MURAMNYA PERUBAHAN SOSIAL

Kami berdua seperti biasa sedang duduk-duduk menikmati suasana sore yang dingin dan senyap di kota tak bernama ini sambil menikmati hangat-pedasnya wedang ronde-sekoteng dan kelezatan lumpia isi rebung yang kata orang-orang punya khasiat dapat menambah gairah dan kekuatan berahi, tahu maksudku ?
Kedai dimana kami membuang waktu terletak di sebuah pertigaan yang cukup ramai. Bioskop berumur hampir 50 tahun yang tinggal menghitung hari untuk gulung tikar. Toko kelontong dengan penjaga tua muram terkantuk-kantuk dan pemiliknya seakan tak peduli lagi apa ia memang punya toko atau tidak. Supermarket yang sama sekali tidak super. Gardu listrik penuh corat-coret umpatan terhadap situasi-kondisi. Penjual martabak yang dulu pernah sangat laris, ini, itu … Dapat dikatakan merupakan daerah pusat kota tak bernama ini. Tetapi yang dimaksud dengan ‘cukup ramai’ dan ‘pusat kota’ adalah tak seperti itu benar, karena yang dimaksud dengan ‘sepi’ adalah lebih sepi dari yang orang-orang bayangkan, dan yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah tak seperti kota yang orang-orang bayangkan. Pada dasarnya ini hanyalah sebuah noktah jeda dari sebuah jalan sangat-sangat panjang yang menghubungkan dua buah kota yang sebenar-benarnya kota.


Tiba-tiba dari arah Utara meluncur kencang sebuah bus dengan suara yang menderu. Klaksonnya bergemuruh dengan nada lain dari kebanyakan klakson sebab mengingatkan orang yang mendengar pada sesuatu lagu yang sering dinyanyikan pada upacara ritual aliran kepercayaan fanatik-picik tertentu. Diiringi decit rem yang seperti mengiris telinga, bus itu berhenti dengan sempoyongan di depan sebuah bangunan yang agak lebih besar dari lainnya. Dari tulisan besar di depan pintunya, bisa disimpulkan bahwa bangunan itu adalah kantor pejabat tertinggi setempat.
Ukuran bus itu lebih besar dari seumumnya ukuran bus. Warnanya hitam dongker. Terkesan sekali bus itu sangat kokoh-perkasa dan … cukup menggentarkan juga. Kaca-kaca jendelanya juga hitam. Dan sebenarnya agak kurang tepat jika disebut jendela. Itu lebih seperti lobang intai penembak jitu. Bumper depan dan belakang seperti gigi ikan hiu atau semacam itu, berkilap-kilap bagai menyeringai, dingin.
Lantas pintu yang letaknya di samping kiri bagian tengah terbuka perlahan-lahan, otomatis, nyaris tanpa suara. Kemudian dari dalam bus keluar satu demi satu orang-orang berpakaian serba hitam, tepatnya berseragam. Orang-orang yang tinggi, tegap, kaku dan kekar ini secara berbaris dua-dua memasuki gedung pejabat tertinggi setempat tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Mereka tidak membukanya, melainkan mendobraknya. Ada sekitar 30 orang. Dan bersenjata lengkap.
Dengan tegang dan sambil berusaha menyembunyikan wajah, kami menunggu apa yang kemudian bakal terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara merentet nyaring. Jelas itu suara tembakan dari senapan otomatis. Cepat saja, lantas sunyi.
Kami semakin tegang dan dengan terburu-buru kami meninggalkan kedai seraya lupa membayar. Sambil setengah berlari menyusur lika-liku jalan tikus, kami mendengar suara menggelegar entah dari mana. Tapi sepertinya suara ini datang dari segala penjuru. Seakan setiap sudut, tembok, sebalik pintu, atap, tiang listrik, papan reklame … ada TOAnya, tersembunyi.
Suara menggelegar itu kurang-lebih adalah semacam instruksi bahwa setiap warga harus segera melapor ke gedung pejabat tertinggi setempat dalam waktu 10 menit, dengan kedua tangan di atas kepala.
Kami pun pergi melapor dengan putus asa.

selesai

Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN