BENAR-BENAR GILA

Cerpen ini kubaca dalam acara apresiasi seni di selasar depan kampus Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Kemungkinan besar tahunnya 2009 sebab aku menulis cerpen ini karena pening dengan poto-poto caleg pileg 2009 yang seperti menterorku kemana saja aku keliling desa dan kota, khususnya sepanjang jalan Karang Balong - Kota Salatiga lewat Kalibening PP.


Saudara-saudara sebangsa dan setanah-air namun belum tentu senasib dan sepenanggungan, percayalah … kalau biasanya saya hanya tukang menyebar kabar bohong dan pantas untuk tidak pernah bisa dipercaya, kali ini lain. Yang satu ini sungguh-sungguh terjadi. Percayalah.

Suatu siang beberapa waktu lalu di kota kecil saya, Salatiga, hujan terakhir musim hujan mengguyur lebat disertai angin kencang dan petir menyambar-nyambar dengan dyahsyatnya. Saya, seperti biasa, sedang melamun sendirian terbuai lagu Mas Iwan Fals mengenai para wakil rakyat yang seharusnya merakyat sambil meringkuk dalam sarung seperti udang kering dan membayangkan kecantikan wajah full kosmetik dari salah seorang selebriti papan atas yang penuh gossip dan agak ketolol-tololan, ketika tiba-tiba di luar terdengar orang-orang ramai berteriak;
“Caleg gila ! Caleg gila ! Caleg gilaaa !!!”

Aha ! Sontak saya bangun. Penasaran juga … beberapa hari ini cuma baca di koran, dengar di radio, nonton di televisi mengenai ‘pileg’ – pilihan legislatif; bahwa ada ‘caleg’ – calon legislatif, terganggu jiwanya gara-gara tidak kesampaian jadi anggota ‘dewan’. Sekarang ada kesempatan bisa melihat langsung ! Seperti apa sih orangnya ? Macam apa sih tampang orang yang gara-gara gagal mendapat julukan wakil rakyat bisa, maaf, ‘gila’ ? Saya pun menghambur keluar.
“Caleg gila ! Caleg gila ! Caleg gilaaa !!!”
Ternyata orang-orang sudah berkerumun ramai bukan main dengan pusat kerumunan di tengah jalan depan rumah kontrakan saya. Macet. Dari yang naik mobil mewah hasil korupsi, motor kreditan, delman tua, becak reyot sampai sepeda balap pada berhenti, ikut berkerumun. Meskipun jadi basah-kuyup orang-orang tak peduli. Semua ingin menyaksikan dengan mata-kepala sendiri; seperti apa sih orangnya ? Bahkan sudah ada yang nangkring di atas pohon asam itu karena malas untuk berdesakan.
Seperti lainnya, tanpa peduli dengan hujan saya pun mendekat. Tapi memang sangat susah untuk bisa menembus rapatnya kerumunan. Sayang pula, saya bukan termasuk orang yang cukup tinggi. Sedang kalau mau menelusup di celah-celah kerumunan tubuh saya juga kurang cukup kecil. Dan saya jelas tak mau basah untuk sia-sia belaka. Maka saya pun segera berlari ke arah pohon asam dan dengan gaya campuran antara Tarzan, ninja dan monyet saya mencapai salah satu dahannya yang masih belum terlalu dipadati orang nangkring. Ya, pohon asam itu memang sudah penuh monyet, maaf, maksudnya orang.
Caleg gila ! Caleg gila ! Caleg gilaaa !!!
Terlihat di tengah kerumunan, seseorang sedang menari-nari tidak jelas sambil berkata-kata juga tidak jelas. Wajahnya tertutup topeng ‘penthul’ warna hitam. Para penonton yang mengelilingi bertepuk-tangan dan bersorak-sorai gembira.
Lantas ada yang teriak, “Lepas baju ! Lepas baju !”, diikuti yang lainnya, “Ya ya ! Lepas baju dooong !!!” Maka orang tak jelas itu sambil terus menari tak karuan pun melepas bajunya, kemudian memutar-mutarnya di atas kepala dan melemparkannya ke arah penonton.
“Ha ha ha ! Hi hi hi ! Hu hu huuu !”
Lantas ada yang teriak, “Lepas celana ! Lepas celana !”, diikuti yang lainnya, “Ya ya ! Lepas celana dooong !!!” Maka giliran celana panjangnya yang model ‘cutbrei jadul’ dilepas, namun tentu saja sebelum itu sepatu ‘fantovel’nya telah dia copot dulu dan dia lemparkan masing-masing di dua kepala dari penonton. “Plethok !”
“Ha ha ha ! Hi hi hi ! Hu hu huuu !
“Topengnya ! Topengnya ! Topengnya ! Biar gantengnya kelihatan ! Ayo topengnya !” Semua orang tanpa sadar sudah ikut menari dan meracau. Hiruk-pikuk seperti kalap. “Buka topengnya ! Buka topengnya ! Buka topengnya !”
“DIAM !!!”
Tiba-tiba dengan suara yang ‘cempreng’ dan tidak meyakinkan orang yang tinggal mengenakan cawat itu menghardik seraya menghentikan gerak-geriknya. Para penonton pun sontak diam seperti tersihir. Menunggu apa yang akan terjadi.
“MAU TAHU SIAPA SAYA ???”
Perlahan-lahan orang itu membuka topengnya. Sedikit … Demi … Sedikit … Menunggu dengan tegang … Dan … Dan …
“Samber delap !!!”
Bukankah wajah di balik topeng ‘penthul’ itu tak lain adalah … Wajahku ?!?! Wajah saya sendiri yang gantheng ini ! Kok bisa ?!?! Kukucek-kucek dua mataku dan kupelototkan biji matanya sampai seakan mau loncat keluar. Tak salah lagi ! Memang itu saya !
“Aku ?! Aku ?! Bukan ! Bukan aku ! Bukan aku ! Bukan akuuu !!!”
“GEDHOZRAK !!!”
Saya terjatuh dari dipan. Rupanya saya baru saja terbangun dari mimpi. Ya, hanya mimpi. Sialan. Tapi syukurlah. Saya sudah mau naik lagi ke dipan untuk meneruskan ritual kemalasan yang terus-terang lumayan mengasyikkan dan lumayan berguna untuk memanipulasi kondisi kantong kering dan perut lapar, ketika terdengar suara ketokan keras di pintu depan.
“Tok tok tok !”
“Hmmm … Paling mimpi lagi … Sekarang caleg gagal datang minta dikembalikan amplopan lima puluh ribunya … Atau semen sekian saknya … Atau trataknya … Atau …”
“Spadaaa !!!”
Saya kaget. Rupanya yang ini bukan mimpi tapi kenyataan. Dengan tergopoh-gopoh campur enggan saya beranjak ke ruang depan.
“Ooo … saya pikir salesman obat kuat yang cantik dan seksi … Ternyata cuma Pak RT tho …”
“Heh ! Jangan kurangajar ya ! Gini-gini aku RT lho ! RT lho ! Macem-macem nanti kupecat kamu !”
“Pecat gimana Pak ?”
“Kupecat dari jabatanmu sebagai wargaku, tahu ?!”
“Pak RT ini ada-ada saja”
“Lha habis mau gimana ? Wong kamu pengangguran … Masa’ kupecat dari jabatanmu sebagai penggangguran ? Jadi kerja dong …”
“O iya ya … Sori Pak RT. Ada apa sih Pak ? Mengganggu saja …saya kan lagi asyik …”
“Osyak-asyik-osyak-asyik … Rupamu kuwi jan ora asyik blas. Aku cuma mau ngantar ini, undangan untuk contrengan ‘pilpres’ … Berangkat lho ! Jangan golput lho !”

Saya terdiam. Tak jelas apakah sedang berpikir atau melamun. Lantas diluar pemahaman saya, entah kenapa saya pun jadi tertawa sendiri, makin lama makin keras, terbahak-bahak sampai keluar air mata dan perut jadi mulas. Sementara Pak RT terbengong-bengong sendiri, lalu pergi sambil menggerutu.
“Wooo … Gemblung kabeh …”

selesai

DidotKlasta, Salatiga, kemungkinan besar sekitar tahun 2009





Comments

Popular posts from this blog

WIT … WITAN PLASTIK (naskah pertunjukan)

MIMPI BURUK ROCK (gaya) INDONESIA

SEBUNGKUS PUISI-PUISI HUJAN