SURAT BECAK BUAT SIMAK DI KEDUNGTUBAN

Salam tegar nan rindu pada sahabat mudaku H, entah brapa jauh kau mengayuh. Ya, H waktu itu adalah seorang tukang becak remaja. Dia mangkal di pinggir jalan Gejayan sekitar Selokan Mataram Jogjakarta. Aku membuka kios rokok kecil di belakang pasar kecil tepi Selokan Mataram dan H suka mampir membaca tabloit pulitik di kiosku.

Mak ...
Ulang tahun aku sekarang. Sudah tujuh belas. Kalau saja ada di rumah, senang … Memang juga tak pesta-pesta. Tapi bisa kuminta padamu; bubur merah-putih, jenang-wajik, klubanan, tempe garit, peyek teri. Alakadarnya, paling uang berapa. Ini Mak, semua kukasih padamu. Sisanya buat jaga-jaga. Paceklik bisa-bisa nanti langsung tiba. Dan kita slametan berdua saja.
Tapi …
Memang ternyata aku tak di Blora. Di sini kota ramai sungguh. Toko sesak, restoran penuh. Lampu malam benderang. Jalanan berarak-arak; seperti orang gembira main ular-ularan. Mereka apa pada ulang tahun semua? Pacaran – soping – makan-makan. Malam minggu orang berpunya selalu full acara. Uang banyak bisa ngapain aja. Enggak susah, bingung, mikar-mikir, resah. Dan aku ngerokok di atas becak juraganku. Nonton malam minggunya anak gaul no problem, sambil menelan neg malam mingguku, yang full problem campur ludah asem.

Apa artinya malam minggu …
Bagi orang yang tidak mampu.
Mau ke pesta tak beruang …
Akhirnya nongkrong di pinggir jalan.
(Haji Rhoma Irama)

Mak …
Anak mana sih, yang tak pingin pesta? Apalagi di hari ulang tahunnya, tujuh belas lagi … Tadi sudah kurencana; nasi goreng babat pete, es fanta, setengah bungkus samsu. Tapi tadi juga waktu kramas di kali, kusadar-sadarkan diriku sendiri; untuk tahu diri. Aku ini golongan bawah. Yang setres fful problem tak punya acara. Mana sempat pula, cari-cari acara. Aku sudah banyak urusan. Urusan-urusan narik becak. Dan narik becak itu urusannya banyak. Mikir acara, malah nanti dapat perkara.

Mbecak itu Mak …
Sekali tarikan berarti segelas es teh. Tiga kali tarikan itu nasi rames – tujunam – estrajos. Kalau lebih lagi, aku pun tambah rakus lagi. Yang separo kucecer-cecerkan sepanjang jalan; menjadi keringat sekian ribu perak. Separonya lagi kusetor pada periuk besi ngglundhung ini; agar kepulnya kencang. Barulah suap-suap terakhir, harus diatur benar jatah-jatahnya dengan gemi-setiti. Ya untuk pertumbuhan badan, pegel – pusing – masuk angin, konsentrasi semangat kerja dan celengan.

Belum lain-lainnya Mak … Tetek-bengek orang di dunia. Hidup mahal kan? Pelit tapi penuh iklan. Kalau enggak untung ya rugi. Dan semua orang maunya untung. Tiap hari gresak-gresek, cuma untuk diporoti. Sampai hari yang cuma tujuh itu pun harus dibeli. Dan lagi, harus tahan-tahan sehematnya. Ini macam pasar ; nggrangsang benar. Padahal masih ada besok. Dan besok dan besok dan besoknya; yang kayaknya malah tambah sukar tambah sukar tambah sukar saja.
Anak muda memang maunya foya-foya. Aku sih maunya begitu juga, walau enggak banget-banget. Tapi Mak, lewat setengah tahun lagilah; ada kontrakan murah boleh kuoper. Nanti Engkau kuajak ke sini. Tinggal bersama kita nanti. Dikasih meja – rak – bangku sekedarnya. Siang bisa jualan rujak di empernya. Malam, nasi kucing pasti lumayan. Harus begitu. Kalau mbecak terus, sakit di masa tua, katanya. Nah, itu namanya masa depan Mak. Jadi ya nyelengi. Bisa-bisanya tahan. Dan tak boleh enak-enak saja.

Mak …
Tujuh belas sekarang. Engkau berapa? Lima puluh? Lebihlah ya … Oh, selama itu engkau; jalani hidup menanggung sengsara. Jadi orang suruhan. Diprintah-printah yang punya uang. Gulung-koming; mburuh sana-sini; nyuci, masak, momong, nderep … Upah tak seberapa. Habis untuk nutup utang, untuk lalu utang lagi. Nutup lagi, utang lagi … dengan makan hati. Pasti kau nglangut; memandang sawah – ladang – rumah – pisang raja – kelapa; desa … oh, desa kita tak lagi punya kita. Oh, yang punya orang tokoh, penggede desa dan orang gede kota. Pada mereka, kita ngobral tenaga seakan cuma-cuma. Babu – kuli seakan sampai mati.

Mak … Simak …
Dapat kubayangkan malam-malam sendirimu. Tanpa hiburan berlalu sangat lama. Ada jengkerik seperti nangis. Pukul dua – tiga baru merem. Pukul lima harus sudah sigrak. Sedang pagi tak lebih, gerbong kereta panjang klas ekonomi “SOESAH HIDOEP”. Mondhag-mandheg, kasih kesempatan klas eksekutip melaju lancar bisnis sukses. Terus-terusan. Seperti kemaren, kemarennya dan kemarennya lagi. Seperti esok, esoknya dan esoknya lagi. Lantas jadi apa kalau begini permainannya? Kere tak bisa apa-apa, megap-megap. Otak buntu. Sedang Si Pleki komplek gedongan pinter main bola. Mana jatah sop daging saban hari pula.

Makanya Mak …
Dulu itu kupilih pergi saja. Di sini sungguh lelah dan hati dikruwek-kruwek, tapi ada merdeka lumayan kerasa. Biar riuh-riang jalanan punya orang kaya, Nonton pawai kaya-raya, jadi hiburan juga. Tapi itu khusus pas tarikan lumayan. Kalau sepi, tidur saja. Biar stamina bagus pikiran konsen. Ini ngeprof Mak … Lelah memang. Setres memang. Tapi enjoi juga. Rilek. Sebab sepi tarikan itu bahaya. Bengong. Kepala penuh sliwar-sliwer, dari porno sampai politik. Semua kere kota butuh pelampiasan. Mudah cemburu pada sedan, bank milyaran, mall berjalan, toko mas berjalan. Mudah geram pada orang pintar orang penting kalangan atas; mengomongkan kere dalam omongan kere di atas sana. Dan di sini omongan mereka kemresek suara henpon; kere tak ngerti. Jadi muak janji. Jadi percaya propokasi. Jadi ingin demonstrasi.
Bagaimana nanti kalau demonstrasi ? Aku ahlinya motor manusia, tak takut sama bis kota, tapi tak punya nyali menantang tendangan, pentungan, apalagi senapan. Numpang tampil? Ah, Mak …Modalku cuma sepasang ketela Blora berdengkul, kusut muka luka batin riwayat miskin dan torehan wajahmu sepuluh tahunan lagi; yang mana ada posternya.

Jadilah aku tukang becak. Bukannya tukang demonstran. Bukan pula tukang ingsinyur Si Doel Anak Sekolahan sinetron Rano Karno. Tapi ketimbang ngimpi bintang tivi, aku pilih demonstrasi. Bagian seksi transportasi. Mengantar akua, nasi bungkus, mercon gepengan. Ngangkut DPR jalanan berangkat dan pulang. Asal saja ini bukan aksi bayaran. Ini kan perjuangan, bukan peruangan, apalagi perdagangan. Tapi aku cuma partisipasi setengah hari. Soalnya periuk besi ini harus terus lari. Entah siang sampai sore. Entah sore sampai malam. Bila perlu malam sampai paginya. Bisa … Bisa. Aku tak masalah, tak apa-apa. Yang penting jelas dipilah; antara mengobel penumpang sama mengobel perjuangan. Ini namanya ngeprof Mak. Ya, memang dengan ngeprof, apa-apa bisa diatur. Intinya cari makan jangan dicampur cari yang lain-lain. Pikiran cabang-cabang, lalu gila. Bisa gila lho Mak! Gilanya orang tokoh, penting, tinggi, gede, kaya; lumayan. Gila harta – gila kuasa – gila terkenal – gila hormat , ngomong sendiri ketawa sendiri pun ada yang merawat dan kasih makan dan disubya-subya. Kalau aku; kere ini gila paling nyolong jemuran, mati dibakar massa. Atau ciu-bodrek-nipam palsu-spiritus, mulut berbusa mati juga. Kalau telanjang cengar-cengir, biarkan saja, mati pula. Gila tapi netral? Tahu-tahu hilang entah di mana. Aku emoh gila Mak, kalau cuma model kere. Kalau yang model elit, bolehlah dipertimbangkan. Eh, kenapa Mak? Tidak setuju? Setuju yang bagian ngobel-ngobel tadi? Cocok! Ini juga gojek saja. Gojek kere Mak … Ha Ha Ha … Ayo ketawa kere Mak! Ha Ha ha …

Handai ha ha ha …
Haku jadi horang gila.
(Opi Andaresta)
Iseng aja Mak …
Ini hari prei narik. Nonton malam minggunya golongan gaul. Lelah – setres – kuul. Dalam posisi kuul begini; bisa termasuk demonstrasi juga. Aksi tongkrongan seorang tukang becak muda dari Blora! Samsu ngecer di jari. Berjegang kaki. Tabloit politik-seks lecek. Iwan Fals lagu lama mengumpat-umpat. Kulempar-lempar pandang ke jalanan, dengan kagum yang kubuat-buat; sesungguhnya sinis saja tak terpesona. Itu aku. Tak masalah, tak apa-apa. Bagaimana menurutmu Mak? Inilah dia, ulang tahun seorang tukang becak muda dari Blora … Di malam minggunya. Yang kepepet, prihatin dan penuh pengiritan. Tak punya acara. Nonton saja harta-harta kaya main ular-ularan itu. Seperti lupa.

Kota ramai tapi sepi hati
Kerinduan entah, memagut-magut tanpa suara
Ulang tahun seorang tukang becak muda dari Blora … Tak ada orang kasih selamat. Tak ada pesta. Sedih-bahagia di tengadahkan yakin. Malam minggu langit berpusing super cepat, atau diam. Sekarang gelap, besok matahari di Timur pasti; membawa apa entah, rasi itu berpesan dengan zodiak becaknya; diobel malaekat Jibril ngebut. Perantau-perantau muda menunggang santai. Tujuannya purnama. Cuaca bersih hawa hangat. Jalanan masih meruap-ruapkan foya. Menenggak-nenggak kelupaan. Jalang mencari purnama. Siwer mata oleh halo efek. Di jok merah, segera lupa dengan ulang tahun. Umur tujuh belas memandang diri sendiri. Memandang Ibunda. Memandang harapan dan tantangan. Tapi tak masalah, tak apa-apa …


DidotKlasta
Salatiga, 2000

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN