Posts

Showing posts from June, 2011

MENELAN LUDAH

Salah satu siksaan paling menyiksa; adalah tentang telor rendaman air garam Aku ... Terapung tidak Tenggelam tidak Di tengah-tengah, bukan sebab punya pegangan Melainkan tak tahu pilihan Dan makin menyiksa ketika tahu ; sementara aku habiskan waktu mencari-cari tahu, orang-orang memborongi pilihan-pilihan dengan duit kekuasaan Sampai saat kumenyadarinya, habislah semua Terbeli tak bersisa lagi Syukurlah ...

MELAMPAUI KENYATAAN (puisi)

Image
Shopping Dance. Didot Klasta. 2015 Saya berjalan secara melayang Sepanjang jalan bukan rural bukan urban Kanan kiri padang dan padang Rumput, bebungaan melepas ke hutan Di sana-sini terselip MP3 Senapan terpatahkan Gitar, harmonika, tamborin, tifa Orang-orang tanpa KTP menari riang sebab tak berKTP Rumah kecil di atas bukit Asap tipis dari dapur nasi tanak Burung berkilap bersih bulunya Balon-balon aneka warna Orang-orang berpakaian kain perca dari bendera-bendera Sesungguhnyalah saya ... Sedang mencipta luar batas Sejenak jadi makhluk Mars Mengirim salam dengan antusiasme Budha Apa kabar Sodara ? Apa kabar dunia ? Bagaimana cuaca ? Bagaimana di sana ? Saya sendiri sedang berusaha baik-baik saja Dengan kenyataan yang lainnya Didot Klasta Salatiga, pertengahan 2000an

ILMU MANDI

Mandi setelah 5 hari tak mandi Terasa bersih sekali Makin menyembunyikan kerak daki di hati Makin menyepuh kekotoran diri Lux sabunnya para bintang Tubuhku wangi dewi kayangan Sambil menggosok kemaluan Ingin mengaku salah pada tuhan Tapi tuhan belum pulang Sekarang jam perusahaan sampai petang Jika kantoran negri tergantung kedudukan Rendahan langsung ngobyek tambahan Pejabat ... Rapat atau maksiat-maksiatan Ketika pulang Selalu pas aku pergi Maka kuteruskan mandi Untuk ... Untuk diulangi dan diulangi Mandi setelah 5 hari tak mandi Ketahuan Beberapa aspekku berkarat membesi Byuuur ...

KOTA SIASIA (puisi)

Image
In The Mirror, didotklasta Jalan-jalan sore menikmati. Atmosfer lembayung metalik. Pertunjukan sulap ilusi mental. Penonton terbius paket ke paket Lysergie Acid Diethylamide. Jalan zombie sore menikmati. Bungkus timah realitas terkemas. Etalase-etalase rejim virtual. Hurup kapital. Angka kapital. Merek kapital. Seragam kapital. Senyum kapital. Libido manequin kapitalisme, senyumannya : Frigid. Tak ada hawa ! Bagi serumpun saja lonjor bambu. Mengkeresik ujung daunnya. Ciuman dengan muka air Kali perawan ; Alice In Borderland. Alice membuang bayi. Banyak yang punah di sebrang : Border. Kau hilang. Tapi tak merasa hilang. Sebab tak ada yang mencari-cari.

KOMPLOTAN PASAR MODEREN

Sambel tumpang krecek. Rempeyek tholo. Anggur kolesom. Teh tawar. Pagi dingin berkutat dengan tandon - tandon peluh pasar yang tak pernah dingin. Panas metabolisme kerja jelata menganak sungai los - los papan. Ikan asin laut Juwana berenang di air muka migran sirkuler pinggir -pinggir kabupaten peudal - agraris. Pukul tiga pagi mereka adalah laron, lalat dan tikus pembangunan kota. Siloncat sigap dari L 300. Menyetor tenaga bagi si malas babi makmur kota. Menyetor desa bagi golongan pemangsa kota. Dengan harga percuma. Sambel goreng ati. Krupuk udang. Hemaviton. Sari jeruk. Kijang dinas Direktur Pasar membawa tuannya ber TURBA ria. Seperti Sultan Harun Al Rasyid, sri paduka yang menyamar jadi pengecer kurma.

KOMUNIS ITU BAGIKU LEBIH ASYIK, SESEDERHANA ITU

Image
Uskup 'kaum kumuh' Dom Helder Camara (Brasil masa kediktatoran 1964 - 1985). "Memberi makan orang miskin disebut dermawan, mengusut penyebab kemiskinan disebut komunis." Suatu hari sebab merasa tak kunjung cukup cerdas aku pun lelah menjadi orang berpisau analisa berbuku-buku tebal dalam negri dan luar negri dan mahal. Suatu hari kuakui bahwa kita perlu negeri dan seandainya politisi cukup berbudi dan seandainya pemerintahan cukup berkemampuan. Suatu hari lantas kuakui seseorang dengan sejumlah bintang dan merupakan bagian dari kaum tersendiri bersenjata itu menjadi presiden terpilih-ku. Suatu hari kami duduk-duduk menghibur diri dengan hikmah kesulitan ekonomi di depan televisi, membicarakan pemimpin kami dengan nada simpati dan mengakui betapa wajahnya penuh beban keprihatinan terhadap persoalan 200 juta lebih orang saat mempidatokan sesuatu perihal 200 juta lebih orang; rakyatnya. Betapa kami menaruh pengharapan di pundaknya. Namun kenyataannya ini tak cuma s

KELUARGA TINGGAL RENCANA

Para tetangga datang menjenguk. Kasih selamat, syukur, doa, harapan. Amplop-amplop sekian ribu dari tangan ke tangan. Alokasi pos tak terduga. Terbiasa. Anak itu segalanya. Hidup itu dingin. Orang hidup gentar pada hidup. Mempermainkannya dari belakang. Disaat hidup main gila depan hidungnya. Anak adalah segalanya. Tumbuhlah besar penuh kelihaian. Bunda memerah susunya sendiri. Bapa petualangan, menubruk receh menggelinding bersama sejuta petualang. Tiga hari lalu, ada penghuni baru di rumah itu. Perempuan merah, beratnya kurang, matanya tak bergairah. Sodara-sodara mengerumuni dengan kegembiraan yang memuncak atau datar terlanjur sama. Sejumlah delapan mereka, lantas ... Buat apa lahir ?

'sekepal kelu' BUAT KAU

Sayang di mana-mana. Kita. Puisi perjumpaan tak bisa-bisa. Tiada tempat mesra di negri-negri luka. Instansi luka. Penjara. Dept. Store luka. Penjara. Pabrik luka. Penjara. Detasemen luka. Penjara. Mau ke mana. Ke sini hati. Disayat kianat. Ke sana jiwa. Dibacok sandiwara. Tak ke mana-mana. Dibantai usia. Termangu TO. Kartu As hati plastik. Panah asmara mematikan beneran. M-16. Dalam bidikan kasih yang hampa. Pelornya tidak hampa. CROT ! Luka berdarah. Tembus. Blong dan resah. Mau berontak. Blong dan resah. Engkau padaku. Aku padamu. Balaikota penuh mahasiwa negara. Aku bawa benderanya. Engkau bawa seprit. Lagu Anoman Obong belum ada. Balaikota obong belum kunjung jua. Tapi ada yang kobong antara kita nampaknya. Pijarnya hilang ditelan para mahasiswa negara yang kupegang benderanya. Kucampakkan. Sebab telah kita pilih rumput yang diinjak-injak ini upacara. Opo Kabare ? Duduk kita bersisihan tak pernah sedekat itu. Anganku melambung tak pernah semungkin itu. Kita. Jadi pengantin pokok wa

KEBO NYUSU GUDEL

Anak-anak telanjang. Main hujan-hujanan. Kemaluannya perjaka - perawan. Menikam hati orang dewasa ... Yang penuh operasi selaput dara

MEDITASI KALI PROGO

Suatu kali dalam kesumpeganku jadi mahasiswa di kesumpegan situasi, aku berlari ke dusun Semawung desa Banjarharjo kec. Kalibawang kab. Kulonprogo DIY; tanah kelahiran bapakku. Punggung matahari. Menekuk. Kembali ke pertapaan. Punggung buaya. Hanya pada malam Syura. Katanya. Punggung cangkul. Ditekuk involusi. Tak mati-mati. Punggung petani. Dulu BTI hampir revolusi. Sekarang anak menjual punggung Bapak. Untuk beli dasi. Punggungku. Pegal tempaan mahasiswa. Maksud hati sok menjala ikan; alamiah. Tapi kangen sarden kota; bau timah

BALADA JAKARTA (puisi)

Image
Peta Batavia Belanda (Dutch Batavia), 1681. di atas Corona tua plang-plang memusingkan metropolitan ... baru datang langsung pingin pulang aku terancam dari kampung tak bawa ancaman atau aku ancaman ? Jakarta - Tanah Abang - Tanjung Priok. Tak ada pagi semua langsung siang. Tak ada sore semua langsung malam. Tak ada yang mati semua cari makan. Pengiritan demi pemborosan. Pemborosan demi pemerataan. AC - peluh - komputer - dengkul. Henpon anak mall, megapon tibum Bacot pasaran, cekikikan watak musang Omong doang ! Omong doang ! Preman fasis tak banyak omong. Todang-todong a la jenggo. Menggeram saja di tanggal tua. Itu jika ada pangkat di pundaknya. Jakarta - Tanah Abang - Tangjung Priok. Nasi uduk, susu madu. Perut urban macam karung. Urban atas karung karet. Tertidur di kereta belanja. Tante shopping menjerit :

KAMANUNGSAN NOYO DADAP (puisi)

Image
Kaum Kaya Itu Keparat Sumber Masalah Fuck The Rich Problem Maker Go To Hell Didot Klasta akhir 90an Adalah kamanungsan menggelandang, yang rumahnya : JANGAN KENCING DI SINI KECUALI ANJING GILA ! Adalah kamanungsan yang menyusup - nyusup. Martabat menyuruk dalam gunung sampah. Bergerilya bersama harkatnya anjing gila. Laskar Kere ... Laskar Kere ... Wajahnya asing di mata orang kaya. Pias - pias nyeri oleh besetan nasib sosial berdarah. Luber di lambung menggilingi lapar. Luber di bibir mendoa perjamuan. Luber di mata meminumi air mata darah. Tanpa takut, tanpa marah, tanpa jijik, tanpa pasrah. Hanya meringis saja, gumamnya; "Hidup ini sungguh anyir ..." Gumam anyir membasuh kemiskinan dengan bungkus sabun Lux di kolam sampah. Gumam-gumam lain di monopoli komentator Lux 'atas nama rakyat miskin'. Tersisa gumam epilog pembangunan nasional. Digelontorkan air kumur dalam jamuan babi - babi gembul. Masuk gorong harapan dan kecemasan. Muncrat di air

ILUSI HARMONI (puisi)

Di kota-kota ... Ada yang meringkuk antara grobak-grobak kakilima. Ada yang menyanyi parau dengan ketipung pralon. Ada yang menyusui anak sambil menunggu warung rokok. Ada yang suntuk gontai turun dari bis buruh tekstil. Ada yang berdoa menghiba menadahkan tangan. Ada yang kelaparan membolak-balik sampah. Ada yang termenung bokek di atas becak seharian. Ada yang jongkok manyun depan etalase toko mainan. Ada yang memperbaiki riasan di sudut remang. Ada yang lontang-lantung nganggur dan kebingungan. Ada yang tergolek pilu menahan disentri. Ada yang mabok dengan gusar oleh anggur lokal murah-meriah. Ada yang terbungkuk mengangkat-junjung karung-karung. Ada yang merokok getir di emperan rolling door. Ada yang antre sembako murah sampai pingsan. Ada yang membanyol kering di kedai kopi jelata. Di kota-kota yang sama ... Ada kalangan yang berkelebihan segalanya. Serakah, angkuh, culas, hipokrit ciri-cirinya. Sesungguhnya, mereka para majikan kota. Pada dasarnya, mereka ka

(enggak) PERLU JUDUL

Pukul tiga sore. Angin kencang di kota S. Hujan deras yang dramatis meminggirkan kere-kere di emperan kikir orang kaya yang dipilok : A W A S A N J I N G G A L A K !!! Seperti seting roman sosial nasional. Hawa ribut bertiup dari dengus rusuh moncong kongkalikong demokrasi oportunis. Air kencang menggelontori got-got dan duit seperak dua yang ditelan lumpur. Pekerja dihujani butiran tajam kondensasi pengangguran. Terus mencari barang sekeping. Tapi sekeping saja tak pernah ada di bawah meja bertaplak batik Iwan Tirta. Dan di atas meja orang-orang batik bermain dadu gelinding. Menggelindingi struktur cucuran keringat kongsi Indonesia. Hasil keringat jatuhnya di kantung petinggi batik dan juragan butik. Tubuh berkeringat jatuhnya terhumbalang di pelimbahan. Dengan seragam tetron murahan orang-orang tetron terhanyut menjauhi meja dadu. Sebagian mencair. Sebagian mengeras. Sebagian menyublim. Sebagian gaib sikon. Bagian terbesar telah begitu geram dan jemu. Menanti bahka

SETENGAH KWADRAT

(biasa saja; tak percaya di atas biasa; tak mampu di bawah biasa; tak kuat) Setengah gila (?) Dibilang gila, tidak, aku waras. Dibilang waras, tidak, aku gila. Berdandan kondangan kaca benggala masyarakat. Dituding setengah-setengah lantas dipaksa berkilah. Dan kilah-kilah tak ada yang diterima selain kilah mereka sendiri saja. Kalau begitu sekalian saja, hidup cuma sekali. Waras, sekalian waras. Gila, sekalian gila. Tapi mimpi benar, bisa memilih-milih. Mau waras, bisa, mau gila, bisa. Memang bukan warga negara ? Kok bisa-bisanya merdeka. Lantas bagaimana berkilah ? Ilusi masyarakat normal : wah berat. Patuh, penurut, sukses : normal. Berat. Itu bisa gila ... Bisa gila. Dan karena tak sukses, meski mungkin sudah patuh dan penurut : tidak normal. Setengah warga setengah usiran. Tetap tinggal, ditinggal pergi. Jika pergi dicurigai. Tragedi. Mau berbentuk, tak jadi-jadi. Waktu habis untuk berkilah dan menelan kilah balasan. Deformasi. Pameran pat

BENCI TAPI RINDU

Aku benci wujud menegaramu Aku cintai hati dan jiwamu Aku benci hukum-penjaramu Aku cintai alam budaya merdekamu Aku benci pemimpin-penguasamu Aku cintai orang kebanyakanmu Aku benci ndoro-majikanmu Aku cintai penanam-penempamu Aku benci seragam-senapanmu Aku cintai jabat-tanganmu Aku benci pagar tapal batasmu Aku cintai ufuk kaki langitmu Aku benci bendera dan ktp-mu Aku cintai tanah merah kuburanmu Untukmu ya untukmu Indonesiaku Betapa aku benci tapi rindu

SAAT ORANG BESAR LEWAT (puisi)

Image
Suppression #69, didot klasta Lasiyem masuk dengan belanjaan paket pengiritan Tergopoh-gopoh lugu langsung spontan Saya nonton Buke ! Saya nonton ! Jalanan dikosongkan Mas ! Cuma sedan-sedan yang liwat ! Banyak nguing-nguing ! Banyak pulisi ! Ada apa ? Ada apa ? Bencana dimana ya ? Sambil menguap Bapak menyahut dari kamar tidur. Itu Es Be Ye ... Mau ke Boyolali dia ... Lasiyem manggut-manggut sambil berlalu ke dapur Ooo … Pak Presiden tho … Lantas kami sekeluarga pun agak bersungut-sungut Pemimpin kok bisanya ngrepoti … Salah sendiri … Kenapa nyoblos ? Siapa nyoblos !? Siapa nyoblos !? Ha ha ha ... Baru ingat jebul kami tak ada yang nyoblos Ha ha ha ... Bapak ngorok lagi Ibu ikut ngorok Adik juga ikut Aku berak sajalah Lasiyem memetik kangkung Sambil memandangi tinja-tinja yang keras aku merenung : Hmmm ... Kami punya sikap bermartabat terhadap kekuasaan

SALAM DARI SRANDIL (puisi)

Telomoyo berkabut turun dipatuk suara ayam hutan nglangut. Gajahmungkur mendengkur belalai rimbun kelabu semu. Rawapening hening dalam bercak-bercak remang kejauhan. Ambarawa dan Salatiga terhampar lampu-lampu kedinginan. Rumah-rumah reyot terserak di gundukan-gundukan bukit hitam. Api kayu menjilat gemeretak tungku tanah tua. Nasi jagung rokok kawung buyung lelap dalam selendang di punggung. Slondok, roti pasar, air teh panas beredar antar ruang kehidupan. Komunitas bersarung jagongan melingkar tukar kata bijaksana. Demikianlah Saudara ... Boncis jatuh harganya. Demikianlah Saudara ... Jalan belum akan dibangun negara sebab wilayah ini tak termasuk nadi ekonomi negara. Demikianlah Saudara ... Anak-anak kita harus menempuh lelah terlalu jauh untuk sekolah. Demikianlah ... Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Demikianlah ... Dengan kebersamaan lingkungan ini insya allah bangun. Sementara malam makin tengah malam di pelosok berhutan. Susuki keri rongsok terseok menghadapi makadam

PARA BINATANG (puisi)

KUTU ROMANTIK REVOLUSIONER Kepala adalah pusat kekuasaan. Rambut kancah politiknya. Pejuang bawah tanah itu kutu. Satu minggu kumpul denganmu; pergumulan liar. Sel revolusi membelah diri. Beranak-pinak. Gatal sekali. Tapi tak peduli. BEKICOT OTONOM HORE ! Aku punya dua kelamin. Segalanya jadi lebih mudah. Tidak ditindas ... Tidak menindas ... Tidak ditipu; politik persetubuhan.

TEMBANG GUNUNG KAPUR (puisi)

Pakne thole Makne thole Ora duwe duwit njuk kepiye Nyang kutho wae Mburuh-mburuh sak kecekele Kana Le ndang gage-gage Bareng karo kanca-kancane Ning nggugu karo mandore Lautan gubuk beratap jemuran gaplek. Jalan kaki naik ke gunung. Bapa-Biyung menggempur batu. Matahari kapur jarak sejengkal dari bahu. Manusia tembaga bekerja. Kerja bukan lagi untuk amal-ibadah. Di gunung kapur setan jauh. Di sini saja hantu kemiskinan berkeliaran. Tak menawarkan neraka nanti. Tapi busung lapar hari ini. Bekerja adalah bertahan. Sekarang sudah menghitam. Kapan mereka jadi arang ?

BILIK-BILIK MENARA BABEL

Duka satu mendukai yang lain. Tikam satu menikami yang lain. Tak kunjung usai siksa ini. Karena kebencian terkutuk terus bertarung. Tak bisa mati-mati. Ada apa dengan kita ? Sepanjang jalan kecam-mengecam kemanusiaan. Bisu sebentar sebab terengah kesepian : dalam perpisahan sombong. Lalu bertemu lagi untuk kian terengah lagi. Tetap dalam debat kemanusiaan. Membungkus racuan sepi : tak lebih. Ada apa di antara kita ? Jika jumpa, bebal menyombongkan kemanusiaan bebal. Padahal sepi di ulu hati, memagut-magut udara komunikasi : hampa.

MASYARAKAT KATAKATA (puisi)

Aku bicara Kau bicara Kita bicara Mereka bicara Semua Bicara Bicara Bicara Bicara Bicara dan seterusnya sampai ndower. Tak ada yang mendengarkan. Trilyunan kata membanjir, menghujan, menggunung, mengeduk, menipu, melantur Dikalikan sekian banyak abad dan babad Masih ditambah kata halus Dari para makhluk halus dan kaum munafik Dan jangan lupa sabda-sabda beberapa tuhan Yang per patahnya mengandung sepanjang prasejarah sampai sejarah makna Mulai dari adam-adam dan hawa-hawa Sampai masa depan yang diketahui sekarang Bayangkan … Aku bicara Kau bicara Kita bicara Mereka bicara Semua Bicara Bicara Bicara Bicara Bicara dan seterusnya sampai ndower Dari pagi hingga pagi lagi (kalau siang ya sampai siang lagi dan seterusnya) Non Stop Makan-minum katakata Beol-kencing katakata Cari duit katakata Olahraga katakata Tidur-mimpi katakata Seksual katakata Ibadah katakata Bayangkan … Tak perlu lagi ‘bicara’ Sebab kita adalah onggokan benda terdiri dari katakata melulu Dan tak perlu lagi ‘mendeng

KLARIFIKASI

Buat pejalan-pejalan sunyi Jika ku berulang kali Meracau-racau hal sepi Bukan pretensi Ingin ditemani Hanya lolong saja Srigala berluka Itu naluri Psikologi sendiri Dan mekanisme Pertahanan diri Biasa Seperti salak, dengking dan geram Tak berkelanjutan kok Tergantung keadaan Yang penting berkarya Tahan berkelanjutan Dalam segala cuaca Bagi sesama Sebab persoalan kemanusiaan Pun bukan musiman

AS TIME GOES BY (puisi)

Image
Kayu getas Besi berkarat Batu menyerpih Angin datang-pergi-datang Kita mati Mereka mengganti Ada yang semestinya berlalu musnah Misalnya penindasan haram jadah Ada yang semoga tetap mengada Barangkali cinta dan semacamnya Didot Klasta Salatiga, pertengahan 2000an

BERPIKIR IDEOLOGIS KALA MEMPERTIMBANGKAN KAU (puisi)

Berdiri di pintu pagarmu. Kukuhkan privatisasi agraria. Ada rumor adam-hawa mendesing, dalam kebul knalpot hari-hari. Lalu-lintas cinta kota diburu waktu adalah uang ; sibuk. Bahwa hati kita tak mengenal klas. Ku mau dibilang sibuk biar tak sunyi, dikucilkan peradaban modern. Sepanjang kabel listrik mendekor langit wajah elektrik. Dan awan alam jadi jemuran sarung gelandangan compang-camping. Burung-burung ciblek terdidik anarki (tidak ditindas aturan) jalanan. Polahnya kurang ajar menakar ; berapa tajam nyali macho yang kuhunus ? Sok eksistensial (keberadaan diri) jantan jagoan liberal. Tapi aku cuma punya ilmu sekolah dasar. Pengecut konservatip (kolot) anak-cucu rodi. Aku bukan ahli pedang ... Gumamku. Bahkan sekarang jaman senapan ! Sorak ciblek-ciblek. Aku bukan militer ... Gumamku. Arm struggle Coy (perjuangan bersenjata kawan) ! Sorak ciblek-ciblek. Bangsat ! Pendirian revolusionerku bagai air di daun talas. Air adalah sungai tindakan hidup bercabang tiga. Pemenang. Pemenang.

KEPAHITAN CINTA (puisi)

Image
Telah kutoreh pada selembar daun waru ; namamu. Kupeniti sebagai bros ; di jidatku. Bukan bintang emas jendral atau emblem emas pembesar atau kalung emas sodagar. Daun tua saja, kekuningan mau rontok. Pohon tua pinggiran jalan. Kere, musafir hina silahkan gratis. Berteduh sebentar jalan lagi mencari. Bersama lelah siput mengingsut. Debu hotmix, semen dan fluorosens. Minyak bumi tersedot transportasi 'cepat terbatas'. Kemana ? Rumah kehidupan mempertahankan cinta. Rumah tangga cinta bertahan hidup. Di tanah-tanah kering dan miskin. Dan hidupku adalah bersamamu. Dan cintaku adalah padamu. Dan kesetiaanku adalah forever ; REGIME FUCK OFF ! Dan kebebasan adalah perkawinan ; yang suci, sahaja, dan jelata. Kenapa ? Engkau tak suka ? Kenapa engkau pilih politik cinta ? Yang komersil, bersenjata, sok negara dan menjagal hati para pecinta sejati. Kenapa Sayang ...?

DAN MATAHARI MENGGELINCIR

Namanya Yem. Sebenarnya tidak Yem saja titik, tapi cukup asal diketahui Yem-nya saja, selebihnya tak penting untuk pemanggil-pemanggil. Yem nampak sedang duduk loyo di atas sebuah batu besar yang sekilas seakan menyerupai sosok anak kecil jongos di foto-foto ningrat Jawa tempo dulu. Berkulit legam, kepala kuncung, namun tak berpose menyembah-nyembah atau kegirangan dipotret melainkan sedang menungging secara kurangajar seakan pada majikan orangtuanya, barangkali, persis di bawah pohon kelengkeng yang hampir mati sekitar 3 meteran dari bibir tebing tepi kuburan Wates yang meluncur ke bawah secara landai dan langsung mencuram di kali kecil dangkal – Kali Candi – yang mengalir ke Utara. Meski bernama Yem

BENAR-BENAR GILA

Cerpen ini kubaca dalam acara apresiasi seni di selasar depan kampus Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Kemungkinan besar tahunnya 2009 sebab aku menulis cerpen ini karena pening dengan poto-poto caleg pileg 2009 yang seperti menterorku kemana saja aku keliling desa dan kota, khususnya sepanjang jalan Karang Balong - Kota Salatiga lewat Kalibening PP. Saudara-saudara sebangsa dan setanah-air namun belum tentu senasib dan sepenanggungan, percayalah … kalau biasanya saya hanya tukang menyebar kabar bohong dan pantas untuk tidak pernah bisa dipercaya, kali ini lain. Yang satu ini sungguh-sungguh terjadi. Percayalah. Suatu siang beberapa waktu lalu di kota kecil saya, Salatiga, hujan terakhir musim hujan mengguyur lebat disertai angin kencang dan petir menyambar-nyambar dengan dyahsyatnya. Saya, seperti biasa, sedang melamun sendirian terbuai lagu Mas Iwan Fals mengenai para wakil rakyat yang seharusnya merakyat sambil meringkuk dalam sarung sep