutari semacam gazebo bougenville, terus masuk lagi ke kelas, dan Bu Warsiyah yang super galak datang, kami pun duduk patuh. Kulihat wajah Kis sangat jengkel, tepatnya marah, dan saat pulang dia mendiamkanku. Aku kaget sekali, tak menyangka keisenganku berefek sampai seperti itu. Sejak itu, Kis dan aku diam-diaman. Istilah popilernya ‘jothakan’. Sebetulnya tak benar-benar bermusuhan antara kedua belah pihak, karena aku sebetulnya sangat menyesal tapi juga segan untuk memulai komunikasi atau minta maaf, di sisi lain Kis memang benar-benar memusuhiku. Dan bahwa punya musuh satu sekolah adalah benar-benar membikin setres. Demikianlah sejak kelas 4 kujalani sekolah dasarku dengan ketegangan konstan 6 hari per minggu.

Dinamika permusuhanku dengan Kis sangat tergantung padanya. Dia yang menaik-datar-turunkan tensi. Kadang cuma diam-diaman saja, kadang menjadi sangat konfrontatif, maksudku Kis yang mencoba berkonfrontasi. Aku cenderung menghindar, sebab pada dasarnya aku sangat menyesali permusuhan ini dan aku takut berkelahi. Setelah sepanjang kelas 4 aku bisa, secara ada pengecut-pengecutnya, menghindari bentrokan fisik, akhirnya terjadi juga pertarungan itu di kelas 5.
Aku lupa apa yang meledakkannya. Kami sedang berbaris untuk masuk kelas ketika Kis menantangku. Waktu itu aku merasa ada dalam situasi tanpa pilihan. Sejumlah teman mengelilingi dan mengipas-ngipasi, aku dan Kis berhadap-hadapan dalam jarak tiga langkah sambil bergerak memutar perlahan dalam posisi kuda-kuda. Aku hanya bersikap defensif, menunggu, waspada. Teman-teman cowok bersorak. Teman-teman cewek? Mana sempat aku memikirkan.

Salah satu hal yang mewarnai hari-hariku saat SD adalah nonton bioskop cepekan. Filem-filem lama yang diputer kembali dimasa kejayaan Salatiga Theatre, kebanyakan kungfu. Aku, seperti banyak anak kampung Salatiga korban cepekan lainnya, adalah maniak filem kungfu. Meskipun intinya cuma cari hiburan, tapi dengan sendirinya kami sebetulnya juga mempelajari jurus-jurus dan tehnik-tehniknya. Kami suka menirukan adegan-adegan perkelahian kungfu saat bermain, khususnya dalam permainan ‘patangan’*.  Jagoan-jagoan dari pra Chen Lung sampai post Chen Lung (sebelum ganti nama jadi Jackie Chen) kami hapal, beserta ilmu andalan masing-masing. Mulai dari Ti Lung, David Ciang, Lo Lieh, Chen Kuan Tai, Tan To Liang, sampai Chuang Chen Li alias Willy Dozan.
Jadi sambil stand by waspada, di kepalaku berkelebatan aneka adegan perkelahian kungfu heroik dan aku membayangkan bahwa diriku adalah jagoan kungfu heroik itu. Aku tak tahu apa yang ada di kepala Kis, selain bahwa tajam matanya seperti berkata dingin; “Tak enteki tenan kowe …”
BLETHAK!
Tiba-tiba bogem mentah menerpa jidatku. Satu hal luput kupelajari dari filem cepekan; reflek! Aku oleng sedikit dan sempat sepersekian detik agak blank, tapi kemudian aku seperti habis menenggak minuman suplemen di iklan tivi; langsung greng beringas bagai banteng terluka. Hilang sudah ketakutanku, dan mulai merangsek maju. Waktu itu aku sedang terpesona dengan salah satu musuh Chen Lung yang terkenal dengan ilmu Tendangan Seribu. Aku penggemar Chen Lung dan jarang sekali menggemari Si Jahat, tapi di sisi lain aku sangat menggemari ilmu tendangan. Maka begitu saja kaki kananku mulai beraksi, selain sebagai bemper untuk rangsekanku juga untuk kudaratkan di dada Kis, sekali dua kali tiga kali. Aku hanya membidik dadanya, sebab untuk membidik kepala aku perlu tekhnik karate ‘mawashi geri’, dan itu baru kupelajari 6 tahunan kemudian di kelas 1 SMA.
Ditambah posturku yang lebih tinggi, sesungguhnya dapat dikatakan Kis mulai agak kerepotan karena tak bisa menembus pertahanan kakiku dan harus menahan tendangan-tendanganku, kemudian teman-teman memisah kami karena Bu Chie Kim Lie sebentar lagi masuk kelas. Bagaimanapun aku merasa kalah, karena tendanganku tak setelak bogem mentah Kis di jidatku. Dan selesai pertarungan aku pun langsung takut lagi.

Waktu kenaikan kelas, gelar bintang kelas yang selalu kupegang dari kelas 1 sampai kelas 4 direbut temanku Ar. Sial. Entah kenapa, mungkin karena aku sedang dilanda sensasi puber yang terlalu cepat, jadi suka mikir yang enggak-enggak. Atau terlena karena malang-melintang tanpa penantang? Tapi yang penting, hanya tinggal setahun lagi aku harus tertekan oleh perang dingin dengan Kis, fiuuuuh.
Seingatku irama perseteruan kami di kelas 6 datar-datar saja kurang action. Mungkin karena aku fokus pada usaha merebut kembali mahkota bintang kelasku sekaligus mentarget SMP 1 kalau sudah lulus. Dan persaingan khususnya terjadi antara aku dan DPS yang aku naksir monyet itu tadi. Sementara Ar nampaknya justru merosot, mungkin ikut-ikutan kena masalah puber yang terlalu cepat. Dan Kis tidak masuk berbulan-bulan karena sakit di mulutnya. Tapi aku tetap dalam ketegangan konstan. Saat Kis sakit, tiap pagi aku berangkat sekolah dengan dag-dig-dug; Kis sudah masuk … Belum … Masuk … Belum ... Dan begitu tahu ia belum masuk aku pun HOREEE!!!
Begitulah. Akhirnya Kis sudah sembuh. Dan begitulah, akhirnya kami sampai di hari pengumuman kelulusan, hari terakhir kami sekolah di SD. Eropis. DPS juara. Aku nomer dua. Ar nomer tiga. Tapi antusiasmeku terhadap kelulusan termakan oleh ketegangan permusuhanku dengan Kis yang entah kenapa jadi memuncak di hari terakhir itu. Aku merasa ada yang aneh. Aku merasa hari itu ada semacam manuver sedang dilancarkan, tapi misterius.
Saat kelas usai, salah satu temanku Hr mengajakku untuk pulang bersama lewat Jalan Diponegoro, depan sekolah. Aku biasa lewat jalan ini terutama saat ingin menghindar dari provokasi Kis, karena Kis tinggal di kampung Turusan, jadi ia pulang lewat belakang sekolah, jalan mBringin, pasar Sayangan belok kanan. Tapi aku merasa caranya mengajak seperti mengandung maksud tertentu, dan sekilas kulayangkan pandang; Kis sudah ada di depan, di Jalan Diponegoro. Aku menolak ajakan Hr dan langsung jalan dengan terburu lewat belakang sekolah. Menjelang pabrik es Nan Kin di mulut gang kampung ngGladakan yang tembus ke Jalan mBringin, kudengar suara-suara dari belakang. Rupanya Kis mengejarku! Dengan setengah berlari aku menyeberang Jalan mBringin dan banting kanan. Kudengar Kis berteriak di sebelah Nan Kin; “Heee! Kucriiii!t! Kucriiiiit!”
Melarikan diri! Itu satu-satunya penghuni kepalaku. Lari dan lari dan lari sepanjang bakul-bakul kaki lima, warung-warung kelontong. Babah Peng Ki … Bu Jayus … Ci Pli … Belok kiri ... Jalan Damarjati … Sampai rumah Nomer 116 … Dan aku seperti dikatrol dari neraka ketakutan.

*Patangan adalah permainan ketangkasan semi martial art. Dengan tangan kita berusaha membunuh lawan kita secara menyentuh kaki atau kepalanya. Maka permainan ini melibatkan tekhnik menyerang dan bertahan (menangkis). Yang terdahsyat di antara temen sekelasku adalah Suharwanto; selain mematikan dia juga memasukkan elemen akrobatik dan keindahan tata gerak.

Fremantle March 14 2013.
Nantikan petualangan berikutnya.
Seri petualangan sebelumnya dapat disimak di :
http://didotklasta.blogspot.com.au/2013/01/bajingan-eh-jagoan-cilik.html
http://didotklasta.blogspot.com.au/2013/02/gita-cinta-pra-sma-dan-seputaran-itu.html
http://didotklasta.blogspot.com.au/2013/03/minggat-alternatif-singkat-dari-laskar_2.html

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN