RUSUH

Malam bulan merah menyinari remang sikon harga-harga membumbung yang bagus untuk dilukiskan sebagai kata ‘bangsat’ oleh pengangguran-pengangguran, pedagang-pedagang kakilima yang baru saja digusur, pengamen-pengamen yang ditangkapi, pelayan toko yang dilecehkan, pembantu rumahtangga yang disiksa majikan, mahasiswa yang tak bisa bayar uang kuliah, pemuda mabuk kalah bersaing asmara dengan anak cukong, korban penipuan, pengeroyok pencuri ayam, pencuri ayam itu sendiri …
Malam bulan merah menyinari remang kampung-kampung tak segemebyar kompleks-kompleks rumah-rumah gemebyar kedua, ketiga, keempat milik orang-orang kaya-raya.

Istrinya datang dengan kesembaban muka dan napas yang tersengal sebab sepanjang perjalanan pulang terus menahan agar airmatanya tak melinang dilihati orang banyak. Dan begitu ia menjatuhkan pantatnya di kursi, pun meluncurlah buliran bening hangat itu, sedang tangannya terus mengucel-ucel saputangan kembang-kembang merah muda.
Moli, demikian namanya, bekerja di sebuah warung makan spesial masakan bakmi.
Bukanlah restoran, melainkan cuma warung biasa. Yang agak di atas biasa adalah kelarisannya. Banyak pembelinya yang sebagian besar adalah pelanggan, ya, sebab yang baru sekali mencoba sangat boleh jadi sesudahnya akan datang lagi dan lagi.
Ada juga dari mereka para pengunjung warung itu, jika menilik potongannya, agaknya adalah termasuk jenis pejabat atau sebut saja lebih umum; orang kalangan atas yang lebih sering akan nampak di restoran.
Moli bekerja selama enam hari, dari pukul empat sore hingga sembilan malam. Minggu dapat libur. Terutama ia bagian melayani - menyajikan pesanan, menanyakan pesanan, memberesi meja dan sekitarnya - tapi terkadang juga membantu memasak. Dan malam itu ia pulang lebih awal, belum lagi jam tujuh.
“Ada apa ? Ada apa Mol ?!”
“Mulai besok aku tak kerja di warung lagi …”

#

Ada salah seorang pelanggan. Aku hapal, sedikitnya dua kali seminggu ia makan bakmi di warung. Dan ia selalu memesan bihun kuah tanpa daun sledri dengan kekehan dobel serta sepiring balungan. Dan minumnya soda gembira. Kadang saja ia minta bir, namun dapat dikatakan ia selalu pesan soda gembira.
Sepertinya dia termasuk potongan pejabat, kalangan atas tapi bukan swasta. Boss instansi, mungkin demikian. Dan kalau tidak naik sedan hitam bagusnya itu, ia datang naik sedan lain yang sama bagusnya tapi putih dan berplat merah dan bersama sopirnya.
Kadang juga datang bersama orang-orang lain yang menilik potongannya yang semacam, juga termasuk pejabat. Sedang kalau naik sedan hitam bagusnya itu, ia lebih sering sendirian saja.
Tadi tak biasanya; sehabis adzan magrib dia sudah datang. Naik sedan hitam bagusnya - kata orang; mersi. Sendiri. Jika warung belum ramai, jadi masih bisa memilih meja, ia selalu memilih meja sebelah pojok kanan belakang. Dekat dengan hilir-mudiknya pelayan keluar-masuk dapur.
Belum lagi pesanannya selesai dibikin dan aku baru meletakkan segelas soda gembira di hadapannya, tiba-tiba nyelonong masuklah seorang perempuan yang berdandan seperti wanita karir.
Tak dinyana-nyana ia langsung mendatangiku secara mencak-mencak dan langsung mengata-ngataiku yang bukan-bukan sambil menuding-nuding pula. Ooo … ini tho orangnya ?!
Dibilangnya aku babu murahan, penggoda suami orang. Jadi pelayan warung cuma kedok saja. Dan … plak ! Aku ditampar.
Rupanya ia istri pelanggan satu itu. Sebab lantas ia mendamprat lelaki setengah baya itu dengan lebih dulu menggebrak meja sampai gelas soda gembiranya hampir terguling.
Dibilangnya bahwa suaminya buaya darat mata keranjang. Babu dilalapnya pula. Tak pernah makan di rumah, ternyata cuma mau ngobyek perempuan. Tak malu padahal pejabat yang disorot masyarakat.
Lantas balik lagi padaku. Sudah ditiduri berapa kali kamu heh ?! Dikasih apa saja kamu ?! Uang korupsi mau pula ! Babu lonte ! Lantas aku ditamparnya lagi.
Majikanku hanya terbengong-bengong, bahkan lebih tepatnya; ketakutan. Mungkin karena perempuan gila itu istri pejabat, apalagi suaminya sendiri ada pula di situ. Malah ia juga dibentak-bentak. Cari babu lain ! Yang baik-baik ! Diatur babu-babumu ini, biar tidak ganjen-ganjen ! Aku bisa saja bikin warungmu ini tutup tahu !
Lantas, ketika aku sudah mau bicara, perempuan itu balik lagi ke suaminya, menyuruhnya pulang saat itu juga. Keluarlah mereka. Aku tak bisa menahan diri untuk menyusul.
Di luar mereka masih juga ramai, tapi tak sekeras waktu di dalam warung. Yang laki berkata-kata tentang fitnah, karena ada orang yang iri dengannya, ada pihak yang mau menghancurkan namanya. Menjegalnya.
Sudah miring apa aku, sampai main gila seperti sangkaanmu itu ? Aku tahu orangnya Mam ! Ini politik belaka … Fitnah … Fitnah Mam …
Alaaa …Tak usah bawa-bawa politik. Politik buaya, iya !
Pas aku mau mendekat, majikanku menarikku dan membawaku ke dapur. Kukira ia akan menenangkanku, bertanya-tanya baik-baik padaku, duduk-soalnya bagaimana. Ternyata aku dimarah-marahi pula olehnya.
Dan tanpa memberi kesempatan buatku untuk menjelaskan, ia kasih aku uang. Sekarang kamu pulang saja. Dan mulai besok … Kamu tak kerja lagi di sini. Begitulah kejadiannya tadi Rusuh … Ini uangnya tak kuhitung pula …
Moli makin tersengal-sengal lagi. Tapi linangannya berhenti, cuma kesembabannya mukanya masih dan bahkan makin bersemburat kemerahan.

#

Malam bulan merah menyinari remang sikon harga-harga membumbung yang bagus untuk dilukiskan sebagai ‘bangsat’ oleh pengangguran-pengangguran, pedagang-pedagang kakilima yang baru saja digusur, pengamen-pengamen yang ditangkapi, pelayan toko yang dilecehkan, pembantu rumahtangga yang disiksa majikan, mahasiswa yang tak bisa bayar uang kuliah, pemuda mabuk kalah bersaing asmara dengan anak cukong, korban penipuan, pengeroyok pencuri ayam, pencuri ayam itu sendiri …
Malam bulan merah menyinari remang kampung-kampung tak segemebyar kompleks-kompleks rumah-rumah gemebyar kedua, ketiga, keempat milik orang-orang kaya-raya.

“Ha ?! Edan … Bangsat benar …”
Rusuh yang tak menyangka pada kepulangan awal istrinya, ditambah dengan cerita mengejutkan yang merentet macam itu, hanya spontan mengucapkan kata-kata yang susah diraba maknanya. Namun sekian jenak kemudian, ia berpikir tentang sesuatu.
“Tapi … Lha kau ada main tidak dengan pejabat itu ?”
Sontak Moli mendongak pada suaminya dengan mulut ternganga, sebentar bibirnya bergerak-gerak tanpa suara.
“Apa ?! Kok sampai-sampainya kau ngomong begitu ?!”
“Maksudku … Ada asap tentu ada apinya …”
“Oalaaah Rusuh … Kau percaya dengan perempuan gila itu ?”
“Percaya atau tidak, bukan dengan perempuan itu, tapi dengan penjelasanmu …”
“Heh, dengar … Uh, keterlaluan kau … Memang Tuan Bleki itu orangnya ramah dan baik. Tapi bukankah aku mesti ramah pada semua yang makan di warung ? Ini wajar-wajar saja kan ? Dan aku juga tahu batas, bagaimana ramah dengan lelaki. Aku ini punya suami …
“Ram …”
“Dan aku bukan perempuan gatal !”
“Ramah macam apa, Tuan Bleki itu ?”
“Ya ramah. Ya kamu juga tahu, ramah itu seperti apa !”
“Persisnya”
“Ya bilang terimakasih, masakan sini kok enak … atau apalah, ada-ada saja, kau tahu itu”
“Tidak aku tak tahu. Aku tak tahu kalau menggombal itu bagimu adalah keramahan”
“Jaga mulutmu !”
Moli berdiri, mendekat ke Rusuh. Tangannya makin mengucel-ucel saputangan. Matanya mencoba membelalak namun tertahan-tahan juga oleh kesembabannya yang masih.
“Nah, kau bela pula Tuan Bleki itu”
“Ya, ya … Tuan Bleki menggombal ! Ya, ya … Dia menggombali aku ! Tapi kalau aku tak ambil pusing kenapa ?! Ya, ya … Dia terkadang mengasihkan uang kembalian untukku ! Tapi …”
“NAH !”
“Apa ? Apa ‘nah’ itu ?!
“Uang kembalian …”
“Apa salahnya ? Bisa buat tambah-tambah belanja kan ? Itu ‘tip’. Rejeki. Soal ia punya maksud-maksud lain, dengar Rusuh … Memang aku ini apamu ?!”
“Ooo tip … Lantas nanti tip-nya baju … lantas cincin … Ouuu, sungguh baiknya Tuan Bleki kita ini … Tahu dipancing, kau makan pula umpannya. Atau sudah ada yang lain ?”
“EH ! Ngomong ngawur !”
“Jadi, kapan itu kau pulang hampir jam sepuluh ? … Bisa-bisa … diajaknya kau ke …”
GREEEK ! BRUG !
“Pikiranmu itu ?!
Moli menarik kursi secara kasar dekat ke kursi Rusuh, lantas duduk secara kasar pula. Kepalanya menyorong sampai dekat sekali berhadap-hadapan dengan muka Rusuh.
“Memang kau mau cari gara-gara ! Aku pulang macam ini … Punya laki … Heh … Aku selalu percaya padamu … Aku tak pernah mengusut-usut pekerjaanmu … Kadang kau tak pulang, disuruh mengantar Nyonya ke luar kota … Aku tak pernah berpikir macam-macam … Sedang kau ?! Atau memang aku mestinya berpikir macam-macam padamu ?! Aku juga dengar-dengar cerita; tentang majikan yang main gila dengan sopirnya … Kenapa aku tak berpikir kalau kau mungkin-mungkin saja termasuk sopir macam itu ? Kenapa ha ?!
“Heh ! Ingat ! Kau yang pulang bawa-bawa persoalan Moli ! Tuan Bleki apalah … Kau yang bawa-bawa !”
“Bawa-bawa persoalan ?! Menurutmu aku, biang persoalannya, begitu ?!”
“Aku tak bilang, kau yang bilang …”
“Keterlaluan kau … Maumu apa sebenarnya ?!”
“Persetan !”
Rusuh berdiri, berjalan, berhenti, diam memunggungi Moli.
PRANG !
Moli membanting vas bunga keramik.
“Gareeeng !”
Anak mereka semata wayang keluar dari ruang dalam dengan roman takut-takut memegang buku pelajaran dan potlot. Tentu saja anak itu mendengar pertengkaran orangtuanya.
“A, ada apa Mak ?”
“Ikut Mak !”
“Kemana ?”
“Ikut !”
“Lagi bikin PR Mak …”
Istri Rusuh menarik Gareng, tanpa ba-bu lagi langsung pergi.
“He ! Belum selesai ini ngomongnya ! He ! Mau kemana kau ?!”
Istri Rusuh tak menjawab. Ia minggat ke rumah orangtuanya di kampung lain juga di kota yang sama. Rusuh sudah menduga hal ini.
“Sana purik ! Ngomong, kau tak beruntung dapat lelaki kuli bokek ! Ngomong, kau mau digendak sama Tuan Bleki yang pejabat, yang kaya-raya ! Ngomong, kalau kau menyesal kenapa dulu tetap kawin denganku meski mereka tak setuju ! Ngomong, kalau kau ngaku goblok kenapa dulu membela-belaku ! Ngomong semuanya ! Dan jangan balik ! Dan memang kau pasti tak akan balik kan ?! Ya … Yaaa ! Karena kau sudah enak-enak di rumah bagus, baru, ada tivinya, karena kau suksesss … Jadi piaraan Tuan Blekimu itu ! Sana ! Sanaaa …!”
Rusuh terengah-engah, berkacak-pinggang memandangi istrinya menjauh setengah berlari. Gareng hanya terseret-seret saja sesekali menengok ke belakang.
Ketika istri dan anaknya menghilang, belok kiri di pertigaan yang masuk jalan besar, Rusuh menengadahkan kepalanya. Dua tangannya pelan-pelan ia rentangkan ke atas.
“Lelaki ! Punya harga diri !”
Lantas Rusuh tengak-tengok ke kanan-kiri. Orang-orang memandanginya. Ada pula yang menyapanya. Hoi, kenapa dengan kau ? Jumat Kliwon masih lama. Ha ha ha …
Rusuh mem-prek-kan saja tatapan dan celetukan itu. Ia membalikkan badan, berjalan sambil berkacak-pinggang lagi, masuk ke rumah. Menghempas di kursi, menatapi asbak, menyambar asbak itu dan membantingnya.
KLONTHANG !
“Memang cuma kau yang dipecat ? Keparat sialan juga kau Bleki …Juga istri gilamu itu … Tapi, kau Moli … Yang mana sebenarnya yang kau tangisi ? Masakan kau tak paham, tua-tua keladi banyak uang itu ada-ada saja caranya. Manjur pula huh … Makanya aku tetap harus curiga; sudah kena pula kau … Tapi silahkan kau pergi. Begitu orang salah itu. Tak ngaku tapi ngaku. Malam ini silahkan nangis-nangis, mengadu pada orangtuamu. Kau puaskanlah … Kalian puaskanlah membrengsek-brengsekkan aku semalaman. Dan lihat saja besok … Aku akan … Aku akan … Hhh …”
BRAK !

#

Malam bulan merah menyinari remang sikon harga-harga membumbung yang bagus untuk dilukiskan sebagai ‘bangsat’ oleh pengangguran-pengangguran, pedagang-pedagang kakilima yang baru saja digusur, pengamen-pengamen yang ditangkapi, pelayan toko yang dilecehkan, pembantu rumahtangga yang disiksa majikan, mahasiswa yang tak bisa bayar uang kuliah, pemuda mabuk kalah bersaing asmara dengan anak cukong, korban penipuan, pengeroyok pencuri ayam, pencuri ayam itu sendiri …
Malam bulan merah menyinari remang kampung-kampung tak segemebyar kompleks-kompleks rumah-rumah gemebyar kedua, ketiga, keempat milik orang-orang kaya-raya.

Oleh kesunyian dan liarnya pikiran, Rusuh tak mampu menahan, tak mampu menguasai diri. Tak percaya dengan kata ‘sabar’. Daftar panjang umpatan keadaan menjejal di benaknya. Ia adalah salah satu yang berteriak ‘bangsat’ paling keras.
Tekanan dari bertimbunnya rasa tak puas yang dijatuhi bongkah ketidak-puasan sepuncak-puncaknya, tepat ketika timbunan harapan-harapan yang kandas pun juga telah mencapai puncak sepuncak-puncaknya, membuat kepala Rusuh seperti ketel jerangan air yang berisi air mendidih tertutup rapat, dan uapnya yang pampat mendesak ubun-ubun, sampai akhirnya jebol.
Ketika sudah jebol sejebol-jebolnya sampai ketel itu pun terguling pula dan airnya menyiram tangannya dan oleh sebab kesakitan luar biasa maka secara reflek ia meloncat dengan satu kakinya menyepak kompor, Rusuh pun berlarilah kalap keluar rumah. Menghambur ke jalan dengan parang di tangan. Parang mingis-mingis diasah kegeramannya pada keadaan.
Jalan depan rumah itu sudah sepi. Mata nyalang Rusuh celingukan. Tak lama kemudian lewatlah sebuah becak. Rusuh mencegatnya sambil mengacung-acungkan parang. Becak itu meliuk kesusahan bersama suara rem berdecit panjang.
“STOP !”
Rusuh membentak menghentikan becak. Dengan parang menunjuk-nunjuk, tukang becak yang panik itu disuruhnya turun, lalu digiringnya masuk rumah.
"Siapa namamu !"
Tukang becak itu disuruh duduk di lantai, sedang Rusuh duduk di kursi dengan sandaran menghadap depan. Kakinya mekangkang dan parangnya tak henti menuding-nuding.
"Nama ! Kamu punya nama kan ?!", bentak Rusuh lebih keras lagi.
"Pa … Paijo Tuan …", jawab si tukang becak dengan muka berlepotan emosi antara takut-takut, bingung dan cemas.
"Nah ! Begitu ! Ternyata ya cuma Paijo saja namamu ! Berlagak Lu ! Jam segini kenapa masih narik HA ?!"
"Biasa Pak …"
"Biasa biasa ! Pak Pak ! Pakmu apa ?! Biasa itu kenapa ?! Kurang kerjaan ya ?!"
"Sampai gini hari saja masih kurang-kurang Pak, eh …"
"Boss ! Sebut aku BOSS ! ….. He, sebut; BOSS !"
"I … Iya Bb … Bosss …"
"Apa tadi ?! Kurang ?! Memangnya apa saja kebutuhanmu ?!"
"Ya … Ya kebutuhan keluarga kan banyak Pp, eh, Bb … Boss …"
"Ooo … Sudah keluarga kamu ya ?! Berapa anakmu HA ?! Cantik nggak istrimu HA ?! Lalu berapa penghasilanmu sehari HA ?! Cuma mbecak aja berani-beraninya punya istri, bikin anak … Itu ngawur tahu !"
"Nggg … Nganu … Bblb Blb … Nggg … "
"Apa HA ?! Omong yang jelas ! Apa minta ditempeleng HA ?! Atau mau ini ?!"
Rusuh mendekatkan parangnya ke muka tukang becak malang itu yang langsung menutupi mukanya dengan telapak tangan. Dan Rusuh menyeret kursinya lebih maju lagi.
"I … Ini urusannya apa Pp, eh, Bb … Boss … Ini ss … saya cuma ada duit segini … Kk … Kalau … Bb …"
"Bangsat ! Lu kira gua rampok ?! Dikira aku mau sama uangmu HA ?! Berapa juga paling ?! Fitnah kere ! Dipenjara kamu nanti !"
"Lll ... Lha Bb ... Boss maunya apa ...?"
Suasana berhenti lumayan lama. Paijo Becak duduk bersila di lantai yang telah basah oleh air kencingnya sendiri. Mukanya pias, sungguh mengibakan namun sekaligus lucu juga.
Rusuh tercenung sambil memandangi ‘korbannya’ di bawah. Terus tercenung dan tatapannya yang semula menyorot berkobar-kobar perlahan-lahan memburam.
Tangan kanannya yang memegang parang tak lagi terangkat secara tegang yang kesannya setiap saat bisa mengayunkan bacokan paling sadis.
Tangan itu bahkan akhirnya melemas, menjuntai, jatuh lepas. Lantas genggaman di gagang parang pun mengendor.
Rusuh menelungkupkan wajahnya di atas lengan kirinya yang bertelekan di sandaran kursi. Lama-lama ia jadi tersengal-sengal dan mulai melenguh bernada isakan.
Paijo Becak mencuri-curi tatap dengan takut-takut-bingung, tapi tetap diam saja. Ia pernah dibacok sekali dulu. Dua puluh tiga jahitan di punggung kanannya. Yah … perkara campur-aduk antara rebutan pangkalan, rebutan gacoan, dan stress kahanan. Tapi dengan yang satu ini, apa pasalnya ?!
“Kenapa aku beraninya sama kamu ?! Kenapa aku tak berani melabrak juraganku ?! Kenapa … ? Kenapaaa, Ohhh …”
Paijo Becak merasa bahwa Rusuh sudah sedikit-sedikit melunak. Bahkan parangnya sudah tergeletak di lantai. Semula Paijo akan secepat kilat menyambar parang itu, dan balik mengancam … Tapi urung. Ia hanya menengadah saja dan sedikit beringsut sebab tentu saja duduk di genangan air kencing adalah tidak nyaman.
“Nggg … A … Ada apa tho Bb … Bos ?
“Jangan panggil ‘bos’ …”
“Pak ? Mas ? …”
“Terserah”
“Nggg … Masalahnya apa tho Mas ?”
Rusuh perlahan bangkit dari kursi setelah meraih parangnya diiringi tatapan Paijo Becak yang deg-degan lagi menunggu kemungkinan apa yang bakal dilakukan Rusuh pada dirinya.
“Ada rokokmu ?”
Lega Paijo Becak, karena Rusuh (ternyata) cuma meminta rokok, dan dengan nada yang tak sangar seperti tadi. Lebih lega lagi karena ada rokoknya dua batang di kantung.
Paijo Becak mengangsurkan rokoknya dua batang sekaligus, tapi Rusuh hanya mengambilnya satu.
“Satu buatmu saja. Ada korek ?”
Karena Paijo Becak meraba-raba suasananya sudah sedikit nyaman, tak mengancam, terlebih tak mencekam lagi, ia perlahan berdiri, mengeluarkan koreknya dari saku celana dan mengorekkan. Rusuh mendekatkan kepalanya pada api lantas mengisap dalam-dalam.
“Aku barusan dipecat dari pekerjaanku. Aku tak terima. Tapi aku tak berdaya …”
Paijo Becak termangu. Jadi itu perkaranya ?
“Lha pasalnya apa Mas, kok sampai kena pecat ?”
Rusuh berjalan ke kursi lain di kanan belakangnya, duduk di situ seperti telah lima jam terus-terusan berdiri. Ia menatap ke luar lewat pintu yang terbuka. Matanya memicing.
“Aku dituduh main gila dengan istri Boss-ku …”
“Padahal …?”
“Istri Boss-ku itulah yang memaksa-maksa … Tapi aku menolak. Ia sakit hati. Lantas memfitnahku …”
“Fitnah apa Mas ?”
“Hape-nya hilang. Katanya ditaruh di mobil. Itu hape jutaan”
“Mas ini sopir pribadi ?”
“Aku membantah. Tapi kau tahu sendiri, kalau majikan sudah berkata putus”
“Lantas ?”
“Dipecat tak apa, aku punya harga diri. Tapi fitnah itu … Diculasi seperti itu … Aku tak terima … Harga diri ! Aku penasaran untuk membalasnya setimpal …”
“Apa yang mau Mas lakukan ?”
“Mmm … Mau kutemui mereka. Mau kubeberkan semuanya. Kegatalan Nyonya itu … Hidung-belangnya Tuan itu … Dan aku mau minta ganti-rugi, jika tak ingin kebusukan mereka tersebar … Bayangkan … kebusukan pejabat dan istrinya masuk koran … Atau kutulis saja surat pembaca … Atau kurampok saja …Atau kuculik anaknya … Atau …”
Paijo Becak sebetulnya ingin berkomentar, tapi sulit keluar. Sulitnya keluar sebab ia merasa bahwa komentarnya agak-agak seakan mengandung sok gaya, dan mirip iklan, demikian : Kamu bisa !
Setelah sejenak hening, mulut Paijo Becak tetap saja terkatup. Kalimat yang tak bisa keluar itu malahan menuding diri Paijo Becak sendiri - dan inilah sebab utamanya kenapa Paijo Becak masih membisu. Kamu bisa ! Kamu pasti bisa !
Kamu bisa ! Kamu pasti bisa ! Kamu bisa ! Kamu pasti bisa ! Siapa bilang kamu tak bisa apa-apa ? Siapa bilang kamu tak berdaya apa-apa ? Siapa ? Siapa coba ? Bukannya dirimu sendiri ?
Demikian ada kalimat tak kunjung keluar yang bertalu-talu. Dan sesungguhnyalah kalimat ini bertalu-talu sejak tadi Paijo Becak meluncur di jalan melewati depan rumah Rusuh.
Sejak sebelumnya bahkan. Tepatnya sejak sekitar setengah jam sebelumnya; Paijo Becak di serempet sebuah mobil sedan berplat merah yang meluncur kencang dari belakang.
Ia nyungsep bersama becaknya. Sedan itu berhenti. Pengemudinya keluar. Paijo Becak sudah mau marah, tapi ia keduluan. Tukang Becak goblok ! Matamu dimana ha ?!
PLAG ! Paijo Becak ditempeleng pelipisnya. Orang itu berlalu. Sedan menderum. Paijo Becak merutuk-rutuki diri sendiri.
Kamu bisa ! Kamu pasti bisa ! Kamu bisa ! Kamu pasti bisa ! Siapa bilang kamu tak bisa apa-apa ? Siapa bilang kamu tak berdaya apa-apa ? Siapa ? Siapa coba ? Bukannya dirimu sendiri ?
Demikian ada kalimat tak kunjung keluar yang bertalu-talu. Sampai kemudian seorang berparang membuyarkannya. Rusuh.
#
Malam bulan merah menyinari remang sikon harga-harga membumbung yang bagus untuk dilukiskan sebagai ‘bangsat’ oleh pengangguran-pengangguran, pedagang-pedagang kakilima yang baru saja digusur, pengamen-pengamen yang ditangkapi, pelayan toko yang dilecehkan, pembantu rumahtangga yang disiksa majikan, mahasiswa yang tak bisa bayar uang kuliah, pemuda mabuk kalah bersaing asmara dengan anak cukong, korban penipuan, pengeroyok pencuri ayam, pencuri ayam …
Malam bulan merah menyinari remang kampung-kampung tak segemebyar kompleks-kompleks rumah-rumah gemebyar kedua, ketiga, keempat milik orang-orang kaya-raya.
Tiba-tiba bagai tai burung jatuh dari langit, Rusuh dikelebati sebuah gagasan tentang barang suatu kalimat mirip iklan.
“Hmmm … Aku bisa … Aku pasti bisa …”
“Ap … apa Mas ?”

- selesai -

didotklasta

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN