DEMI CINTA

Kita tak bisa meneruskan lagi. Ini tak bisa dipertahan Bon. Sudah sekian lama terus kita usahakan, namun akhirnya aku harus percaya yang sekian lama tak kupercaya; aku tak akan bisa benar-benar memahamimu, seperti halnya kau pun tak akan bisa benar-benar memahamiku. Pahit memang … Namun tak apa-apa. Bagaimanapun kita telah mencoba, untuk berani saling mencinta, berani mengujinya secara nyata dengan menjalani ini semua, bersama. Jika ternyata, sesuatu yang kita bangun sekian lama ini tak berhasil, pasti ada sesuatu lain yang berhasil. Mungkin apa yang kucapai dan apa yang kau capai tak sama, namun aku yakin, kita sama-sama akan menjadi lebih baik. Seperti katamu; kita adalah dua bunga yang terus dan makin mekar. Kita tetaplah dua bunga dan dua penyiram bunga sekaligus. Akan tetap demikian, meski kita tak bisa lagi terus saling menyiram. Setidaknya, terima kasih untuk sekian waktu kau menyiramiku hingga aku tumbuh-mekar seperti sekarang ini. Sebaliknya kuharap apa yang kulakukan padamu sekian waktu ini, memekarkanmu pula. Waktu mendidik kita, merubah kita … Waktu memberi kita fase … Dan fase kita, berakhir semalam. Menurutku itu adalah percintaan terakhir kita, dan itu indah sekali. Sesudahnya, kuajak kau melangkah pada fase berikutnya, dengan tak lagi bersama. Demikian kebijaksanaan waktu Bon. Jadi, aku pergi, Sami kubawa. Maaf untuk segalanya. Terima kasih untuk segalanya.
Tetap menyayangimu …
Santi
nb.
Makan malam tinggal menghangatkan. Ca sawi. Tambahkan baksonya kalau sudah panas, tak perlu sampai mendidih.
#

Setelah lima belas tahun tepat, menjalani berbagai macam jenis penghidupan untuk … tak untuk apapun ternyata, selain (hanya) untuk berhenti dari itu semua oleh sebab merasa tak sesuai hasilnya, atau melawan boss dan didepak boss atau bosan diatur-atur uang, atau mendapati kebrengsekan dari apa yang dikerjakan, ataupun merasa kehilangan makna dari apa yang dikerjakan, dan pada semuanya itu, bukanlah membela diri kalau ia katakan bahwa selama lima belas tahun belakangan ini ia tak menjalani hidupnya sesuai hasrat hati, dan bahkan kemudian ditinggal pergi pula oleh Santi; istrinya, dengan membawa serta anak lelaki mereka; Sami, dan ini adalah puncak dari pengalaman ‘ditinggalkan’, setelah dulu satu-satunya kakaknya tersayang yang sangat menyayanginya pun menikah untuk lantas meninggalkannya, pindah ke lain kota; tempat mertuanya, yang kemudian disusul dengan kematian ibunya tersayang yang sangat menyayanginya sebab digerogoti rasa merana yang berlarut-larut semenjak ditinggal mati bapaknya tersayang yang sangat menyayanginya, akhirnya …
Hari pertama setelah 15 tahunnya, Jamesbon pun sampai pada pemikiran bahwa hidupnya sesungguhnyalah tak menarik dan ia ingin mulai sesuatu yang sama sekali baru, yang menarik, terlebih lagi; menggairahkan, dengan sesuatu yang pernah sangat menjadi keinginannya namun dikuburnya sendiri sampai ia nyaris tak menyadari bahwa ia (pernah) punya keinginan semacam itu.. Menulis sebuah buku cerita. Menurutnya gagasan itu tidaklah berlebihan.
Memang Jamesbon tak berpikir pula bahwa ia punya bakat untuk itu, namun setidaknya nampak betapa enak menjadi seorang penulis, tak seperti buruh-buruh pabrik di kotanya yang pergi-pulang-pergi-pulang kerja secara hambar; robot suruhan majikan belaka, atau tentara yang digerakkan dengan aba-aba ini-itu; robot suruhan komandan belaka, atau pegawai tata usaha instansi yang tenggelam dalam rutinitas daur birokrasi belaka. (Jadi) Penulis. Ya ya … Tak kemana-mana, duduk saja, berurusan dengan aneka imajinasi dan kreatifitas. Tanpa boss, bisa melakukan apapun terhadap dunia ini, hidup ini, dan dapat uang. Bisa jadi, meski bukanlah pertimbangan; akan terkenal pula. Yang jelas, bebas.
Semasa kecil hingga remaja Jamesbon lumayan gemar membaca karena ia tak cukup pandai bergaul sehingga di luar sekolah lebih senang di rumah saja, dan kakak perempuannya adalah seorang kutu buku. Tetapi Jamesbon hanya memilih majalah atau cerita bergambar dari banyak bacaan di buffet ruang tamu itu. Hingga sekarang telah ada ia baca beberapa buku tebal. Sedikit, tapi baginya itu beberapa buku yang bagus. Salah satunya ‘Jacob Si Lurus Hati’, itu mungkin dua tiga tahun lalu dan sungguh cerita yang hebat; tentang seseorang yang meraih hidupnya semata dengan dan sebab kejujuran. Ia beli di los buku bekas di pasar kota sebab iseng dan lelaki tua penjualnya begitu muram dengan pekerjaannya, mungkin sebab sukar membuatnya bisa kaya, seharga tiga ribu perak.
Maka ? Setelah sukses kesekian menjualkan sebidang tanah dengan komisi lumayan, Jamesbon pun menjual sepedamotornya, laku tujuh juta empat ratus ribu, ia belikan seperangkat komputer bekas, mengontrak pondok kecil di pinggiran kota yang dapat murah dan dari terasnya bisa melihat bukit yang bagus bentuknya meski sayangnya, gundul, sisanya ditambah sejumlah tabungannya, direncanakan dapat ia pakai bertahan hingga, syukur-syukur, 6 bulan ke depan, lantas berpamitan dengan kakak perempuannya lewat surat, termasuk memasrahkan rumah mereka seisinya dan begitulah, Jamesbon mulai sesuatu yang baru; keinginan terpendamnya; menulis buku cerita.
Jika dikatakannya di awal tadi bahwa ia tak punya bakat, sebenarnya tak persis demikian yang dimaksudkannya. Mungkin lebih tepatnya, Jamesbon ragu apakah cukup berbakat atau tidak. Dan karena selama ini tak pernah sungguh-sungguh bermaksud mencoba, dianggapnya saja tak cukup bakatnya. Dan karena sekarang akan dicoba secara serius, paling sedikit Jamesbon berharap semoga ada peluangnya, seberapapun. Namun yang jelas ia merasa ada sesuatu kegairahan untuk mengawali hal satu ini; menulis. Apalagi kata orang, bakat itu hanya sedikit prosen dari seluruh faktor kebisaan akan sesuatu.
Baiklah … Itu adalah hari Rabu sore setelah beberapa bagian terakhir mengenai pembenahan pondok telah dibereskannya dan hujan dipenghujung musim hujan baru saja reda. Jamesbon duduk menghadapi komputer, sedang mencoba memutuskan satu dari sekian tema cerita yang selama berbenah-benah dua setengah hari ini telah ia kumpulkan, menurutnya demikian prosedur awal dari kerja penulis.
Jamesbon tak mau hanya membikin cerita yang cuma ‘begitu-begitu’ saja. Yang diulang-ulang di majalah populer atau dalam sinetron itu, atau pada pelajaran mengarang di sekolah seperti yang ia ingat tentang guru bahasanya di sekolah lanjutan tingkat pertama maupun atas dulu, yang nampak benar kalau mereka sebenarnya tak cukup menguasai hal karang-mengarang secara praktis - di mana sih ‘ceritanya’ dari cerita-cerita yang mereka contohkan itu ?! Jamesbon mau yang benar-benar ‘lain’, tapi barang tentu tak sekedar lain. Mesti disukai banyak orang, mesti ada maknanya, makna itu bisa ditangkap banyak orang, dan orang-orang setuju bahwa itu memang sesuatu ‘makna’. Yah … Bahkan sejujurnya, dalam hal ini belum-belum ia sudah berlebihan. Jamesbon sudah langsung membayang-bayangkan bahwa ia adalah seorang (calon) penulis besar yang tentu; dengan (bakal) buku ‘besar’ hasil karyanya.
Tapi memang meski ini mungkin cuma alasan kecil saja dari ke’ge-er’an, bisa dikatakannya bahwa satu hal lain yang tak diketahui orang (kecuali Santi) tentang dirinya adalah, bahwa Jamesbon itu sebenarnya pengkhayal, dan apalagi tentang apa saja yang ia khayalkan, tentu orang-orang lebih tak tahu lagi. Bisa ia katakan, bahkan di luar dugaan mereka; betapa, khayalan seorang Jamesbon. Kata orang Si Aquarius itu punya daya imajinasi di atas rata-rata, kreatif, peka dan punya kehalusan yang katanya menjadi modal utama seniman, termasuk penulis tentu.
Nah, di Rabu sore itu, apa ? Atau akan dimulai dari apa, sebuah cerita yang bakal jadi karya utama seorang penulis yang maka lantas ia jadi bernama besar bahkan kalau perlu paling mashur sepanjang masa, kalau perlu pula, diterjemahkan dalam lebih banyak bahasa dari karya sastra yang paling banyak diterjemahkan, ditambah lagi menjadi bacaan wajib di semua sekolahan di semua negara yang telah menterjemahkannya, diangkat dalam film layar lebar, sinetron, lakon drama, diseminarkan, menjadi topik skripsi, tesis dan disertasi, meraih penghargaan tertinggi dari tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional ? 
Masih lagi cerita itu pun mengilhami masyarakat luas hingga terjadi perubahan menentukan di semua bidang, tak lagi seperti keadaan sebelumnya yang selayang-pandang hanyalah kebrengsekan dan kebusukan yang bisa jadi lama-lama (atau sudah ?!) akan membuat orang dewasa memandangi sesosok orok dengan penuh penyesalan(seperti yang kurag-lebih ditatapkan Jamesbon pada Sami empat tahun lalu) ; kenapa lahir Buyung ? Pencerahan … yang belum pernah terjadi dalam sejarah pencerahan umat manusia sepanjang sejarah dan bahkan tak terbayangkan akan adanya pencerahan yang lebih cerah lagi sesudahnya … Tak lain dengan terbitnya buku cerita hasil karya Jamesbon nanti.
Ah, tidak … Itu kelakar saja, melambung-lambungkan diri saja, meskipun apa salahnya juga ? Tapi meskipun Jamesbon bukan orang yang cukup rendah hati, tapi ia sepakat bahwa rendah hati itu ada gunanya. Misalnya untuk saat itu, saat ia termangu-mangu di depan komputer di suatu Rabu sore berbau tanah dan daun-daunan basah. Waktu bisa terbuang percuma untuk hanya melambung-lambung menggantang asap tentang penulis top. Dengan kerendahan hati, Jamesbon bisa memulai itu secara lebih enteng dan rileks, sebab maka ia akan memulai dari yang sederhana, meski tentu ia berpegang pada sesuatu yang mesti tetap tak bisa kalau hanya cerita yang ‘begitu-begitu’ saja.
Detik pertama setelah salah satu dari dua orang terakhir yang bertahan hidup dalam Perang Dunia V, mengakhiri regangan nyawanya, dunia pun menjadi sunyi, hanya ia sendiri. Ketika ia pesimis dengan masa depan peradaban dan lantas mau bunuh diri, tiba-tiba … entah, barangkali apa itu yang disebut-sebut orang sebagai tuhan ? Kalau iya ia ingin menuntutnya sebagai penjahat perang … Atau … Nun jauh di pelosok rimba raya terkenal dan menjadi salah satu dari tiga daerah yang masih tak bertuan selain angkasa luar dan dasar samodra raya, terdapatlah sebuah masyarakat asing yang orang-orangnya adalah manusia yang telah berevolusi lebih lanjut, kehidupan dalam masyarakat itu adalah kehidupan impian semua manusia … Atau … Ia adalah guru bimbingan – konseling yang baru. Masih muda, mirip Al Pacino dan bersenyum tipis yang dingin tak bisa ditebak. Entah kenapa Dewi tak percaya padanya namun sekaligus penasaran padanya. Dewi berjalan menuju ruang BP sambil membayangkan tentang pelecehan seksual, campur-aduk dengan semacam hasrat yang semalam ditulisnya di buku harian … Atau … Pada suatu hari dimasa kemarau panjang, sebut saja; seekor kancil, sedang berjalan-jalan menyusuri pematang dengan lahan ketimun di kanan-kiri. Buahnya lebat menyembul-nyembul mengundang angan akan sepiring besar rujak dengan cabai rawit 20 biji serta diberi es … Tapi sayang, kancil ini jadi tak suka dengan cerita ‘Kancil Mencuri Ketimun’ semenjak ia sadar bahwa petani yang menanamnya itu ternyata cuma buruh perahan tuan tanah saja … Atau … Cucu-cucuku … Syahdan dijaman dahulu kala … Ah, tak cukup membikin Jaemesbon ‘ngeh’. Beberapa tema lagi yang tersisa ? Juga begitu-begitu saja. Harus betul-betul lain. Ya, apa, atau dimulai dari apa, sebuah cerita yang bakal jadi yang terhebat bahkan kalau perlu, paling mashur sepanjang masa ?
Karena sudah diaduk-aduknya stok khayalan dan tak juga mendapat barang suatu yang luar biasa, sementara ia tetap bertahan untuk tak mudah lekas berhenti sebab sesungguhnya ia sedang dalam suasana yang ‘in’ betul, maka pas saat tatapannya begitu saja menggelincir ke sebelah kanan monitor dan membentur pigura duduk bikinannya sendiri yang membingkai Santi sedang menggendong Sami, pun ia jadikan titik tolak gagasan yang belum ada dalam daftar temanya. Memang perihal usang, tapi okelah, akan ia coba dari yang satu itu. Maka Jamesbon mulai memasuki perihal, sungutnya; tema indah-indah-memuakkan, yang disebut : cinta. Semoga tidak ‘begitu-begitu’ saja.
Namun untuk baru mau masuk ke tahap awalnya saja sudah banyak halangannya. Selain kemungkinan berbagai sudut bidik yang mau ia coba ternyata selalu mengingatkannya dengan judul tertentu dari sesuatu cerita cinta – sudah ada, terutama; dilema antara pencurahan-pelampiasan soal individu semata di satu sisi dan di sisi lain (yang berseberangan ?!) adalah aspirasi-aspirasi kepedulian sosial. Sesungguhnya Jamesbon, paling tidak saat itu dan dalam ‘sikon’ itu, lebih berhasrat pada yang pertama. Namun terbersit pula; bisa-bisanya perihal cinta(-cintaan) lebih ia kedepankan dibanding kebobrokan sistim dalam masyarakat misalnya. Padahal sistim ini adalah total sistim yang menyistimi apa saja segi-segi, wilayah-wilayah kenyataan kehidupan, total Tentunya perihal cinta pun total tak luput pula dari pembobrokannya. Lalu bagaimana Jamesbon mau bercerita tentang cinta sebagai sebuah kenyataan tersendiri di pulau isolasinya sendiri, steril lagi ? Malahan Jamesbon harus jujur bahwa dalam hatinya ada pretensi justru untuk sejenak lepas dari total sistim, melalui cinta ?! Jadi ini bukan soal memulai sesuatu yang baru ? Ini soal ‘(pe)lari(an)’ belaka ?!
Jamesbon mematikan komputernya karena menyadari bahwa apa yang akan ia mulai tidaklah semudah itu. Belum-belum ia sudah langsung berhadapan dengan perkara penilaian dan sikap, belum-belum ia sudah mesti mempertanyakan motif dasarnya sendiri. Setidaknya ia menyadari kalau ternyata kepalanya lumayan pening. Lalu Jamesbon pergi ke depan untuk gerak badan alakadarnya, meski tanah becek ia tak peduli, yang penting dapat sedikit berkeringat dan lantas mandi. Kesegaran sehabis mandi nanti pasti membuatnya tak pening lagi.

#

Setelah paragrap terakhir, kalimat terakhir, kata terakhir ia selesaikan dengan sebuah kalimat bernas dengan tanda titik tiga dan tiga tanda tanya, barulah Jamesbon berpikir-pikir; lantas akan dikirim kemana cerita itu ? Atau ke sebuah majalah remaja ? Yang mana ? Atau ke sebuah surat kabar nasional ? Yang mana ? Atau majalah sastra budaya ? Yang mana ? Atau koran daerah, tabloit keluarga, mingguan populer …? Yang jelas akan dikirimkan, memang demikian rencananya setelah selama dua minggu berkutat di depan komputer untuk akhirnya menyadari bahwa membikin buku cerita tak semudah itu, dan maka Jamesbon pun memutuskan untuk membikin cerita pendek saja dululah, untuk pengenalan, pemanasan sekaligus latihan. 
Dan satu cerita selesailah juga dibikin, sejam lalu betul-betul ia anggap selesai. Sudah dibacanya sekian kali. Suasana larut selewat tengah malam Minggu yang melangut. Lagu berjudul ‘Badut’ dari seorang musisi bernama Sawung Jabo disetel berulang dan terus berulang. Perulangan dari lagu itu menambah dorongan untuk juga membaca cerita itu berulang-ulang. Ternyata lumayan … jelek juga.
Judulnya ‘Matinya Seorang Cinta’, tapi Jamesbon masih mencadangkan sebuah judul lagi untuk cerita yang sama; ‘Demi Cinta’. Cerita yang merupakan hasil perasan dilemanya setelah mati-matian ia amalgamasikan. Berkisah tentang situasi dan kondisi sesuatu masyarakat yang selalu mencemaskan, prihatin, mengeluh dengan persoalan-persoalannya namun tak pernah beranjak dari kubangan itu sebab tak bisa menemukan bahwa akar segala masalahnya adalah ‘cinta’ yang tak tertemukan lagi pada dirinya dan maka; pada tindakannya. Cinta telah hilang pada masyarakat. Masyarakat meratap-ratapi sesuatu tragedi, dan tak mengakui bahwa yang diratapinya sebenarnya tak lain tragedi cinta. Ini tragis.
Menurut Jamesbon cinta adalah prinsip pertama dan utama dari hidup dan maka; kehidupan. Secara humor sederhana namun tak meyederhanakan; bukankah ia, dan siapapun, lantas ada  hidup lantaran sperma-sperma dari orangtuanya yang bercinta ? Atau lebih umum; lantaran dua orang (lain jenis) yang bercinta. Jika demikian maka untuk terus hidup, cinta pula prasarat utamanya. Namun kenapa di dalam masyarakat - yang menjadi tempat kelangsungan hidup manusia itu - sepanjang sejarahnya sarat dengan lika-liku kesuntukan bertahan hidup yang malah lebih dari hidup itu sendiri ? Bertahan ? Siapa pula yang menyerang ? Ia, menyerangmu ? Dan karena ia ternyata juga repot bertahan, bukannya kamu juga menyerangnya ? Kalau demikian; kalian yang bertahan ini adalah tak lain kalian yang menyerang … Lantas apakah relasi saling bertahan - saling menyerang itu merupakan wujud ‘cinta’ kita ? Relasi ‘cinta’ antara kita ?
Kurang-lebih demikian tadi pikiran pokoknya. Bentuknya adalah semacam cerita berbingkai tapi pendek dan mengadopsi semacam efek visual dari gaya video klip musik yang sedang menjadi trend. Di dalamnya ada beberapa cerita yang seakan berdiri sendiri-sendiri namun ia bikin sedemikian rupa sehingga pembaca akan dengan sendirinya memahami bahwa beberapa cerita tersebut terjalin oleh tema besar perkara ‘cinta’. Seperti halnya segala peri hidup ini seterserak-serak apapun juga sesungguhnya tetap terkerangkai oleh desain besar perkara ‘cinta’. Inilah yang mau dikatakan Jamesbon.
Jadi menurut Jamesbon perihal yang diungkapkannya dalam cerita itu adalah relevan bagi siapa saja. Tak cuma ada hubungannya dengan semua pihak, tapi juga semua pihak berkepentingan dengan ini. Selain itu hasil karyanya itu menurut Jamesbon telah ia bikin sedemikian rupa hingga menisbikan pembeda-bedaan cerita berdasar mutu penggarapan dan maka; tingkat apresiasi khalayak. Jadi dengan demikan menurut Jamesbon semua media massa cetak dengan masing-masing statusnya dari bacaan intelek sampai bacaan klas kambing bisa cocok dengan cerita itu.
Tetapi justru semakin ia yakin bahwa hasil karyanya sangat berkemungkinan untuk bisa diterima bahkan diminati secara umum meskipun secara tidak kacangan, justru Jamesbon merasa bahwa itu adalah karya yang tak berharga, sebab artinya karyanya itu ya kacangan juga sebenarnya. Dan menurutnya sebuah karya tak berharga sudah semestinyalah lahir dari seorang yang tak berharga pula. Jamesbon terhenyak dengan bersitan pemikirannya. Tak berharga ? Karya tak berharga dari penulis tak berharga ? Jamesbon jadi senewen. Bagaimana mungkin ia meninggalkan semuanya, memulai sesuatu yang baru, hanya untuk jadi tahu bahwa ia tak berharga … Bahwa ia bukan apa-apa … Jadi hanya untuk menegaskan apa yang telah ternyatakan dalam hidupnya selama ini …
Tulisan dalam kertas-kertas itu jadi mengabur. Sambil memandangi hurup-hurup yang bagai berkeriapan, Jamesbon merasa mendengar ada yang bilang sesuatu dari dalam dirinya, pada dirinya. Apakah sesungguhnya malam itu adalah sebuah situasi yang berkisar belaka pada kesendiriannya seseorang tak berharga (dan makanya jadi sendiri !), yaitu Jamesbon ? Dan hal-hal seputar cerita ‘Matinya seorang Cinta’ atau mungkin ‘Demi Cinta’ hanyalah satu dari sekian banyak kemungkinan pernyataan kesendirian itu yang kemudian menyata. Ya … Apakah  sesungguhnya Jamesbon hanya ingin meracau tentang dirinya yang tiba-tiba di malam Minggu itu jadi demikian sebatangkara ?
Ya, bahkan meracau, sebab di dekat asbak di samping kirinya ada sebotol minuman keras cap Mata Satu berkadar alkohol 35 %, dan itu adalah botolnya yang pertama setelah ‘pensiun’, yaitu semenjak Sami lahir empat tahun lalu. Dan pada pukul satu lewat dini hari itu memang Jamesbon tak mengelak jika ada unsur kemabokan yang mulai ia dengar langkahnya mengendap sepanjang gang menuju bilik benaknya. Kawan lama.
Tiba-tiba antara yakin tak yakin, sepertinya ada yang mengetok pintu depan, tapi dalam alunan lagu ‘Badut’, suara ketokan itu jadi seperti bagian dari improvisasi perkusi yang mengiringi lagu itu. Jadi Jamesbon hanya selintas saja memperhatikan, lantas dibiarkannya saja. Setidaknya ia berpikir bahwa paling-paling hanya pendengarannya saja; yang memang terkadang jika situasi sedang semacam itu, kata orang akan terdengarkan sesuatu suara yang tidak nyata. Ketokan itu terdengar lagi.
Jamesbon menarik tuas laci. Belum lagi sebulan di rumah baru dengan ‘kehidupan’ baru, tentu laci belum macam-macam isinya. Hanya ada sedikit benda-benda kemarin. Dompet, kaset lama Leo Kristi, sisir, dua tiga buku, sebuah foto, kertas-kertas, kitab suci, pernik-pernik dan belati. Diambilnya yang terakhir. Belati kenangan masa lajang, sewaktu dulu pernah ada masanya Jamesbon jadi berandalan; untuk jaga-jaga sebab kemungkinan-kemungkinan buruk dalam pergaulannya waktu itu. Ia belum pernah membunuh orang. Sesungguhnyalah dalam keberandalannya baru dua kali Jamesbon sungguh melukai orang, dimana untuk itu ia lebih terluka lagi dibanding musuhnya.
Dimatikannya lampu neon dua lima watt, dinyalakannya lampu kecil lima watt berwarna hijau. Sambil menenggak dari botol di tangan kiri secara penuh perasaan, Jamesbon menelusuri belati di tangan kanan juga sepenuh perasaan, berganti-ganti dengan tatapan sayunya pada pigura di kanannya, lebih sepenuh perasaan. Melodramatis; memang ia sengaja. Jamesbon butuh bangunan suasana yang tidak biasa. Ia begitu saja teringatkan sesuatu. Sekitar berapa tahun lalu ? Lupa.
Teringatkan, Jamesbon sedang melepaskan ketegangan di sebuah kedai jamu kuat yang juga (tentu saja) menyediakan minuman keras di depan pusat perbelanjaan yang dulunya merupakan tangsi batalyon infantri sekian sekian di kotanya.
Tiba-tiba ia dihampiri seseorang yang setelah minta api lantas begitu saja mengajak ngobrol, yang lama-lama menjadi lebih tepatnya menumpahkan isi hatinya pada Jamesbon. Intinya malam itu ia ingin bunuh diri. Namun ia ingin dengan cara yang tak lazim, yang sedikit banyak akan menimbulkan kehebohan. Katanya, itu harus merupakan sesuatu karya seni. Ya, ternyata pembosan hidup itu adalah seseorang yang suka dengan hal-hal seni dan punya latar belakang keluarga seniman, meski sama sekali tak terkenal. Bapaknya pelukis-pematung lokal, ibunya penari, kakaknya pembuat taman, adiknya bersuami seniman-pengamen jalanan. Mungkin inilah yang membuatnya menghampiri Jamesbon. Rambut panjang sepinggang dan di leher serta pergelangan tangan penuh kalung-gelang aneh-aneh … Ia tentu berpikir, menilik penampilannya, Jamesbon boleh jadi seorang seniman. Itu tak persis benar namun juga tak demikian meleset. Jamesbon memang punya keinginan terpendam masa kecil, menjadi seniman.
Sebenarnya Jamesbon tak terlalu percaya dengan keinginannya malam itu. Bunuh diri ? Bahkan orang cengeng dalam sebuah lagu cengeng pun meratapkan ‘bunuh diri’. Jadi; klise. Ia sendiri sampai tak bisa menghitung berapa kali sudah berkeinginan klise bunuh diri, yang juga ternyata hanya di kata-kata, dan sudah begitu saja lupa sewaktu bangun pagi esoknya. Padahal selain deraan kecengengan remeh klise yang sama, acap kali pula memang sungguh tertekan benar oleh persoalan yang tak main-main. Dan sungguh-sungguh pula butuh jalan keluar dan, tak menemukannya. Oleh karena itu yang ia simak dari ‘bakal calon pembunuh diri’ ini bukan tentang solusi a la-nya. Jamesbon lebih berusaha memahami kebosanannya pada hidup. Menurut orang itu hidup (hidupnya ?) hanya begitu-begitu saja.
Ternyata ia adalah seorang, sebutlah veteran kekelaman sejak remaja. Veteran sebab semua itu sudah ditinggalkan, kecuali ‘minum’ jika ini termasuk kekelaman. Namun bukan veteran sebab insaf, melainkan bosan. Aneka kenistaan telah diperbuatnya, aneka kepahitan telah menimpanya, aneka kebrengsekan telah mengenyangkannya, aneka kekacauan telah membelit-belitnya tanpa ujung-pangkal lagi. Dan setelah semuanya itu, ia, malam itu, terbentur pada kenyataan bahwa tak ada yang baru. Ia tak mau hidup jika hanya untuk menjalani yang sudah-sudah, buat apa hidup hanya rutin-rutin belaka, mengulang-ulang belaka ? 
Memang banyak hal-hal baik yang tak atau belum ia kerjakan, namun hal baik itu untuk orang baik, dan ia adalah orang tak baik. Ia tak bisa membayangkan, beride, memikirkan sesuatu perbuatan baik, sebab itu semua tak eksis di benaknya. Maka begitulah; malam itu Jamesbon didatangi orang yang mau bunuh diri.
“Apalagi ? Coba kamu katakan sesuatu perbuatan kelam … Ya tentu saja, aku tak sesombong, tak semembual itu untuk mengatakan bahwa memperkosa dan membantai gadis kecil misalnya, pun sudah kulakukan. Atau menghancurkan dunia ini dengan bom nuklir. Maksudku, apa saja yang kulakukan selama ini, menurutku cukup. Bagiku sendiri, aku sudah ‘selesai’, tahu kan maksudku ? Dan ‘selesai’ ini harus dengan sesuatu penyelesaian. Dan bagiku, tanda penyelesaianku ya bunuh diri itu … Tahu kan maksudku ?”
Setelah nampaknya orang itu selesai dengan curhat-nya dan dengan demikian Jamesbon jadi lumayan bisa memasuki situasi dirinya, entah kenapa Jamesbon punya gagasan kuat untuk mengajak orang itu langsung malam itu juga menemui seorang kawan yang punya sebuah kelompok drama. Namun memang yang ia komentarkan pada orang itu adalah hal-hal seputar hambatan mengekspresikan diri, mengangkat sesuatu yang mendekam dalam penjara bawah sadar.
Orang itu yang lantas menyebut namanya Mecky ternyata mau sekali. Dan sejak itu, baik oleh pengakuan Mecky sendiri maupun berdasar pengamatan Jamesbon, ia berubah banyak. Gairah dan semangatnya muncul. Menurutnya, ia jadi punya alasan untuk memupus bosannya. Ya berdrama-ria itu. Bahkan kemudian Mecky bisa (kembali) jatuh cinta, dan bukan cinta yang ‘ngeseks’ saja, tapi sebenar-benarnya cinta, setidaknya begitu menurut Mecky. Tak lama berselang pula Mecky pun jadi tukang parkir rumah bilyar A, yang dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Dikatakannya bahwa ia sama sekali sudah tak ingin bunuh diri lagi.
Jamesbon gembira dan bersyukur sebab melihat Mecky jadi lumayan baik-baik saja, meskipun Mecky tak pernah mengatakan tentang ‘insaf’ dan sejenisnya. Apalagi setelah makin mengenalnya Jamesbon jadi berpikir bahwa situasi malam dramatis mereka bertemu pertama dulu itu adalah sungguh-sungguh, tidak klise.
Sekarang apa kabarnya ? Jamesbon mengenang dengan senyum yang cenderung mengandung kekecutan. Betapa tidak ? Mengenang yang dulu, menyadari yang kini, melihat diri sendiri, menelusuri belati, menatap pigura dengan tambah sayu lagi, diterpa kata-kata mutiara yang saat itu juga tak bisa ditahan-tahan untuk ia rangkai secara spontan, demikian : kesendirian adalah tiang gantungan, tali gantungan, algojo, tuas pembuka lantai dan hitungan mundur.  Terhukum adalah … 
Kekecutan senyum berubah perlahan menjadi kegetiran senyum yang menuding-nuding pada senyuman itu sendiri. Menohok ke balik senyum itu. Dan di balik senyum itu bersembunyi; dari seorang promotor kehidupan mau beralih jadi … Bukan, bukan cuma promotor kematian, malahan kandidatnya ?! Haaa … ? Apa yang akan ia lakukan ini ? Tolol ! Klise !
Terdengar lagi suara ketokan. Lagu Badut lama-lama seperti hipnotis, paling sedikit mulai melarutkan keadaan psikologisnya yang gamang menimang-nimang belati. Tapi tiba-tiba Jamesbon tersentak, segera menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengetuk pelipisnya dua tiga kali dengan pangkal gagang belati.
Jamesbon lantas mencoba membaca lagi; ‘Matinya seorang Cinta’ atau ‘Demi Cinta’. Temaram, tepatnya suramnya cahaya lampu hijau lima watt bukan masalah, sebab cerita itu sudah merasuk benar secara bagaikan tertulis-tulis di benak dan hatinya. Jadi Jamesbon sedang membacai dirinya sendiri. Apakah ia sedang mengingatkan ? Seakan hanya dirinya yang hidup dengan cinta … Tidak, Jamesbon sama saja. Semua, ya semua … mati cintanya. Atau yang lain-lainnya sebenarnya tidak ? Mereka biasa-biasa saja dengan cinta ? Jamesbon saja yang bukan bagian dari mereka semua ? Dan gagasan menjadi penulis hanya mencari-cari peluang bisa membalik situasi itu, dalam khayalan ? Memenangkan sesuatu, khayalan ?
Dan ketokan terdengar lagi berulang-ulang lebih keras. Di luar Santi dan Sami memanggil-manggil Jamesbon. Mereka bersama banyak orang. Banyak sekali orang. Semua memanggil-manggil Jamesbon, dengan nada yang manis namun parau, terkadang sayup-sampai, bagai jauh tapi dekat, dekat tapi jauh.

#

Apa yang terjadi ? Sungguh tak terduga. Semua media massa cetak yang dikirimi cerita itu memuatnya, dan dapat dikatakan dalam waktu yang bersamaan. Jamesbon sendiri tak habis pikir; bagaimana bisa ?
Lantas ? Berikutnya terjadi pula hal yang juga tak terduga. Jamesbon mendapat kiriman surat banyak sekali dari mereka yang telah membaca ‘Demi Cinta’ - judul itu yang akhirnya dipilih Jamesbon. Inti isi dari surat-surat itu sama; semacam pemberitahuan dan penegasan bahwa mereka semua masih punya ‘cinta’. Bahkan juga diterimanya pula surat-surat dari semua media massa cetak yang telah ia kirimi dan memuat ceritanya itu, dengan inti yang sama; bahwa mereka semua masih punya ‘cinta’. Terakhir Jamesbon masih diserbu lagi dengan surat-surat, dari ? Dari semua media massa baik cetak maupun tidak yang intinya memintanya untuk mengirimkan ‘Demi Cinta’ yang sudah menghebohkan ini ke mereka untuk dimuat atau ditampilkan atau dibawakan atau disiarkan, pokoknya dipublikasikan sesuai dengan bentuk medianya masing-masing. Alasannya ? Sama dengan inti dari semua surat lainnya; bahwa mereka semua masih punya ‘cinta’.
Akhirnya, yang paling membikin terperangah, paling tak disangka-sangka, paling membikin tak habis pikir, adalah hujan surat cinta pada Jamesbon. Meski dari orang yang berbeda-beda, namun semua ber’tertanda’ : Santi.

#

Tentu saja Jamesbon tak bisa membalas semua surat-surat itu.

- selesai -
didotklasta pertengahan dua ribu

Comments

Anang said…
satu kata: KEREN!!
#klise yo ben :D
Kalo untuk mengomentari hal lain; misalnya Justin Beibeh, memang besar kemungkinan klise. Tapi kalo ini tentang komentar terhadap karyaku (dan tentu diriku), kukira sangat tidak klise. Kau hanya tak lagi punya kalimat panjang-lebar untuk menggambarkan keterpesonaanmu. YO RA???!!!

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN