ANTARA AKU, ROSA DAN SESUATU YANG MEMUAKKAN

Sayap Sayap Cinta Full Of Shit, mix
material di kertas, DidotKlasta,
2015.
Hubungan khusus yang intim, saling menyayangi, saling peduli dan berbagi secara palsu dan memuakkan atau lazim disebut sebagai percintaan, pun lalu terjalin, yaitu setelah kami dengan munafik dan membohongi diri sendiri bisa mempertemukan atau mengkompromikan barang suatu kepentingan egois masing-masing pada barang suatu 'titik tertentu'. Dia kesepian, tak punya teman, tak pernah disapa, dan mimpi terburuknya adalah bangun tengah malam tak karena mimpi apapun lalu mendapati dirinya sendirian, makin tua dan tidak tegar; demikian mimpi buruknya. Demikian halnya aku, sama saja.
Tentu ada hal-hal lain yang saling menarik antara kami, misalnya bibirnya mirip bibir ratu dangdut lokal kota ini yang mirip diva dangdut nasional di televisi dan cara bernapasnya mengingatkanku pada dada bintang film bom seks internasional. Atau pas pertama aku jalan-jalan Malam Minggu dengannya, uangku lagi lumayan fleksibel untuk sekedar berlagak di kota kecil ketinggalan jaman ini dan menjadi sempurna oleh mulutku yang cakap membual.
Namun orang lain tentu bisa saja berpendapat bahwa sejumlah hal lain di atas bukanlah hal lain, melainkan ya memang cuma itulah halnya. Atau tak ada yang terlalu berarti untuk membedakan segala hal-hal itu? Atau bahkan memang tak bisa dipilah-pilah menjadi sesuatu hal yang berdiri sendiri-sendiri? Semuanya adalah ‘hal’ atau semuanya adalah ‘bukan hal’. Terserah. Buat apa pusing-pusing? Bagaimanapun semua orang bercinta. Seperti apa saja. Dan aku sedang bercerita soal cintaku.
Begitulah Saodara, inilah sebuah gaya cintaku masa kini. Dan karena selain punya obsesi cinta saya juga punya obsesi politik, maka cintaku setali tiga wang dengan gaya politik masa kini; tak lain kompromi demi persekutuan tak suci, yang bahkan pada dasarnya secara konsisten saling khianat-mengkhianati; demikian berdasar pengamatanku pada berita-berita.
Sesudah barang suatu 'titik tertentu' itu terlampaui, dipelajari lagi medan transaksinya dengan segala kemungkinan, peluang dan resiko menyangkut segala sesuatu yang bakal kita perdapat - keuntungan; adakah kemungkinan menaikkan tingkatan kompromi? Menguntungkan? Jika tidak, ya sudah. Setidaknya perpisahan, seburuknya perpecahan, separah-parahnya perseteruan. Motif egois di balik percintaan atau mungkin lebih tepatnya mencintai pun mencari papan catur hubungan antar manusia yang baru, penjajagan-penjajagan baru, pendekatan-pendekatan baru, intimitas-intimitas baru; manufer … kompromi baru.
Dan begitulah … Kemudian terjadi pada saatnya; entah kenapa Rosa tak lagi bisa menjawab kebutuhanku akan seseorang yang membuatku tak mimpi buruk lagi, dan sebaliknya. Aku tak tahu sebabnya, kukira demikian pula Rosa. Apakah kami, atau setidaknya aku tak berani jujur terhadap; kebosanan? Tetapi kita, paling sedikit aku, makin tak tertarik dengan sebab. Sebab, mencari sebab sering pada gilirannya mesti menelanjangi diri sendiri, dan sering akhirnya tak bisa menghindar untuk berjumpa dengan; kekurangan diri sendiri. Maka pemecahan-pemecahan lebih sering berupa; lupakan dan tinggalkan, setidaknya; tinggalkan meski tak bisa melupakan.
Begitulah, karena antara Aku dan Rosa tak lagi punya barang sesuatu untuk dikompromikan, artinya harus mencari hubungan baru masing-masing, sendiri-sendiri, dengan orang-orang lainnya lagi, sendiri-sendiri. Apa ini masalah? Masalah juga. Dan seperti saya bilang mengenai obsesi saya terhadap politik; ini seperti masalah politik masa kini; selalu lebih banyak membikin masalah ketimbang solusi. Dan menghabis-habiskan duit yang semestinya bisa digunakan untuk menanggulangi kemiskinan. Demikian berdasar pengamatanku pada berita-berita.
Nah, masalahku, adalah sebab 'percintaan' yang telah berlalu ini kujalani seperti kataku di bagian sangat awal tadi; tak lebih dari kebohongan belaka. Sebab seiring dengan pembikinan kompromi itu, berlangsung pula pembikinan pembenaran nyamannya. Pembikinan alasan yang bisa menerima, mengiyakan bahkan menguatkan tentang dan adanya kepentingan-kepentingan kompromi tersebut. Alasan yang mengabsahkan lengkap dengan, tentu dalam berbagai tingkatan; rejim keabsahan dan otoritas pengabsahan.
Jadi aku sangat-sangat sadar sedang menjalani sambil mengamini sesuatu yang sebenarnya tidak benar, setidaknya menurutku dan bagiku. Jadi ini hipokrit. Dan hipokrit itu selalu menyiksa batin. Ruang keintiman yang kami ciptakan sebenarnya hanya ruang simulasi belaka. Dalam ruang simulasi hanya ada simulasi kebenaran dan kewajaran. Hanya ada sesuatu yang dibuat-buat. Lantas kenapa memangnya ? Rumit.

#

Setelah putus, telah kucoba menjajagi berbagai-bagai macam perempuan paska Rosa. Polanya sama; kalau-kalau saja ada pertemuan kepentingan. Tentu saja dari pihakku tak bisa ditawar mengenai ‘mimpi buruk’ tersebut. Dan sesungguhnya untuk pihaknya, sejauh kebutuhanku tercapai, tak kupermasalahkan benar tuntutan-tuntutan darinya; sejauh aku bisa.
Namun, dari semua penjajakan yang ku, tepatnya kami, lakukan, ternyata adalah mengecewakan. Ternyata di antara kami sama-sama tak memperoleh, paling sedikit, preseden pelampiasan. Ternyata seperti aku, mereka ini semua juga ‘pemimpi-pemimpi buruk’ yang sama.
Dan aku, bukan yang mereka harapkan ada di sampingnya saat tengah malam itu, seperti halnya mereka bagiku. Hal ini sangat membebani pikiran. Karena kesendirian itu membebani pikiran, bikin gila kataku.
Maka, setelah penjajagan pada perempuan ketiga yang sama juga; gagal pada hari ke tujuhnya, timbul keinginan untuk bagaimana semisal bereksperimen tentang alternatif paradigma percintaan?
Bagaimana jika mencoba mencari-cari sesuatu poin lain yang bisa kukedepankan untuk jadi platform hubungan cinta selain perkara ‘mimpi buruk’? Maksudku, mencari atau lebih tepatnya mencoba lantaran-lantaran atau dalam rangka lain untuk menjalin hubungan romantik dengan perempuan-perempuan itu. Pamrih-pamrih lain.
Seks? Dalam rangka seks? Ya … Kenapa tidak? Nikmat pula. Dan begitulah; maka aku bertemu dengan perempuan Z dan sebagaimana lazimnya pun melancarkan segala gerakan yang perlu. Sehingga antara kami terjalin hubungan.
Dengan perempuan Z, kami bisa menjalani sekitar dua bulan hubungan intim secara seksual. Inti maksudnya; sepanjang dua bulan itu tiada lain yang kami kerjakan untuk mengekspresikan hubungan kami selain : berhubungan seks. Saban hari selama dua bulan. Di luar itu ya aktifitas lain dalam konteks ‘seks’, atau aktifitas pendukung. Misalnya mengobrolkan hal-hal seks, nonton filem seks, jalan-jalan membeli obat kuat seks …Tapi ternyata dasar ini tidaklah cukup kokoh. Bagaimana bisa, berhubungan dengan agenda hanya ‘perkara kelamin dan kelamin dan kelamin’ melulu? Tentunya ada hal-hal selain seks. Tapi barulah kusadari, ternyata saat sudah menginjak gagasan yang demikian, aku jadi tak melihat adanya sesuatu kepentingan terhadap perempuan Z. Dan demikian pula sebaliknya. Ini 100 prosen seks.
Hubungan yang tidak sehat. Aku, atau kita, kan tidak hanya satu dimensi? Relasinya pun tentu tak hanya satu dimensi. Tak hanya perkara ‘senggama’ belaka. Ini bahkan hanya dimensi kita yang, menurutku, ‘rendahan’. Dimensi hewan. Dan maksudku tentu saja meski yang kubicarakan adalah relasi fungsional, tetapi kan ini relasi fungsional antar manusia? Demikian halnya menurut pendapat perempuan Z.
Maka pada akhir bulan kedua, kami bersepakat untuk memutus hubungan. Apalagi sesungguhnya dari pihakku sendiri, memang sementara ini pada dasarnya tak berlebihan menekankan perkara seks. Ada sebabnya, tapi hanya akan kubeberkan nanti paska krisis masyarakat total.
Bagaimana jika disangkutkan dengan hal-hal religius? Misalnya, menjalin hubungan intim dengan motif relijius … Atau bahkan ingin berjumpa dengan Tuhan … Atau bahkan; mencari Tuhan?! Aku ada mendengar, membaca dan menonton beberapa cerita sejenis ini. Nampaknya lumayan menarik.
Dan begitulah, secara tak sulit-sulit, segera kudapatkan perempuan yang kumaksud. Perempuan Y. Dan lancar; selama tiga bulan kami pun terlibat dalam sebuah hubungan intim yang relijius. Tiga bulan saja? Bagaimana? Di akhir bulan ketiga, kami bersepakat untuk ‘bubar’. Tetapi untuk yang ini kami berangkat dari alasan yang berbeda. Alasanku; karena aku tak bisa bersandiwara lebih lama dari tiga bulan. Aku ini penyembah berhala, bukan tuhan. Dan kian hari kami berhubungan, kian perempuan Y kuberhalakan. Alasan perempuan Y? Imannya justru makin goyah!
Lantaran apalagi nih? Kebutuhan filosofis kepenuhan eksistensial? Seperti ungkapan; ‘ada bakul ada tutupnya’? Kita semua adalah bakul yang mencari tutupnya, sekaligus tutup yang mencari bakulnya. Ah, ini terlalu berlebihan kepusingannya. Perihal yang hanya membuat termenung. Lantas?
Nah … Harta-benda?! Bisa, bisa ini. Dan bukanya ‘harta-benda’ itu motif yang amat ‘paten’? Ah, kenapa tak terpikir sejak semula .... Padahal malah sewaktu remaja SMA dulu aku sering melakukan hal demikian; memacari perempuan-perempuan sekolahku, juga sekolah lain, yang orang tuanya kaya. Aku jadi bisa bersenang-senang terus. Dulu istilahnya : ngereti.
Hmmm … Kekuatan harta-benda … Belajar dari pengalaman, harta-benda adalah motif yang sangat efektif - kalau bukannya ‘paling’. Manusia kan?
Maka, berhubunganlah aku dengan seorang perempuan X; untuk tak sampai seminggu. Lho?! Yah … Ketika bapak X ini - yang pejabat teras pemerintah kota – terlibat kasus korupsi besar-besaran yang melibatkan semua pejabat pemerintah kota, aku termasuk penggerak di balik aksi-aksi massa men-demo-nya.
Untuk membangga-banggakan diri pada pacar, kuceritakanlah itu sebagai bahan obrolan malam Minggu kami. Langsung ia mengatakan : putus! Yah … Aku tak tahu kalau bapaknya yang kontraktor itu tersangkut skandal ini. Ternyata dia adalah kontraktor ‘anak emas’, sebab? Sebab adik iparnya, jadi termasuk oom-nya pacarku, adalah pejabat teras pemerintah kota bapak X. Kalau saja sejak awal aku tahu … Ngapain ngurus korupsi …?!
Lalu apa lainnya; udang-udang di baliknya batu mulia percintaan itu ? Nggg ... Politik sajalah ya!? Ini mestinya bisa. Aku termasuk orang yang sangat percaya dengan dan pada politik, untuk hampir segala hal. Termasuk pengaruhnya yang menentukan dalam dunia per'asmara'an. Seperti sebaliknya; asmara dalam perpolitikan. Jadi bagaimana, bisa dicoba?
Belum lagi sempat menimbang-nimbang secara seksama, sementara itu, negara di mana aku dengan agak terpaksa menjadi salah satu warga negaranya, telah sedang bersiap menyongsong era demokratisasi di segala bidang yang dimomentumi dengan : Pemilihan Umum multi partai, lima bulanan kedepan.
Eforia! Tetangga berpartai, Oom-Tante berpartai, penjual sayur keliling tak mau ketinggalan, tukang jam tak mau kalah, preman - anak sekolah juga. Bahkan Bapak-Ibu aktip jadi pengurus anak cabang partai tertentu. Bapak ketua, Ibu bendahara. Adik di bagian kepemudaan dan Kakak masuk satgasnya. Kakek didudukkan sebagai penasehat. Namun Nenek sudah meninggal pada pemilu kemaren, dalam posisi netral, atau tak jelas, aku tak pasti.
Aku sendiri? Sebentar … Apa bisa kujelaskan status politik-ku? Tentu tidak pada siapa saja kan? Yah, untuk jaga-jaga saja. Ini perkara sensitif-politis, di saat-saat sensitif-politis. Saat-saat seperti ini situasi adalah bensin dan kepala-kepala orang adalah pentol korek api. Dan politik adalah orang menyalakan rokok. Dan politisi adalah perokok-perokok … Yang membuang puntung sembarangan … Jadi benar-benar tidak main-main politik itu.
GHLERRR!!!
Benar apa kubilang … Geger! Pemilu geger. Ini bermula dari kampanye putaran pertama oleh partai G di kotaku. Apa sebab ?
Partai satu ini aku aktifisnya, tapi ini rahasia! Dan kenapa aku memilih mengafiliasikan kemerdekaan politikku pada Partai G, ini juga sementara ini kurahasiakan dulu sampai nanti paska krisis masyarakat total. Yang jelas jangan sekali-kali berpikir aku bersungguh-sungguh dengan ini semua. Sebagai kader handal, aku ditugaskan oleh partai untuk menjalankan operasi intelejen politik rahasia dengan target sebuah partai rival utama Partai G, yaitu Partai P. Tapi ini cuma operasi tingkat cabang saja.
Ialah perempuan sangat manis yang - percaya tidak? - menjabat sebagai komandan satgas Partai P itu! Namanya Nn. Nah, karena memang aku lihai, operasi berjalan sukses, namun juga tidak sesukses itu. Maksudnya demikian …
Aku memang berhasil berpacaran dengan Nn; dengan tujuan? Oke, justru untuk kepentingan operasi intelejen subversif politik rahasia ini malah akan kubeberkan saja secara blak-blakan tanpa menunggu paska krisis masyarakat total. Sebab memang pembeberan ini merupakan salah satu taktik-strategi dari operasi rahasiaku. Sangat-sangat sederhana, sering terjadi, sangat-sangat biasa dalam percaturan politik. Bahkan termasuk seni dalam ber(perang) politik. Tetapi ini bukan ‘perkawinan politik’, ‘perceraian politik’ ataupun ‘perselingkuhan politik’. Dan bukan pula ‘pacaran politik’ … Ini adalah ‘cinta politis’! Begini …
Cinta itu buta, aku sangat setuju. Nah, Nn akan kubutakan agar lantas mau membeberkan kekuatan dan strategi satgas-nya. Satgas? Justru di sini kunci sebuah partai politik dalam konstelasi politik yang penuh kekerasan berhukum rimba dan berlogika otot.
Tentu tidak lalu to the point. Dan perkara ini aku ahlinya; bagaimana membikin manufer kata-kata yang tersirat seakan sekedar perihal kemanisan cumbu-rayu menghanyutkan, namun tersurat penuh muatan politis. Apalagi karena cintanya, pasti pikiran, penilaian Nn akan bias, akan hilang waspadanya. Nn bakal mabok! Terlebih, jelas ia tak tahu, bahwa aku adalah kader Partai G. Bagaimana? Salah Kedaden …
Sebenarnya juklak penugasanku hanyalah untuk berpacaran saja, tak lebih. Dengan ‘tak lebih’ maksudnya aku tak boleh mengadakan perhubungan intim ‘lebih jauh’. Tentang ‘lebih jauh’, kupikir jelas maksudnya kan? Tapi … Celakanya … Di suatu malam yang indah, aku dan Nn sama-sama demikian maboknya dan peduli setan, hingga terjadilah hal ‘lebih jauh’ itu. Celaka …! Celaka …!
Tiga bulan kemudian, Nn mengajakku menikah. Tentu saja aku tak mau. Sebenarnya Nn – yang komandan satgas – sudah akan memaksa memakai jalur kekerasan, tetapi posisi politiknya membuat ia tak bisa segegabah itu. Bayangkan saja; seorang komandan satgas Partai P memukuli orang gara-gara hubungan intim … Apa jadinya Partai P di mata masyarakat?!
Lantas aku menghilang dan tibalah musim kampanye. Atas desakan orangtuanya dan orang-orang partainya, Nn pun mengaku bahwa ia (entah istilah ini tepat tidak?) dihamili oleh, ia menyebut namaku. Celaka …! Celaka …! Tentu saja Partai P pun mempunyai biro intelejennya sendiri. Dan dengan pelacakan intelejen diketahuilah ‘siapa’ aku. Termasuk terbongkar pulalah misi politik di balik percintaanku dengan Nn.
Seperti sudah kukatakan di atas, ini semua adalah konstelasi politik yang penuh kekerasan berhukum rimba dan berlogika otot. Dan begitulah, ketika kampanye putaran pertama Partai G di kotaku, konvoi kami yang baru pulang dari rapat akbar dicegat satgas dan massa Partai P. Selanjutnya, mudah diperkirakan. Yang di luar perkiraan; ternyata bentrok politik di kotaku merembet ke kota-kota lain, bahkan menjadi bentrok nasional antara Partai G versus Partai P, yang karena silang-sengkarut multi kepentingan pun kemudian bahkan menjadi bentrok politik multi partai. Sungguh! Akhirnya dengan mempertimbangkan keamanan nasional, pemilu ditunda. Sementara korban bergelimpangan. Sungguh!

#

Demikianlah sodara-sodaraku yang kukasihi. Nasib pemilu … batal jadinya. Dan ini hanya sebab operasi intelejen politik rahasia konyol tingkat cabang Partai G yang belum tahu siapa aku hingga bisa-bisanya menugaskan aku untuk melaksanakannya. Ha Ha Ha ... Konyol! Pemilu kon … Maksudku politik konyol! Demokrasi kon … Maksudku partai-partai konyol! Ha Ha Ha ... Bisa-bisanya dibikin kacau-balau hanya oleh aksi percintaan konyol oleh orang konyol seperti aku ini! Tapi memang ya siapa bisa mengira kalo aku ini sebenarnya tidaklah seperti yang banyak orang kira.
Tapi tidaklah se'hepi-ending' itu drama sinetron kali ini. Jelasnya saodara sekali-sekali mainlah ke salah sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota S. Bangsal Melati. Pada sebuah bangku beton bercat hijau di pinggir sebuah kolam yang kering seperti serumpun bambu kuning kering di pojoknya dengan seorang remaja cewek mengaku-ngaku sebagai ikan lele; telanjang …
Menampaklah aku duduk termenung di bangku beton hijau itu, mengisap rokok yang kubikin dari tembakau sisa-sisa puntung yang kukumpulkan dari orang-orang gila, pengunjung dan aparat RSJ – semuanya sama saja; kulinting dalam kertas karcis parkir RSJ. Tepat sekali sodara-sodara yang kukasihi. Aku gila sudah – sama saja. Saban hari dalam hari-hari kegilaanku tiada lain yang kukerjakan adalah melakukan retrospeksi secara meditasi duduk di atas bangku beton hijau itu, dan lintingan puntung menjadi semacam hio-hionya.


to be continued

pertengahan duaribuan

Comments

Anonymous said…
nyaris iwan simatupang..nyaris menjauhi maksudnya...
utami utar said…
walah jebul blogmu luwih "meriah" ..
Seingatku saat nulis ini sama sekali tak ada Iwan di kepalaku. Tapi ya entah jika memori bacaanku akan beberapa karya Iwan mungkin berpengaruh melampaui proses kreatif sadarku.
Meriah background-ne yang warna-warni polkadot? Aku belum baca novel anak sejuta bintang. Tp kerangka analisismu menarik. Aku setuju, bahwa novel, atau bahkan apa saja karya sastra adalah refleksi hubungan sosial dan bagaimana kekuasaan bekerja dlm hubungan itu, kalo aku tak keliru memahami tulisanmu

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN